BAGIAN 4 - PERTEMUAN KEMBALI

2111 Words
Acara sudah berlangsung satu jam yang lalu, namun Elena masih berdiri kikuk di ujung ruangan luas yang sudah di dekorasi menjadi pesta yang sangat indah. Lampu-lampu kecil di atas bagaikan bintang yang tersusun mengikuti tali putih bercahaya, membuat semua pasang mata tidak akan mengabaikannya. Elena mengeratkan pegangannya pada tas kecil yang ia pegang. Sekali lagi menatap kaca gelap yang ada di sekeliling ruangan, mengirimnya pada pemandangan malam yang sempurna. Gedung-gedung menjalar dengan berani seperti menantang langit yang diam, dengan cahaya-cahaya berantakan yang berkelip seperti sebuah ikan di sungai yang jernih. Elena menyukai kenyataan bahwa di sana ada beberapa nyawa yang mungkin merasakan apa yang ia rasakan kini. Kesendirian yang terus mencekam meskipun ia berada di tengah keramaian pesta yang mewah. Beberapa kali, Tante Sindy melihatnya dengan garang. Menatapnya seakan melarangnya untuk mendekati dua orang yang tampak paling bersinar di ruangan itu. Lirikan tajam dari wanita paruh baya itu membuat Elena diam tak mendekat. Bersembunyi di antara kerumunan orang di depannya yang tampak bahagia dengan pasangannya masing-masing. Bukan rahasia lagi bahwa orangtua Bara sangat membencinya. Elena hanyalah batu sandungan di bawah kaki anaknya yang gemerlap seperti batu permata. Elena hanya perempuan tidak tahu diri yang beruntungnya dicintai oleh anaknya. Elena tahu cepat atau lambat, akan datang waktu di mana ia berdiri di sini. Tapi ia bersyukur, setidaknya Bara mau melepasnya kali ini dan tidak membuat wanita itu menginjak perasaannya sekali lagi. Bayangan wajah Elena terpantul pada gelas kaca yang ia pegang. Menampakkan seorang wanita berwajah kosong, mata menyala yang menatap dingin, dan bibir merah yang mengatup rapat. Dia harus mempertahankan wajahnya lima belas menit lagi. Ia harus mengucapkan beberapa patah kata kepada Bara sebelum ia meninggalkan ruangan ini. Elena meletakkan minumannya lalu melangkahkan kakinya pelan menuju tengah ruangan. Melihat seorang perempuan cantik dengan rambut pendek kemerahan yang tergerai sempurna tampak memasang senyum kepada semua orang. Tubuh perempuan itu terbalut gaun satin bewarna hijau tua dengan kalung permata yang menggantung indah di lehernya. Gaunnya yang ketat namun tidak berlebihan, apalagi dengan tali kecil yang melekat sempurna di bahunya sepenuhnya telah menunjukkan tubuh dengan lekuk mematikan milik pemakainya. Tubuh seorang model terkenal dengan bayaran tertinggi di negara ini tidak akan berbohong meskipun di balut selembar kain putih polos sekalipun. "Elena .." Seperti biasanya, laki-laki itu menangkap matanya pertama kali. Berjalan ke arahnya seperti seorang malaikat yang membawa kehidupan baru untuk wanita yang telah lupa cara bernapas. Laki-laki itu, dengan senyumnya yang terlihat sedih, menatapnya seperti dia adalah sumber kehidupannya yang telah kembali dari perjalanan yang sangat panjang. Meninggalkan perempuan bergaun hijau itu dengan wajah tajam yang seperti menguliti Elena saat ini. Bara, bisakah kau tetap di situ dan menungguku untuk menghampirimu? Mengapa kau selalu berjalan mendekatiku bahkan sebelum aku menghentikan langkahku ini. Aku bahkan berkorban banyak perasaan untuk melihatmu saat ini. "Aku kira kau tidak datang malam ini. Aku menunggumu. Aku menunggumu, Elena," kata laki-laki itu dengan wajah sedih. Elena menggigit bibirnya pelan, melihat perempuan di belakang Bara mulai mendekatinya. "Aku pasti datang, aku sudah mengatakan itu padamu kemarin." Samira mengalungkan tangannya di lengan Bara. Mengaitnya dengan gerakan yang tegas seperti memberikan peringatan bahwa Bara adalah miliknya. Elena hanya tersenyum kecil. Merasa sedikit aneh bahwa perempuan seperti Samira merasa terganggu dengan kehadirannya. Dilihat dari sudut manapun, Samira mempunyai semua yang perempuan inginkan dalam sebuah kehidupan. Keluarga yang sempurna, kecantikan, uang, popularitas, dan tubuh yang sempurna. Seharusnya perempuan itu bisa melihat bahwa Elena bukanlah seseorang yang bisa menyainginya. "Kau pasti Elena. Bara banyak bercerita tentangmu padaku. Perempuan cantik dengan segala kemurahan hatinya. Perempuan yang selalu menjadi impian Bara. Bukan begitu, Bar?" "Sam ..." Samira menatap Elena dari bawah sampai ujung kepalanya dengan merendahkan. "Koreksi jika aku salah. Mungkin mulutku ini terlalu berpikir buruk tentang mantan kekasihmu ini. Apa aku salah, Elena?" "Seperti yang kau katakan, hubunganku dan Bara sudah berakhir, Samira." Elena mengusap lengan terbukanya yang dingin. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pertunangan kalian. Aku turut bahagia, Samira." Elena menjulurkan tangannya ke Samira. Namun Samira hanya menatap rendah perempuan di depannya itu. "Malam yang indah. Kalau begitu, aku pergi dulu." Tanpa menunggu jawaban dua orang di depannya, Elena meninggalkan pasangan itu. Ia melangkahkan kakinya ke toilet, berdiam diri di dalam beberapa menit. Mendengar orang-orang di dalam toilet membicarakan bagaimana Bara dan Samira membuat mereka iri. Elena menatap dirinya di cermin. Gaun hitam melekat di tubuhnya dengan indah. Kontras dengan kulitnya yang putih pucat. Gaun itu bukan keluaran merek terkenal seperti yang digunakan kebanyakan perempuan yang datang malam ini. Hanya gaun murahan yang ia beli ketika ulang tahun Ayumi, satu-satunya gaun yang ia beli dari uangnya sendiri. Tidak mungkin ia menggunakan gaun pemberian Bara yang menumpuk di lemarinya di pesta pertunangan laki-laki itu. Elena mengeluarkan lipstiknya lalu memolesnya di bibir merahnya yang sudah mulai memudar. Menatap bayangannya sekali lagi di cermin lalu menarik bibirnya dengan paksa untuk melukis seutas senyum. Ia sudah terbiasa dengan ini. Seharusnya ia terus seperti ini, tidak pernah membiarkan senyum itu luntur dari wajahnya. "Elena ..." Suara berat yang tidak asing menerpanya ketika Elena keluar dari toilet. Ia menemukan Bara sedang berdiri di depannya. Tetap dengan tatapan sedihnya yang membuat kening laki-laki itu sedikit berkerut. "Ada apa, Bar?" "Kau akan pulang?" "Ya, aku harus bekerja besok." Elena memasang senyumnya. "Kalian berdua sangat cocok, Bar. Kumohon berbahagialah untukku. Jangan biarkan perasaanmu padaku menghancurkan semua ini. Kau tahu kalau kita tidak mungkin bisa bersama, bukan?" Bara mengusap wajahnya kalut, rahangnya mengeras, laki-laki itu menunduk melihat lantai putih yang berkilau. "Kau selalu seperti ini. Membuatku tidak berdaya dengan kata-kata tajammu. Tapi, El, sepertinya melupakanmu tidak semudah yang aku bayangkan. Sekalipun aku pergi jauh darimu, tapi bayangmu selalu mengikutiku. Aku ingin menjauh, tapi aku tidak bisa. Lalu aku harus bagaimana?" "Bar ..." "Sekarang, aku sedikit menyesal atas keputusanku ini. Tapi, ketika melihatmu lagi dan tahu kalau kau tidak akan bisa aku miliki, aku kembali pada semua pikiran sialanku untuk menjauhimu. Aku tahu ini terdengar gila. Maafkan aku, El." "Jangan meminta maaf padaku. Kamu tidak salah. Ini semua salahku. Salahku jika malam itu aku menyuruhmu menemaniku dan membuatku bergantung padamu. Salahku untuk terus mengikatmu. Seharusnya kita tidak bertemu. Seharusnya aku tidak egois dan melepaskanmu dari dulu, Bara." Elena memundurkan langkahnya ketika Bara mendekatinya, menyisakan ruang kosong di depannya yang terasa dingin. "Sudahlah, Bar. Memang seharusnya seperti ini. Aku tahu kau laki-laki yang baik, inilah yang diinginkan orang tuamu dan kamu harus melakukannya. Aku tahu kamu pasti bisa melalui ini. Samira wanita yang cantik, dia punya segala yang kamu butuhkan sebagai istri. Dia adalah yang orang tuamu inginkan." "Kamu tahu bukan itu masalahnya, El. Ini bukan tentang orang tuaku yang menyukai Samira. Ini tentang kamu yang tidak bisa aku miliki. Tentang kamu yang terus terpuruk masa lalu dan tidak membiarkanku memasukinya. Jika kamu ingin, bahkan aku bisa meninggalkan semuanya. Tapi aku tahu kamu tidak ingin. Aku percaya bahwa pernikahan harus berdasar pada rasa cinta. Sedangkan kamu, aku tidak tahu apakah kamu mengenal cinta selama ini." Elena mengeraskan wajahnya. "Aku tidak bisa." "Bara!" Suara Samira di belakangnya membuat Elena menoleh. Perempuan itu menatapnya marah dan mendekatinya perlahan. "Aku tahu. Kamu sudah mengatakan itu berulang kali." Bara meletakkan tangannya di bahu Elena yang terbuka. "Aku pergi dulu, Elena. Terima kasih telah datang malam ini. Kamu terlihat cantik dengan gaun ini," ucapnya dengan senyum tipisnya yang menyedihkan. Setelah Bara meninggalkannya untuk menyapa tamu lain, Elena melanjutkan langkahnya menyusuri lantai kayu dan beberapa meja panjang yang berisi berbagai makanan. Bau alkohol memenuhi indra penciumannya namun perempuan itu tidak menyentuhnya sedikitpun malam ini. Ia sampai di ujung ruangan, bersiap untuk meninggalkan ruang itu. Sampai di depan lift hotel, Elena mengambil ponselnya, berniat memesan taksi. "Perempuan sialan!" Pipi Elena terasa panas ketika sebuah tangan menamparnya dengan keras. Elena memegangi pipinya dengan sebelah tangannya. Melihat wanita di depannya dengan pilu. "Berani-beraninya kau datang ke sini. Dasar ja-lang sialan!" Wanita di depannya menatapnya dengan kebenciannya yang merendahkan. Rambutnya yang sudah memutih di sanggul dengan rapi di belakang. Wanita itu menarik tangan Elena menjauhi pintu lift menuju sebuah lorong luas yang sepi. "Maksud Anda apa?" tanya Elena dengan wajah kakunya. "Sudah berulang kali aku bilang jauhi anakku, Perempuan Ja-lang. Satu-satunya kesalahan di hidup Bara hanyalah mencintai perempuan sepertimu. Kau tidak pantas untuk Bara." Wanita paruh baya itu menegakkan tubuhnya. "Kamu lihat Samira? Dia adalah perempuan pilihan Bara. Dia dari keluarga yang jelas dan punya kehidupan yang jelas. Dia bukan hanya memanfaatkan uang Bara. Jadi kau, sebaiknya kau menjauh dari kehidupan Bara. Jangan mencampuri kehidupan anakku lagi. Kalau perlu, kau pergi dari sini. Aku akan memberikan berapapun asalkan kau pergi dari hidup Bara." "Maaf Tante, tapi saya tidak butuh uang Anda. Saya bukan wa-nita mu-rahan seperti yang Anda maksud." "Jangan membuatku tertawa. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini dengan anakku. Kau pikir aku tidak tahu?" Elena menggenggam erat tas kecilnya. "Aku tahu kau menjual tubuh jalangmu itu ke Bara. Membuat Bara tergila-gila padamu sampai saat ini. Tidak masuk akal kalau kau tidak menginginkan uang Bara. Kau tidak lebih dari pe-lacur yang menjual tubuhmu demi segepok uang. Aku sudah membiarkanmu terlalu lama. Sekarang saatnya kau pergi dari hidup Bara." Elena menggigit ujung bibirnya hingga perih, wanita itu menatap lekat-lekat ibu Bara. "Tante jangan khawatir. Hubungan saya dengan Bara sudah berakhir. Saya berjanji akan menjauhi Bara. Dan tentang uang, semua yang diberikan Bara selama ini sudah cukup untuk saya. Saya tidak membutuhkan apapun lagi." Elena membalikkan badannya, berjalan melintasi lorong yang sepi meninggalkan ibu Bara dengan wajah kosong. Kata-kata yang dikeluarkan wanita itu bukan apa-apa untuk Elena. Seharusnya ini bukan apa-apa. Hal itu tidak cukup kuat untuk melukai hatinya. Tidak cukup tajam untuk menembus hatinya yang beku. Pagi nanti, ia akan melupakannya, seperti sihir hitam yang melindungi perasaannya sampai sekarang. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Elena tersenyum kembali. Cukup mudah. Elena berjalan dengan senyum di wajahnya, melalui beberapa orang tak dikenal yang membalas senyumnya tanpa tahu apa yang sedang ia tutupi. Suara langkah kakinya terdengar jelas di kepalanya. "Apa yang kau lakukan?" Seorang perempuan mendelikkan matanya dengan kesal karena Elena menabrak bahunya. Ia mengambil tasnya yang jatuh lalu meninggalkan Elena dengan kata-kata umpatan yang tidak lagi di dengar Elena. Dirinya hanya fokus pada apa yang dilihatnya di depan. Tububnya membeku. Elena tidak tahu apakah ia masih bernapas atau tidak. Senyum Elena hilang. Mulutnya terkatup rapat. Laki-laki itu ... Langkahnya berhenti tepat ketika seorang laki-laki turun dari mobil hitam yang berhenti di depan hotel. Laki-laki itu berjalan menuju arahnya dengan kemeja hitam yang rapi. Laki-laki itu mengingatkan dirinya dengan sesuatu yang datang dari masa lalunya. Begitu serupa dan nyata. Elena terdiam. Tangannya bersandar pada dinding di sampingnya, memundurkan kakinya lalu menyembunyikan tubuh kecilnya dari jangkauan mata seorang laki-laki di sana. Tangan Elena bergetar hebat. Ia memundurkan kakinya lagi, bersembunyi lebih dalam ketika laki-laki di sana melangkah lebih dekat ke arahnya. Matanya yang tajam membuat Elena bungkam. Elena merasakan hatinya tergerus hebat ketika melihat tatapan laki-laki itu tidak sengaja melewatinya. Elena menahan napas. Laki-laki itu telah kembali. Salah satu mimpi buruknya telah kembali. Bayangan hitam melintas jahat di pikirannya. Laki-laki itu masih sama, tidak ada yang berubah. Begitu juga dengan ketakutannya saat ini. Hanya saja, pertahanan Elena tidak lagi sekeras dulu. Elena tahu ia tidak bisa menghadapi pria itu dengan wajah datar lagi. Tanpa tangisnya lagi. Rambut hitam laki-laki itu sedikit panjang dari yang pernah Elena ingat. Delapan tahun sudah berlalu, tetapi wajah itu masih sama. Wajah dengan rahang tajam yang menautkan kematian dalam setiap garisnya. Berjalan dengan angkuh, tak membiarkan siapapun menghentikan langkahnya. Laki-laki itu masih seperti dalam mimpi-mimpinya, masih menjelma sebagai malaikat hitam yang menekan pernafasannya. Membuatnya tercekat tak mampu bersuara, persis seperti sekarang. Elena berbalik ketika laki-laki itu berjalan melewatinya. Mengirimkan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Elena membungkam mulutnya, mencegah dirinya untuk berteriak sekarang, karena kalau itu terjadi, laki-laki itu akan melihatnya dan Elena tidak akan siap sampai kapanpun. Setelah pria itu cukup jauh, Elena berjalan dengan kakinya yang bergetar. Ia ingin segera menjauh dari tempat itu. Menjauh dari laki-laki itu. Ia ingin berteriak marah tapi mulutnya hanya bisa terkatup rapat. Sedangkan dengan tidak tahu diri, air matanya terus mengalir tanpa membiarkannya melihat jalan di depannya dengan jelas. Elena tidak pernah berpikir bahwa laki-laki itu akan kembali. Ia tidak pernah berpikir bahwa laki-laki itu akan berada sedekat itu dengannya tadi. Bahkan aromanya masih membekas di hidungnya, masih saja tetap sama seperti dulu. Aroma kebencian yang sempat membuat Elena lelah. Aroma yang menyayat luka di hatinya yang telah rusak. Aroma yang sempat hilang dari kehidupannya. Laki-laki itu kembali. Dan kini Elena takut. Elena takut laki-laki itu akan menagih kesalahannya yang belum terbayarkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD