[3]

1302 Words
Giselle berusaha menahan air mukanya agar tetap bisa tersenyum. Padahal orang yang duduk di depannya, yang dengan santai menikmati sajian makan malam kali ini. tak ada tersirat beban atau rasa bersalah karena telah mengusik seseorang dengan mudahnya. “Kau tak makan?” tanya sosok tersebut sembari menyuap besar-besar potongan steak kegemarannya. “Kau memang tahu cara menjamu teman lama.” Giselle menyeringai tipis. Ia mengambil gelas berisi wine yang disajikan khusus untuknya. Menyesap pelan sembari menikmati pemandangan di bawah sana. Sengaja ia bertemu di tempat yang memiliki privasi khusus agar tak ada gangguan dari para pencari berita. Sejak namanya melambung tinggi, Justin sudah memberi peringatan besar; jika ingin bertemu seseorang, apa pun urusannya, sebisa mungkin bersama salah satu staf SEO dan tempat yang ditentukan haruslah tertutup. Pernah suatu kali ia melanggar, karena merasa ingin sedikit saja merasakan kembali nikmatinya menikmati ayam goreng cepat saji di salah satu restoran 24 jam. Sayangnya, belum juga ia nikmati, penggemar berikut paparazi sudah mengerumuninya. Tak pelak, membuat mood Giselle berantakan. Tapi tak bisa ia menampilkan wajah kesal di tengah banyak orang seperti itu. Giselle harus tetap tersenyum ramah di tengah usahanya agar mereka memberi jarak. Bukan tak ingin ada di dekat para fans yang mendukung, tapi ketahuilah, terkadang mereka bertindak lebih dari sekadar berjabat tangan. Dan itu membuat ia tak nyaman. Mengingatkan dirinya di masa lalu. Sang lawan bicara sesekali mengamati perubahan yang didapatkan Giselle sejak terakhir kali bertemu. Mengusap ujung bibirnya dengan tisu, takut jika saus steak tersisa di sana. Pun garpu serta pisau makannya, ia letakkan di tepian plate. “Kau sudah selesai?” tanya Giselle sembari melirik di balik gelas yang masih ada di tangannya. “Jika masih ingin menikmati enaknya daging kualitas nomor satu di negara ini, silakan. Aku tak jadi masalah.” “Penyuapan?” tanya si sosok dengan kekehan yang sarat sekali merendahkan Giselle. Ia pun menggeleng segera, kembali berkata yang membuat ekspresi Giselle semakin tersulut. “Aku tak mudah untuk kau bungkam kali ini.” “Apa tujuanmu sebenarnya?” Mami Jilly, sosok yang mengirimkan pesan berupa foto serta menelepon Giselle beberapa jam lalu, tampak tertawa lepas. Tak ia pedulikan andai ada pengunjung lain yang menatap ke arah mereka. saat ia mengedarkan pandangan ke sekitar, ternyata pengunjung restoran ini hanya beberapa dan jaraknya pun berjauhan. Seperti tak ingin terganggu dan mengganggu satu sama lain. “Kau tahu aku menginginkan apa?” Bola mata Giselle terputar kesal. “Aku sudah memberimu peringatan keras mengenai apa yang kau lakukan padaku.” Lagi-lagi Jilly terkekeh. “Kau tak akan berani mengusikku dengan ancaman berbau bualan itu, Nami.” Ia pun bersandar pada kursi yang diduduki. Semakin memberi intimidasi tersendiri pada Giselle yang tampak tenang di depannya. Sajian yang sama sepertinya tadi, tak dinikmati oleh sang model. Entah apa yang dipikirkan Giselle memesan steak yang sama dengannya. Sayang sekali, harga steak di sini bisa menghabiskan jatah bulanannya yang cukup tinggi dari salah satu pria yang suka rela membiayai hidupnya. Tapi tak puas sampai di sana, ia butuh sesuatu yang bisa dijadikan perahan tersendiri; Giselle Namiozuka. Yang selalu bisa ia andalkan dalam kondisi apa pun. “Aku diajarkan untuk tak memanipulasi kata yang terlanjur terucap.” Giselle meletakkan gelasnya perlahan. Sorot matanya juga sama garang dengan wanita yang makin lama makin menyebalkan itu. “Dua bulan lalu kau sudah membuatku ada di titik batas toleransi yang bisa kuberi. Dan kau mengujiku lagi?” “Tapi pada akhirnya, kau menemuiku, kan?” Jilly tersenyum lebar. Tak pernah takut dengan ekspresi Giselle yang kini terlihat menakutkan. Ia mengenai Giselle lebih dari siapa pun di dunia ini. menyaksikan bagaimana sepak terjang gadis yang semula hanya penghibur biasa, semakin naik dan naik berikut keuntungan yang ia dapat karena nama Nami, penari indah bertopeng, semakin laris di luaran sana. Bukannya menjawab, Giselle memilih menikmati steak yang sudah lebih dingin dari pertama kali disajikan. Tapi ia tetap menikmati tiap potongan yang ia lakukan pada daging sirloin yang ia minta dimasak dengan tingkat kematangan well-done. Tak ada dalam kamus Giselle, makanan yang tak enak karena ia tahu, sukarnya mencari sepeser demi sepeser uang. Ia tak ingin lagi merasakan kesulitan yang pernah menjerat hidupnya. Karena itulah, ia berusaha semaksimal mungkin untuk terus menapaki hidup. Apa pun risiko yang akan ia hadapi. “Aku hanya menginginkan lima ratus juta. Itu nominal yang kecil, kan?” tanya Jilly sembari menopang wajahnya dengan tangan. Memerhatikan Giselle yang menikmati sekali suapannya. Bahkan gadis yang ia akui memang cantik ini sesekali terpejam seolah tiap gigitan yang masuk ke mulutnya adalah kenikmatan yang hakiki. “Kau mendengarku, kan?” tanya Jilly yang merasa diabaikan lantaran lawan bicaranya tak menggubris sama sekali ucapannya tadi. “Aku tak main-main menyebarkan foto yang menurutku ... indah sekali.” Ia pun mengambil ponsel yang ada di tas tangannya. Mengutak-atik sejenak sembari melirik Giselle, siapa tahu selera makannya hilang. Atau menampilkan sorot jengkel dan segera memenuhi keinginannya. Bukan jumlah yang banyak menurut Jilly bagi Giselle di titik ini. Mungkin satu pekerjaannya di dunia modeling yang membesarkan namanya, bukan hal yang mustahil. Andai bukan Jilly yang meminta Giselle menemani tamu malam itu, tak akan mungkin pertemuan serta pengunduran diri Giselle terjadi. Walau Jilly akui, banyak uang yang ia kuras dari tamu tersebut. Tak jadi masalah, harga yang sesuai untuk mengizinkan aset berharganya keluar dari klub yang ia kelola. Ia sudah menghitung uang penggantian berikut utang yang ia beri pada Giselle lengkap dengan bunganya. Jilly pikir, sang pria undur dari nominal yang ia katakan sebelum tanda tangan pelepasan kontrak terjadi. Tak sampai dua hari kemudian, sang pria kembali datang bersama beberapa ajudan. Yang mana masing-masing dari mereka, meletakkan koper berisi uang tunai. Sesuai dengan nominal yang diminta Jilly. Tak ada yang bisa Jilly lakukan kecuali melepaskannya, kan? Tapi Jilly tetaplah Jilly. Ia hanya berjanji melepaskan, tak lagi berurusan, namun sepertinya sang pria lupa, Giselle masih bisa ia manfaatkan seperti sekarang. “Atau kau ingin sesuatu yang lebih menyenangkan?” Jilly tersenyum lebar. Matanya jenaka sekali menatap Giselle yang masih asyik menikmati makannya. “Kuharap pertunjukan ini tak membuatmu kehilangan selera makan.” Ucapan itu mendapat sambut berupa seringai teramat tipis dari Giselle. Seolah ia hanya ada di 91th Luxurious Steak, tak ditemani Jilly yang menjengkelkan. Menikmati semua yang disajikan restoran ini dengan lahap. Bahkan tak ia sisakan satu pun menu pendamping yang ia pesan. Terbiasa berlatih menjaga serta menampilkan ekspresi tenang, di dalam situasi apa pun, membuat Giselle bisa menekan semua amarah dan kejengkelannya pada si lawan bicara. Padahal kalau saja ia diperbolehkan untuk mengeluarkan kata-kata kasar, pasti sudah sejak tadi dilakukan. Alih-alih melakukan itu, yang Giselle lakukan sepertinya sudah berhasil memancing emosi Jilly. Terlihat Jilly berdecak berkali-kali dengan sikap tenang Giselle. Ditambah sang model tak menanggapi kata-kata Jilly. Benar yang pelatihnya katakan, jika dirinya tenang menghadapi musuh, justru itu salah satu tameng terkuat. Selain mengamati apa yang akan dilakukan sang lawan, juga untuk memukul mundur dalam sekali gerak. Atau setidaknya mengimbang pembicaraan yang terjadi jika ia ditempatkan pada posisi bersama banyak orang. Dan ketenangan yang sering Giselle tampilkan, juga ia gunakan jika dirinya ada di situasi yang cukup menegangkan. Semisal menemui orang-orang penting yang sebelumnya, tak pernah terpikir jika ia diberi kesempatan untuk bersua dengan mereka. Sial! Gadis itu sama sekali mengabaikanku! Lihat saja! Kau tak akan bisa mengelak dan bisa menjadi berita yang sangat besar jika aku menyebarkannya. Kau yang akan rugi, Nami! Gumam Jilly dalam hati. Ponsel yang tadi ada di tangan pun ia sodorkan pada Giselle. “Bagaimana jika video ini kusebar?” tanya Jilly pelan, sembari menekan tombol play di ponselnya. Sekali lirik juga Giselle tahu, rekaman apa yang ditunjukkan Jilly padanya. Potongan daging terakhirnya sudah ia telan. Tangan Giselle yang semula memegang alat makan, ia letakkan agar kasar. Matanya menyorot tajam dengan rasa tak suka yang demikian besar. “Kau sudah keterlaluan, Jilly.” Wanita itu merasa ada di puncak kemenangan. “Turuti keinginanku kalau begitu. Mudah, kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD