[2]

1507 Words
Suara ingat bingar yang terus saja memekak tapi menjadi pengiringnya malam ini, tak akan berhenti jika waktu yang telah ditentukan. Sejak kakinya melangkah masuk ke ruangan yang sudah dipenuhi pengunjung, ia tahu tak ada tempat untuknya kembali. Selain mengikuti ritme yang ada, ia tak bisa melakukan apa pun. Siapa yang akan menopang hidupnya di tengah kejam ibu kota? Tak ada. “Wah, Nami sudah datang!” Suara itu pertanda musik serta suasana yang kian meriah. Gadis berambut pirang dengan mata indah itu hanya tersenyum tipis. Rok yang menutupi pahanya, dengan akses rumbai yang bergoyang menggoda. Memiliki postur tubuh yang bisa ia jadikan modal sebagai pemikat. Belum lagi wajahnya bak Aphrodite masa kini. Terlalu menyilaukan untuk terus dipandangi hanya sayang, nasibnya tak seindah wajah yang ia punya. “Terima kasih sudah menunggu.” Giselle makin melebarkan senyum. Membenahi topeng yang ia kenakan sebagai ciri khas kala ia tampil. Ia pun menerima uluran tangan menuju panggung tempatnya mempertunjukkan kebolehannya; pole dance. Di tengah klub cukup terkenal di tepian kota, yang karena pertunjukkan inilah jumlah pengunjung mereka naik dari hari ke hari. “Ah ... lihatlah! Nami cantik sekali!” “Kau benar-benar penggoda kecil, Nami!” “Ayoo! Tunjukkan keahlianmu!” “Aku sudah menyiapkan banyak uang untuk menyentuhmu, Sayang.” “Ahhh, aku tak sabar menunggu di bawah sini. Nami ... lihatlah aku!” “Nami, aku penggemarmu!” Tak hanya pengunjung pria yang bersuara, para wanita yang menjadi tamu di klub ini meski tatapannya memicing tak suka, tetap saja meluncur pujian dan tak sabar menunggu bagaimana penampilan Giselle malam ini. Suara-suara itulah menjadi pengiring tiap gerak yang kini Giselle lakukan. Ia awali dengan tangan yang mencengkeram kuat tiang yang sudah disiapkan. Matanya terpejam, berusaha untuk fokus atas apa yang akan dilakukannya sebentar lagi. “Bertahanlah, diriku. Jangan mengeluh, tak akan ada yang mendengarmu,” katanya dalam hati, namun di bibirnya ia sungging senyum semanis madu. Sorot matanya pun menajam memerhatikan sekitar. Tangannya mulai ia jadikan tumpuan utama. Lalu kakinya yang membelit tiang, berputar pelan. Membiarkan rambutnya yang tergerai hampir menyentuh lantai yang tadi ia pijaki. Ia terus bergerak seolah penguasa tiang yang menjadi penyokong utamanya. Sampai di sepertiga tinggi tiang, ia mulai berputar mengikuti irama yang membuat degup jantung bertalu kuat. Menyesuaikan dengan musik yang menjadi latar di ruangan bercahaya temaram ini. Tangannya terjulur menyentuh wajah satu demi satu tamu yang mengelilinginya. Tersenyum menyambut mereka dengan kerlingan menggoda yang sempurna sekali ia ciptakan. Yang membuat para lelaki mulai terbakar hasratnya. Yang tak ingin hanya sekali saja mendapatkan sentuhan Giselle melainkan berkali-kali. Pun saat gadis itu berhenti berputar, menumpukan tubuh serta geraknya pada kaki. Yang dililit pada tiang serta dicengkeram kuat pada bagian kaki yang lain. Dadaanya sengaja ia busungkan agar terus menjadi pusat perhatian. Pun tangannya yang bebas, sengaja menyusuri anggota tubuhnya itu dengan amat perlahan. Menggoda. Serta mempertegas dirinya memang diciptakan dengan banyak pesona. Gaun sebatas paha itu memiliki potongan d**a yang demikian rendah. Kulitnya yang putih ditempa cahaya lampu warna-warni membuat ia benar-benar bintang di tengah kerumunan yang ada. Wajah-wajah yang tadi ia sentuh wajahnya, kini tampak beringas ingin sedikit saja merasakan bagaimana tubuh wanita yang berputar pelan serta sesekali mengibaskan rambutnya perlahan. Seksi dan penuh menggoda. Sayangnya, Giselle tak bisa sembarangan disentuh. Ada kode etik tersendiri yang ia harus dipatuhi semua tamu yang ingin melihat pertunjukkannya; tak boleh menyentuh Giselle seujung kuku pun. Namun ... ada pengecualian untuk tamu yang memang sanggup membayarnya mahal. Sangat mahal. Siapa yang tak bernafsuu melihat seorang bidadari ada di dalam klub seperti ini? berapa pun harga yang dipatok, selama bisa menyentuh Giselle, tak jadi soal. Begitu pikir mereka. Ketika pertunjukkannya berhenti, sorak-sorai segera saja memenuhi lantai satu klub tempatnya bekerja. apakah Giselle sudah selesai? Sama sekali belum. Justru inilah yang tak kalah ditunggu oleh mereka; Giselle menari di atas meja yang tersedia. “Sial! Aku tak tahan lagi!” kata salah satu pengunjung sesaat setelah Giselle berbaring di atas meja. Terpejam sembari menyusuri perutnya sendiri. memberi ekspresi seperti tengah digerayangi banyak tangan di dekatnya. Apalagi saat dirinya meremas dadaanya sendiri. Meski suara musik yang berdentam semakin riuh, tapi seolah mereka bisa mendengar suara desahan Giselle dari ekspresinya. Yang tampak menikmati apa yang dilakukan di atas meja. “Aku benar-benar ingin menikmati tubuhmu, Nami!” Giselle melirik sekilas pada sosok pria yang baru saja bersuara. Ia hanya melemparkan cium dari tangannya serta kembali mengerling usil. “Klub ini terkenal dengan kualitas wanitanya. Aku tak sabar untuk naik ke lantai dua.” “Kau benar.” Mereka semua yang hanya bisa menikmati pertunjukkan Giselle, yang keburu tergoda tak bisa menahan nafsuunya memilih untuk segera menghampiri wanita yang bisa mereka sewa sekadar melampiaskan hasrat yang sudah ada di ujung tanduk. Jikalau ditahan, bisa-bisa mereka gila. Karena pertunjukkan Giselle hanya sebatas permulaan agar mereka menghabiskan banyak uang di sini. Hampir satu jam Giselle meliuk di sana sini. menggoda mereka yang masih setia menonton pertunjukkannya. Sesekali ia biarkan tangan mereka menyentuh ujung rambutnya. Atau sekadar mengenai permukaan kulit dadaanya yang menyembul hanya demi menyisipkan uang tip. Giselle tersenyum makin lebar padahal hatinya menjerit tak terima. Tapi ia benar-benar tak bisa keluar dari neraka seperti ini. Pilihannya; orang tuanya berakhir di ruang perawatan intensif atau dirinya harus rela melakukan apa pun yang diminta Mami Jilly. Pemilik klub tempatnya bekerja. “Seperti biasa, kau memang populer,” kata Mami Jilly menghampirinya. Memakaikan kimono besar untuk menutupi sebagian tubuh Giselle. Di atas panggung, tubuh Giselle bisa dinikmati siapa pun. Setelahnya, Mami Jilly juga sedikit posesif dengan aset berjalannya. Padahal Giselle tak merasa perlu ditutupi lagi. ia sudah terbiasa telanjang bukan? Tak ada yang Giselle katakan meski langkahnya terus mengiringi Mami Jilly. “Ada tamu yang menunggumu di ruang VIP. Layani dengan baik.” “Ta-tapi Mami, perjanjian kita hanya seminggu seka—“ Jilly menatap Giselle dengan raut enggan. “Operasi ibumu memakan banyak biaya, kan? Aku sudah membayar sebagian agar mereka melanjutkan perawatannya. Kau tenang saja.” Giselle tak punya lagi kata-kata yang bisa digunakan untuk membantah wanita cantik bergaun merah ini. senyum sang wanita itu juga terus saja ditampakkan, sesekali Giselle dengar ia menyapa tamu undangan yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Pun meladeni penuh keramahan siapa pun yang berusaha menggodanya. Padahal ia muak. Sangat muak. “Bersiaplah.” Jilly membukakan pintu untuk Giselle di ruangan yang khusus untuk para wanita yang bekerja di bawah kendali Jilly. Sebagian dari mereka, melirik datar pada Giselle yang melangkah memasuki ruangan yang cukup terang ini. “Jangan sampai membuat tamuku menunggu, Nami.” Menggunakan telunjuk, Jilly sedikit mengangkat Ujung dagu Giselle agar mereka saling menatap. “Kau harus tampil maksimal. Dan jangan berpikiran untuk kabur atau nyawa ibumu taruhannya.” BLAM! Pintu pun ditutup agak kasar oleh Jilly. Membuat Giselle meremas kuat kimono yang ia kenakan. “Dipaksa melayani tamu?” tanya salah satu di antara mereka. Lina namanya. Di dalam ruangan, ada tiga orang yang tengah merapikan tatanan rambut serta memastikan mereka siap jika sewaktu-waktu dibooking oleh para pengunjung yang kian larut, kian banyak yang berdatangan. Membuat suasana di lantai dasar semakin semarak. “Bukankah ini pekerjaan kita?” Deasy terkikik geli. “Sudahlah. Lebih baik kau minum, Nami. Tenang, aku tak mencampuri apa pun di dalamnya. Tak usah meragukanku.” “Tapi kuakui, kau semakin mahir di tiang serta meja.” Jessica, yang duduk di tengah, di mana dirinya sibuk sekali dengan rambut bergelombangnya itu bicara. “Apa setiap hari kau berlatih, Nami?” “Tidak juga.” Giselle tersenyum tipis. Diterimanya uluran botol air mineral yang masih tersegel rapat. Membukanya dalam sekali putar dan meminum dengan rakus. Tak peduli jika tetesannya membasahi bagian d**a. Ada rasa yang melilit menghajar tubuhnya. Bukan karena penyakit asam lambung atau disebabkan dirinya yang telat makan. Tidak sama sekali. Tapi berkaitan dengan waktu yang cepat sekali berputar di hidupnya. Yang mana tak sampai tiga puluh menit lagi, ia harus ada di ruangan VIP seperti yang Jilly inginkan. “Kudengar ibumu akan melalui operasi yang cukup besar?” Deasy menatap Giselle penuh simpatik. “Begitulah.” Giselle tak tahu harus mengekspresikan wajah seperti apa. Ia takut, hal yang sangat buruk akan menimpanya. “Aku harus melalui malam ini dengan cepat. Paginya aku harus segera bertemu Ibu sebelum operasi dimulai.” “Semoga semuanya baik-baik saja, Nami.” Deasy memberi dukungan pada Giselle. Meski hanya sebatas itu, tapi hati Giselle sudah sangat berterima kasih. “Terima kasih,” kata Giselle sembari tersenyum. Ia pun memilih duduk di sudut lain yang agak jauh dari mereka. bersandar sedikit karena pusing yang mendadak hinggap di kepalanya. Pertunjukan tadi memang menguras tenaga. Inginnya ia lepas topeng yang menutupi sebagian wajahnya tapi karena harus meladeni tamu, ia tak bisa sembarangan menunjukkan wajahnya. Tidak. Dia, gadis penari erotiss dengan topeng yang menutupi kecantikannya. Image misterius itu harus terus dipertahankan entah sampai kapan. Selama uang Mami Jilly belum bisa ia lunasi, selama itu pula dirinya mengabdi. Pada titah dan perintah seorang wanita cantik yang sebenarnya keji. Ia hanya berharap ... tamunya mengerti jika dirinya kelelahan. Tak ada yang ia harapkan lagi selain kesembuhan sang ibu. Tak pernah ia berpikir juga, tamu itu adalah titik balik kehidupannya yang kelam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD