PROLOG
Denting lift menyadarkan Elena bahwa ia sudah sampai di lantai apartemennya. Perempuan itu berjalan melewati beberapa pintu menuju pintu apartemennya yang berada di ujung. Seekor kucing hitam bermata hijau dengan bulu yang lebat menyambutnya di depan pintu. Elena menundukkan badannya, mengelus kucing yang ia temukan di jalan satu minggu yang lalu itu, lalu mengambil makanan khusus kucing dan meletakkannya di atas piring. Ia berdiri menyandar pada dinding kamarnya melihat sang kucing tak bernama itu dengan rakus memakan makanannya sampai habis.
Elena masuk ke kamarnya, menghidupkan lampunya lalu meletakkan tasnya di kursi yang terletak di samping pintu kamar. Perempuan itu duduk di meja rias, mengambil pembersih wajah lalu menuangkannya di selembar kapas putih. Elena membersihkan riasannya dengan pelan dan lembut. Melihat wajahnya sendiri di cermin yang sekarang terlihat pucat dan kosong setelah semua riasan itu bersih. Beberapa menit kemudian, perempuan itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Kucing hitam itu sudah terlelap di bawah kasurnya ketika Elena selesai mandi. Ia hanya mengelus-elus perutnya pelan tanpa berniat membangunkannya. Elena mengambil sebuah kaos polos lalu memakainya. Ia melihat ponselnya bergetar di meja rias. Sebuah nama dengan foto seseorang yang sedang tersenyum sambil memegang sebuah tangan di dadanya tercetak kecil di layar ponselnya. Foto itu masih sama. Elena lupa menggantinya.
Aku seharusnya tidak mengatakan ini, tapi aku sangat merindukanmu. Sangat. - Bara
Berulang kali Elena membaca pesan itu, tapi hanya sebuah penyesalan yang menghampirinya. Sudah beberapa bulan berlalu, ia sudah bisa mengikuti ketiadaan Bara dalam hidupnya. Kekosongan memenuhi kehidupannya selama ini dan itu lebih baik dari yang ia bayangkan. Ia cukup tak mengingat apapun lagi. Maka dunia juga tidak akan menemukannya.
Sekelebat angin masuk ke kamarnya, Elena membalikkan badannya. Menemukan sebuah jendela di pojok kamarnya masih terbuka, dengan langkah kecil, perempuan itu menutup jendela itu. Hujan diluar semakin deras. Bahkan dirinya masih merasakan dinginnya air hujan itu di kulitnya yang polos. Di kegelapan malam seperti ini, Elena tidak bisa melihat butiran air hujan yang jatuh dengan jelas. Walaupun begitu, suara rintikan yang keras dan hawa dingin yang menusuk tulangnya cukup menyakinkannya bahwa hujan tidak akan mengalah dan membiarkannya tidur dengan hangat malam ini. Di saat seperti ini, kadang, Elena menginginkan seseorang ada di pelukannya. Menghangatkannya.
Elena merasakan ponselnya bergetar. Sebuah nama lain menghiasi layar ponselnya. Elena menarik napas dalam lalu mengangkat telepon tersebut.
"Halo," ucap Elena mengawali.
"Hai, Kak ..."
"Ada apa, San?"
Elena mendengar suara deheman kecil. "Aku hanya ingin mendengar kabar dari Kak El. Aku merindukan kak El. Sudah lama kita tidak bertemu. Sudah lima bulan."
"Aku sibuk, Sandra."
"Aku bisa ke tempatmu kalau Kak El mengizinkan."
"Kau tidak boleh bepergian jauh sendirian. Kau masih kecil."
"Aku bisa mengajak ibu."
Mereka sama-sama terdiam beberapa detik.
"Atau ayah."
Elena merasakan sesak di dadanya. "Tidak perlu," ucapnya sambil menahan getaran suaranya.
"Kenapa? Ibu sama ayah juga merindukanmu sama besarnya. Mereka sering menanyakan kabar Kak El padaku. Kapan kakak pulang? Kapan?"
"Pulang kemana?"
"Kak El!" Suara di seberang terdengar keras dan menuntut. "Kak El tidak boleh melupakan kalau masih punya rumah di sini dan orang tua yang menunggu kak El pulang setiap hari."
"Maaf, San. Tapi aku sangat lelah. Aku ingin tidur."
"Kak, ini sudah delapan tahun. Bapak dan ibu akan melakukan apa saja asalkan kakak memaafkan mereka. Kasihan mereka, Kak."
"Sandra, aku-"
"Kak El, tolong pikirkan ini sekali lagi. Bapak dan ibu sudah semakin tua. Mereka butuh kakak di sini. Ini bukan soal uang atau apa, ini soal penyesalan mereka, Kak. Mereka sudah ribuan kali meminta maaf. Apa itu belum cukup untuk kakak? Apa kakak menunggu mereka meninggal dahulu sebelum memaafkannya? Begitukah, Kak?"
"Aku tutup."
Tanpa menunggu jawaban dari Sandra, Elena menutup teleponnya sepihak. Luka lamanya kembali merangkak mengacaukan pikirannya. Elena merasakan dadanya bergetar hebat. Ia berpegangan pada lemari di sebelahnya. Merasakan jantungnya seperti terenggut dengan paksa oleh tangan-tangan besar yang sekarang menyiksa tubuhnya dengan ganas.
Dengan tertatih-tatih, perempuan itu mendekati laci di seberang kasurnya. Mengambil sebotol obat yang selalu menjadi harapannya selama ini. Kepalanya yang seperti berputar dan mencari kebebasan sendiri terasa menghantam pelan sebuah dinding, lalu terjerembab di balik kawah yang bersembunyi di bawah tanah yang basah. Pikirannya sudah tidak waras lagi, Elena memegangi dadanya yang sesak lalu dengan cepat menelan obat yang akan mengantarkannya pada ketenangan sesaat itu. Seperti sebuah mesin yang diatur oleh kenangan jahat, setelah ini ia akan tertidur. Meringkuk seperti anak kecil yang merindukan sentuhan jari ibunya yang lembut dan hangat.
Akan terus seperti itu. Sisa hidupnya. Inilah Elena Kayleen.