Pagi harinya, Elena terbangun dengan dentuman hebat di kepalanya. Ia membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya matahari pagi yang mulai masuk melalui celah jendela yang tidak sepenuhnya tertutupi tirai. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia bergegas bangun, mengambil segelas air dingin dari kulkas di dapur lalu mempersipkan dirinya untuk pergi ke kantor.
Seperti biasa, kota itu selalu macet dengan mobil-mobil tidak tahu diri yang memenuhi jalanan seperti seorang raja. Elena mengeratkan pegangannya pada tiang bus ketika sebuah kendaraan beroda empat tiba-tiba menyelip bus yang dinaikinya. Suara makian dari beberapa laki-laki yang berdiri di depannya membuat suasana bus semakin panas.
Setelah beberapa menit, ia menghembuskan napas lega ketika bus yang ditumpanginya berhenti di halte depan kantornya. Elena mengeluarkan selembar uang sebelum perempuan berambut panjang itu turun. Ia harus berjalan beberapa meter untuk sampai di kantornya yang terletak di belakang sebuah hotel yang cukup besar.
Pantulan dirinya di dinding kaca bangunan di depannya membuat Elena menghentikan langkahnya. Melihat lebih dalam perempuan di depannya dengan hati-hati, ia mengusap sedikit peluh di dahinya lalu mengambil sebuah ikat rambut bewarna hitam. Sambil memasuki kantornya, Elena mengikat rambut hitam kecoklatannya itu, sesekali melempar senyumnya pada orang-orang yang ia kenal.
"Pak Gio sudah datang. Kau di panggil ke ruangannya," ucap Anggi tepat saat Elena meletakkan tasnya di ruang kerjanya.
"Iya, sebentar."
Elena menatap pintu hitam di depannya, menghembuskan napasnya pelan lalu mengetukkan pintu tersebut dengan jemari panjangnya.
"Masuk saja!"
Sebuah suara yang terdengar tegas dan kaku itu membuat Elena dengan cepat membuka pintu. Mendapati Gio membuka kacamatanya lalu menyesap minumannya. Matanya kembali menatap Elena ketika perempuan itu mendekati mejanya dengan cepat.
"Selamat pagi, Pak."
"Pagi. Silahkan duduk dulu, Elena," ucap Gio sambil menunjuk sebuah kursi di depan mejanya. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kau sudah menggantikanku satu bulan ini."
Elena tersenyum kecil. "Sama-sama, Pak. Saya beruntung bisa menjadi manager sementara di perusahaan ini."
"Tapi, Elena, sepertinya aku tidak menyuruhmu untuk lembur setiap hari. Kau bisa menyuruh semua staf di sini, aku memberikan tanggung jawab kepadamu bukan berarti kau harus mengerjakannya sendiri." Wajah Pak Gio terlihat menegas. "Aku tidak mau di panggil pihak personilia karena membiarkan bawahanku lembur lima hari berturut-turut sampai tengah malam."
"Maaf, Pak."
"Aku harap kau bisa membedakan masalah pribadi dengan pekerjaan. Pekerjaan di kantor ini bukan ajang untuk lari dari masalah."
"Tapi - "
"Aku belum selesai bicara." Pak Gio mengeluarkan sebuah surat dari dalam lacinya. "Ini surat resmi kenaikan jabatanmu, sekarang kau menjadi asistenku."
Sebelum Elena menjawab, atasannya itu berkata lagi, "Minggu depan akan ada direktur keuangan baru, dia adik tingkatku waktu kuliah. Jangan tanya saya bagaimana bisa dia mendapatkan posisi itu di usianya yang masih muda. Kau akan tahu sendiri nanti."
Elena menganggukkan kepalanya patuh.
"Kau boleh pergi."
Elena berdiri, tersenyum sekali lagi kepada pria di depannya yang tengah menatap laptop dengan serius itu, lalu menundukkan kepalanya. "Kalau begitu, saya permisi dahulu. Selamat pagi, Pak Gio."
Beberapa pasang mata melihatnya ketika Elena kembali dari ruangan Pak Gio. Anggi mendekatinya dengan tatapan khawatir. Elena tersenyum kecil, Anggi mungkin mengira dirinya dimarahi Pak Gio. Atasannya itu memang terkenal dingin dan tidak menyukai kesalahan apapun yang dilakukan bawahannya. Seorang pria matang yang terlalu perfeksionis dan membuat beberapa staf di divisinya patah hati karena laki-laki itu menikah dua bulan yang lalu.
Setelah melihat Elena tersenyum biasa, Anggi kembali ke tempat duduknya yang berada di depan Elena. "Tapi, kenapa dia selalu memasang wajah menakutkan ketika berhadapan denganku? Kadang aku merinding melihat tatapannya."
"Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Pak Gio hanya bersikap profesional."
Lampu ponsel Elena menyala, ia merasakan getaran kecil ketika ia mengangkatnya. Sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba berdengung sakit, Elena membaca pesan dari Bara. Pria itu telah mengirim beberapa pesan sejak kemarin.
Tolong angkat teleponku, El. Kita perlu bertemu. Tolong, untuk yang terakhir kali. - Bara
Seperti tidak mengijinkannya berpikir dengan benar, pria itu meneleponnya. Elena keluar dari ruangan yang berisi sekitar sepuluh orang itu. Berjalan melintasi lorong-lorong dingin yang sunyi, lalu berbelok ketika melihat sebuah balkon kecil di ujung lorong dengan terik matahari yang cerah. Setelah menguatkan hatinya sekali lagi, Elena menggenggam erat pagar besi yang berada di sekelilingnya. Merasakan angin yang siap menerpanya dengan ganas. Ia mengangkat telepon Bara.
"Bar ..."
"Elena? Syukurlah kamu mengangkat teleponku."
"Ada apa, Bar? Aku kira pembicaraan kita yang terakhir telah menjelaskan sesuatu. Aku kira kau tidak akan menghubungiku lagi."
"Aku hanya ingin tahu keadaanmu."
"Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Kata Aron kau tidak pernah menemuinya lagi beberapa minggu ini. Aku takut kau melakukan hal buruk, El."
"Aku hanya lupa. Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja."
Elena membalikkan badannya lalu bersandar pada pagar yang minim itu. "Bar, aku sibuk. Aku bukan anak pemilik perusahaan, jadi aku harus bekerja."
Suara di seberangnya semakin terdengar lirih, "Aku hanya ingin mengatakan kalau Senin depan aku akan bertunangan, El. Datanglah. Buatlah aku yakin pada pilihanku ini, karena sampai sekarang aku tidak bisa melupakanmu. Aku bodoh, aku tahu itu. Kau akan datang, bukan?"
"Akan aku usahakan."
"Elena, bisakah kita bertemu sebentar? Nanti malam?"
"Maaf, aku lembur malam ini."
"Aku akan menunggumu. Sebentar saja."
"Tidak bisa, Bara. Jangan menambah rumit hubungan kita. Aku tidak mau merusak kehidupanmu lagi. Sudah cukup."
Elena melangkah keluar dari ruangan itu, memandangi dirinya lagi di pintu kaca, menatap sendu matanya sendiri. "Kalau tidak ada yang ingin kamu katakan lagi. Aku tutup. Tenang saja, aku pasti akan datang besok. Aku tak cukup jahat untuk tidak hadir dalam momen bahagiamu, Bara."
Sebelum Elena menutup ponselnya, ia mendengar Bara berkata lirih, "Elena ... aku merindukanmu. Sangat merindukanmu."
Elana juga merindukan pria itu. Sangat.
Tidak dapat ia pungkiri bahwa Bara telah menjadi puing-puing utama dalam kehidupannya. Bara seperti malaikat yang diturunkan Tuhan padanya, bentuk simpati Tuhan kepadanya atas segala kesakitan yang tertoreh di hidupnya dulu. Seorang malaikat yang akan memeluknya setiap malam, membuatnya tertawa, menawarkan kehangatan dari surga, dan mengajarinya untuk tidak benci pada dirinya sendiri.
Ruangan kerjanya masih tetap sama ketika Elena kembali. Perempuan itu duduk di depan komputernya, menarikan jari-jari panjangnya dan sesekali menatap fokus pada untaian data-data keuangan yang ia susun.
"Elena, ada surat undangan untukmu," kata Anggi dengan canggung, takut melukai seniornya itu atas apa yang ia berikan. "Tadi diberikan oleh Ayumi," katanya lagi.
Undangan bewarna coklat keemasan itu terlihat kecil dengan kelopak-kelopak bunga mawar di ujung kirinya. Sebuah undangan pertunangan, Elena membacanya dalam diam, hatinya tidak merasakan apapun bahkan ketika perempuan itu mengeja nama-nama yang tercetak indah di sana. Ia rela menukar apapun miliknya agar pria itu bahagia dengan pilihannya. Agar pria bisa sepenuhnya melupakannya. Agar dia tidak lagi menjadi penghalang kebahagian orang lain. Ia rela menukar apapun untuk itu.
Elena meletakkan undangan itu di tepi mejanya, di atas tumpukan kertas putih bersama dengan ponsel dan kacamatanya. Ia dengan jelas masih bisa melihat nama pria itu bersanding dengan nama seorang perempuan. Perempuan yang pasti lebih baik darinya yang rusak ini.
Bara Jayandi Wirathama dan Samira Jauhari Bratawira.