[1]
Giselle membaca skrip yang diberikan untuknya sebelum memulai pemotretan kali ini. Wajahnya sudah dirias, tak ada cacat yang tercipta di sana. Seperti Tuhan tak ingin ada kesalahan saat memahat wajah gadis berkulit seputih pualam ini. Belum lagi postur tubuhnya yang benar-benar proporsional.
Beruntung sekali SEO Fashion memiliki model seperti Giselle Namiozuka. Dan tahun ini adalah tahun di mana puncak karier seorang Giselle ada di puncak tertinggi.
“Aku hanya cukup melakukan hal ini, kan?” tanya Giselle sembari menyerahkan lembaran yang telah selesai ia baca. Pada Brina yang tak pernah jauh darinya. sosok wanita yang sebenarnya cantik tapi ditutupi oleh wajah serta ucapan yang sering kali terdengar sangar. Bukan tanpa sebab Brina menampilkan kegarangannya. Berhadapan dengan Giselle memang harus tegas.
Kalau tidak ... entah apa yang akan terjadi.
“Iya.” Brina menghela pelan. “Ayolah, aku sudah memberimu longgar untuk makan hari ini. Jangan sampai Justin tahu.” Ia pun menarik salah satu toples berisi cookies coklat dari salah satu bakery langganan gadis itu. bahkan saking seringnya membeli di gerai yang sama, dan tahu jika pelanggannya adalah penggemar nomor satu, bakery itu tak sungkan memberi harga spesial dan bonus yang banyak untuk Giselle.
“Tapi aku butuh menenangkan pikiran, Brina,” kata Giselle sembari memberi tatapan sepolos bayi. Matanya berkaca-kaca dengan tangan meraih pelan toples yang dipegangi Brina. “Sedikit saja. Aku tak akan melanggar lagi esoknya. Aku pasti mengikuti arahanmu untuk diet.’
Brina berdecak kesal. “Sedikitmu itu menghabiskan satu toples, Giselle.”
“Kumohooonnn,” kata Giselle dengan suara penuh rayu.
Sebenarnya Brina tak tega tapi dirinya jangan sampai terlena. “Tidak.” Ia pun berjalan menjauh dengan toples tadi. “Sudah cukup. Lima menit lagi sesi bagianmu, Giselle. Aku akan memanggil MUA untuk mengecek tatanan rambutmu serta gaun yang sudah dikenakan. Jangan sampai ada bagian yang tak sesuai nanti. Kau tahu, Justin sangat perfeksionis dengan hasil.”
Giselle merengut. Tangannya dilipat di d**a. Tak peduli Brina bicara apa, ia lebih memilih memalingkan wajah. Ia tak peduli jika ada yang memerhatikan tapi rasanya tak mungkin. Ia ada di ruang khusus di mana hanya dirinya dan Brina yang bebas mondar mandir mengurus kebutuhannya.
Sengaja.
Ia tak terlalu menyukai bergabung dengan model lain. Atau bersikap ramah dengan orang lain yang ada di studio. Giselle memiliki trauma tersendiri dengan keramahan. Juga tak ingin banyak yang tahu bagaimana perangai aslinya seperti apa. Bukan hal buruk, tapi Giselle menampilkan siapa dirinya hanya pada orang-orang yang ia percaya dan termasuk di dalamnya; Brina.
Tak ingin mengingat masa di mana membuat dirinya terlarut dalam kesedihan karena akrab dengan orang lain, ia memilih untuk bersandar nyaman di sofa saja. menunggu gilirannya memamerkan gaun buatan Justin yang akan menjadi koleksi musim panasnya kali ini.
“Padahal coklat bisa meredakan stress.” Ia memijat pelipisnya pelan. “Sialan!”
Ponsel yang ada di meja segera ia raih. Penuh bosan, ia hanya memainkan ponsel itu secara acak. Sampai getar ponsel di mana menampilkan satu pesan, masuk. Membuat keningnya berkerut karena tak ada nama pengirimnya. Pun bukan pesan text yang terkirim melainkan sebuah foto.
“Siapa, ya?” tanyanya penasaran tapi jemarinya dengan lincah membuka pesan barusan. Dan rasanya ia sangat menyesali tindakannya yang membuka pesan itu. Dirinya di masa lalu ... setengah telanjang, menari dengan gerak begitu erotis.
Tak pernah Giselle lupa bagian kelam hidupnya. Satu hari pun tak bisa Giselle enyahkan dari ingatannya. Apa pun aktivitas yang ia lakukan di dalam sana, lengkap dengan gemerlapnya lampu dan ingar bingar berselimut aroma alkohol yang sangat kuat itu, tak bisa dilunturkan dalam kisah masa lalunya.
Akan tetapi, siapa yang berani menguliknya sejauh ini?
Tangan Giselle sampai gemetar memegangi ponselnya. Tak lama, sebuah pesan kembali masuk setelah foto tersebut.
+6388900124:
Bagaimana jika ini tersebar?
***
“Sialan!”
Giselle membuang tas yang sejak tadi tersampir di bahunya. Napasnya merengap. Tangannya masih terasa gemetar. Matanya juga tak terlalu fokus pada sekitar. Entah bagaimana cara Tuhan membuat ia tenang selama menjalani sesi pemotretan hari ini.
Padahal hari ini adalah final perjalanan panjang yang dilakukan selama di Long Island. Pantai di bagian tenggara negara bagian itu sangatlah indah. Cocok sekali dengan tema pemotretan kali ini. Tema musim panas yang diusung Justin kebanyakan berpotongan rendah dan bermotif bunga-bunga warna cerah.
Justin sudah memberinya peringatan, jangan sampai konsentrasinya terbelah. Bukan berarti tak memercayai cara kerja Giselle, tidak sama sekali. Giselle pahami peringatan Justin beberapa hari lalu.
“Kau tahu, koleksi ini sebagai pelengkap dirimu di puncak tertinggi, Giselle. Pagelaran yang kau jalani tiga bulan lalu benar-benar sukses meraih perhatian. Dan karena itu juga, kau harus menjaga segalanya. Menjaga lebih sukar dibanding merebut.”
Giselle tersenyum lebar. Tiap kali bicara dengan pria yang ia anggap sebagai malaikat tanpa sayapnya itu, tak pernah ia biarkan matanya menatap ke arah lain. Hanya pada Justin. “Aku mengerti.”
Justin mengangkat pandangannya sekilas dari banyak foto Giselle yang tersebar di meja. Kebanyakan tak ditemui celah tapi sebagai seseorang yang memegang keputusan terakhir akan menggunakan foto yang mana, Justin tak mungkin asal dalam membuat keputusan.
“Kau butuh sesuatu?” tanya Justin membalas tatapan itu dengan lekat. “Katakan. Jika kau menginginkan sesuatu sebelum pergi ke Long Island, jangan sungkan untuk mengatakan padaku.”
“Kau ikut?” tanya Giselle tanpa ragu.
Justin tersenyum tipis. Ia pun sedikit menggeser duduknya, lantas mengulurkan tangan demi mengusap puncak kepala Giselle. “Kau tahu aku sibuk, kan? Kau pergi bersama Brina dan Nico. Mereka pasti mengurusmu dengan baik.”
Giselle cemberut. “Sudah lama kau tak menemaniku pemotretan. Kau bilang, ada rencana liburan. Kapan?”
Justin terkekeh. “Berhentilah merajuk. Aku benar-benar banyak urusan. Kau pasti bisa melalui dengan baik seperti biasanya, kan?”
Demi untuk mendapatkan pujian dari Justin, Giselle mengangguk. Tak jadi soal, ia juga harus mengerti pria seperti Justin bukan orang yang bisa bersantai dengan mudahnya. Apalagi setelah pagelaran yang sukses mengantarkan dirinya di puncak tertinggi yang bisa ia raih.
“Bersabarlah. Jika memang waktunya ada, kita liburan bersama.”
Mungkin karena ucapan itulah yang membuat fokus Giselle kembali terkumpul di detik terakhir sebelum ia memasang banyak pose. Memamerkan lekuk pakaian yang ia kenakan. Serta menonjolkan beberapa bagian penting di dalam design yang Justin buat. Dan puji Tuhan, tak ada kendala hingga akhir sesi. Malah seperti biasanya, sang fotografer memuji tingkat profesionalitas seorang Giselle Namiozuka.
“Kenapa hal seperti ini datang padaku?”
Ia pun kembali merogoh ponsel yang ada di tas. Untung saja ponsel itu tahan banting. Jika tidak, mungkin sudah rusak karena Giselle melempar tas tadi dengan tenaga penuh. Bahkan sampai membuat salah satu pajangan terjatuh dan retak. Giselle segera mengutak-atik sebentar lantas menatap penuh lekat nomor serta foto yang kini memenuhi layar ponselnya.
Digesernya icon hijau yang ada di ujung ponsel. Tak lama, sambungan telepon itu pun terhubung.
“Apa maumu?”