Bab 1. Ketahuan Selingkuh
Pusat perbelanjaan begitu ramai pengunjung. Hilir mudik orang-orang menghabiskan libur akhir pekannya dengan berbelanja atau sekedar memanjakan mata. Tampak seorang wanita berhijab dengan penampilan modis sedang termenung mengaduk-aduk minuman di depannya dengan tatapan nanar. Melihat sepasang suami istri yang sedang menemani buah hati tercinta bermain di time zone. Dia tersenyum getir.
"Andai saja aku segera dikaruniai anak," batinnya teriris. Seolah berontak ingin merasakan menjadi seorang wanita yang bergelar ibu.
"Hei, Ra!" seru wanita di sampingnya menepuk bahu. "Ngelamun aja nih."
Dia segera tersadar dan mengulas senyum tipis. Faradiba El-khanza, seorang ibu rumah tangga yang berparas ayu dengan wajah sendu dan dua lesung pipit yang semakin menambah manis senyumnya.
"Eh, nggak papa kok, Na," jawab Fara pada saudara sepupunya—Nina, yang saat ini menemaninya makan di food court.
Nina mengikuti arah pandangan Fara. Seketika dia mengerti apa yang sedang mengusik sepupunya itu. Mereka sangat dekat walaupun Nina sebenarnya adalah sepupu dari suaminya.
"Sudahlah, Ra. Jangan dipikirkan. Nanti kalau sudah saatnya kamu pasti punya anak juga," ujar Nina meyakinkan.
Fara terdengar menghela napas kasar. "Tapi kapan, Na. Kamu tahu sendiri mama mertuaku terus saja merendahkan gara-gara tak kunjung hamil, belum lagi sikap Mas Agha yang semakin hari makin dingin aja padaku," balasnya berkeluh kesah.
"Ra, gak usah dipikirin mertuamu, Tante Yurike memang kayak gitu mulutnya, licin kek minyak jelantah," sambung Nina asal. Membuat Fara terkekeh pelan.
"Nah, gitu dong senyum. Lagian Agha dapet istri secantik kamu harusnya bersyukurlah," tambah Nina membuat senyum Fara semakin merekah.
"Makasih ya, Na. Udah hibur aku," balas Fara.
"Nggak masalah, santai kalau sama aku mah," timpal Nina sembari menyeruput minumannya yang tinggal sedikit.
Fara pun kembali melempar pandang ke arah time zone, tak disangka dia menatap sosok yang sangat familiar baginya.
"Bukannya itu Mas Agha, ya?" bisiknya pelan. Hampir seperti angin lewat. Sampai Nina mendekatkan telinganya.
"Kamu ngomong apa barusan, Ra?" Nina mengikuti arah pandang Fara. "Lihat apa sih." dia ikut penasaran.
Tanpa menunggu lama, Fara seketika bangkit dari duduknya dan berjalan lurus mengikuti lelaki yang tampak mirip sekali dengan suaminya. Menghiraukan panggilan Nina. Semakin dekat langkahnya membuat dadanya berdebar tak karuan. Lelaki itu memeluk pinggang wanita di sampingnya dengan mesra.
"Mas Agha," panggilnya lirih dengan suara tertahan di tenggorokan.
Sontak lelaki itu menoleh. Kejutan besar bagi Fara. Itu memang suaminya, bersama dengan wanita yang sangat seksi dan mulus.
"Fara," balas Agha sedikit gelagapan. Lelaki itu tampak canggung dan segera melepas pelukannya.
"Siapa dia, Mas?" tanya wanita yang bersamanya, terlihat jauh lebih muda dari Fara.
"Harusnya aku yang tanya siapa kamu? Kenapa kamu bersama suamiku?" tanya Fara tak mampu menyembunyikan rasa penasaran. Sekujur tubuhnya terasa disengat listrik. Panas menjalar mengaliri nadi.
"Sudah, sudah. Jangan ribut di sini, nggak enak dilihat orang," sahut Agha cepat-cepat melerai.
Agha Prasetya, suami dari Fara yang berprofesi sebagai manager di salah satu hotel ternama di kota Malang. Bahkan dia bisa masuk ke sana dulunya pun atas bantuan Fara yang memiliki banyak kenalan dari berbagai kalangan.
Sorot mata lelaki itu memohon pada Fara agar tidak mengeraskan suaranya. "Fara, Mas bisa jelaskan nanti di rumah. Kamu pulang dulu ya sekarang. Mas masih ada urusan," bujuknya lembut.
"Tadi kamu bilang Agha suami kamu? Nggak salah, Mbak? Dia itu pacarku, jangan ngaco deh," potong wanita di samping Agha dengan angkuh.
Seperti ada gelegar petir yang menyambarnya di siang bolong. Lutut Fara terasa lemas. Mati-matian dia menahan beban tubuhnya agar tidak ambruk. Sudut netranya sudah menghangat, pertanda cairan bening akan lolos sebentar lagi.
"Benarkah itu, Mas?" sela Fara dengan suara bergetar.
Agha tampak kebingungan dan tidak menyangka sang istri memergokinya ditengah keramaian. Dia harus mencari cara bagaimana membujuk Fara agar mau pulang terlebih dahulu.
"Nesa, diamlah dulu, biarkan aku bicara sebentar dengan Fara, ya?" bisik Agha mengusap lembut kening wanita itu. Terasa sangat manis dalam pandangan Nesa namun, begitu pedih di hati Fara. Seakan ribuan belati telah menusuk jantungnya.
"Jadi, bener dia istri kamu yang katamu mandul itu?" sindir Nesa dengan keras. Sampai beberapa orang yang berlalu lalang terhenti dan menyaksikan keributan mereka.
"Apa kamu bilang?" ucap Fara tidak terima. "Aku tidak mandul. Jaga ucapanmu." wajahnya merah padam menahan emosi.
"Lalu apa namanya kalau bukan mandul? Sudah dua tahun menikah tak kunjung punya anak? Kasihan sekali nasibmu, pantas Mas Agha lebih memilihku dibanding kamu," lanjut Nesa semakin membuat suasana menjadi panas.
"Nesa!" seru Agha menangahi. "Cukup, jangan buat aku malu. Ayo aku antar kamu pulang sekarang," ajaknya sedikit memaksa.
"Jadi kamu lebih bela dia? Tega kamu, Mas," sanggah Nesa dengan wajah memelas. Dia paling tahu kelemahan Agha tidak bisa melihatnya menangis.
"Bukan begitu, Sayang," timpal Agha buru-buru.
"Jadi kalian selama ini diam-diam ada main di belakangku?" potong Fara yang sejak tadi sudah muak menunggu penjelasan.
"Fara, jangan cepat mengambil kesimpulan. Mas bisa jelaskan," sela Agha merasa dilema. Sudah kepalang basah masih saja mengelak.
"Cukup, Mas. Jawab jujur, apa kamu selingkuh di belakangku?" tanya Fara berkaca-kaca.
"Ya! Mas memang berniat menikahi Nesa, tapi bukan berarti Mas selingkuh di belakangmu." Agha kekeh membela diri.
Runtuh sudah pertahanan Fara. Bagaimana tidak? Suami yang dia cintai sepenuh hati tega menyayat batinnya tanpa dia tahu apa kesalahannya.
"Kamu jahat, Mas! Apa salahku padamu? Kurang apa aku selama ini? Setelah apa pun kulakukan demi kamu," ungkap Fara tak dapat membendung dadanya yang mulai sesak. Sedangkan Nesa justru tersenyum angkuh melihat air mata Fara yang mulai menganak sungai.
Nina yang sejak tadi berdiam diri di belakang Fara, tak mampu bersuara. Dia ikut merasakan kepedihan wanita itu. Fara segera berbalik dan meninggalkan suaminya setelah mengeluarkan unek-unek. Batinnya sudah koyak, jiwanya sudah remuk. Sakit tapi tak berdarah.
"Fara, tunggu!" pekik Agha hendak menyusul tapi segera dicegah oleh Nesa.
"Biarkan dia pergi, Mas. Lagi pula kamu, kan tidak mencintainya. Untuk apa bertahan dengan wanita mandul seperti dia," sewot Nesa bergelayut manja di lengan Agha. Lelaki itu tampak mengusap kasar wajahnya. Bukan karena takut menyakiti hati Fara, hanya saja dia tak ingin Fara semakin menjauh darinya.
Nina ikut berlari menyusul Fara yang tak menghiraukan pandangan orang terhadapnya. "Fara, tunggu!" panggil Nina.
Tetiba badan Fara tidak sengaja menabrak seorang wanita paruh baya di depannya.
"Aduh!" pekik wanita itu. "Di mana kau letakkan matamu," protesnya.
Fara segera mengusap air matanya begitu menyadari wanita itu adalah mertuanya—Yurike.
"Mama?" panggilnya lirih.
"Oh kamu di sini juga ternyata? Kenapa? Habis nangis ya?" tanya Yurike seolah mengejek.
"Enggak, Ma," jawab Fara malas basa-basi.
Tak berselang lama Nina pun sampai juga mengejar Fara. "Kamu cepet banget jalannya." Menyadari ada Yurike yang menatapnya datar, Nina segera melempar senyum. "Eh, Tante."
"Ngapain kamu di sini, Na?" tanya Yurike. Kemudian wanita itu melempar pandang ke arah menantunya. "Kamu juga, Fara! Ngapain kelayapan sore-sore gini. Tungguin suamimu pulang kerja. Jangan gatel jadi perempuan," tambahnya penuh penekanan.
Fara menatap nanar sang mertua yang bermulut pedas. Tidak ada hari tanpa makian darinya. Padahal dia bisa hidup berkecukupan seperti sekarang juga berkat Fara.
"Setidaknya saya nggak pernah seperti Mas Agha yang diam-diam pergi bersama perempuan lain," jawab Fara menyangkal. Selama ini dia sudah cukup diam menghadapi mertuanya.
Yurike tampak terkejut. Rupanya Fara sudah bertemu dengan Agha dan Nesa. Pasti dia menangis karena mereka berdua. Perlahan senyum Yurike mengembang.
"Agha pantas mendapat yang lebih baik darimu," balas Yurike dengan nada sarkas.