"Apartemennya yang dekat bandara itu, ya?"
Tangan Elena bergetar. Ia melirik sopir taksi yang sedang berbicara dengannya. Pria paruh baya dengan rambut hitam dan kacamata di wajahnya. Tanpa bersuara, Elena menganggukkan kepalanya. Bayangan laki-laki yang baru ia temui tadi tidak bisa hilang dari pikirannya. Mencabik kepalanya, meminta perhatian darinya.
Elena menggeledah tas kecilnya dengan cepat. Mencari obat penenang yang selalu ia bawa, lalu menelan dua pil putih itu tanpa air setetes pun. Lidahnya sudah tidak bisa merasakan apapun lagi.
"Muka Anda pucat sekali. Anda tidak apa-apa? Apa perlu saya antar ke rumah sakit?"
"Tidak perlu," balas Elena dengan suara tercekat.
Elena merasa badannya dingin. Ia bersandar pada kaca mobil, sekelebat ingatan mulai menghantuinya ketika Elena menutup matanya. Seperti tidak mengijinkan perempuan itu tertidur walaupun dengan obat penenang yang ia minum.
"Dasar ja-lang!"
"Aku seharusnya membunuhmu dan mengirimmu ke neraka. Ja-lang sepertimu tidak pantas hidup di dunia ini."
"Hanna akan menangis melihatmu tetap hidup bahagia dengan pria itu."
"Kau sudah pembunuh Hanna."
"Hanna mati karenamu."
"Kau ..."
"Mati saja, dasar ja-lang sialan."
Elena membuka matanya.
Gelap.
Ia tidak menyukai kegelapan. Ia takut kegelapan. Matanya terbuka lebar sampai memerah, teriakan di kepalanya semakin keras. Elena ingin keluar, tangannya dengan tak sadar sudah membuka pintu mobil dengan gemetar.
"Hei!" teriak sang supir.
Elena merasakan angin menerpanya dengan kasar, menamparnya dan mengembalikannya pada kenyataan.
"Apa yang Anda lakukan? Tolong tutup pintunya. Kalau ingin bunuh diri jangan di mobil saya."
Mulut Elena tercekat ketika melihat sebuah mobil besar dengan kecepatan tinggi hampir menabrak pintu mobil yang ia buka. Dengan setengah sadar, perempuan itu menutup pintu mobil. Masih menghadap kaca mobil dengan kaku, Elena merasa dirinya sudah tidak tertolong lagi. Sesuatu yang setengah mati ingin ia kubur telah muncul di hadapannya. Seseorang dari masa lalunya telah kembali.
"Apa yang Anda lakukan?!" ucap sopir di depannya dengan wajah garang. "Ini bukan mobil saya sendiri. Tolong jangan berbuat seperti ini lagi atau saya akan turunkan Anda di jalan."
"Maaf, Pak," sahut Elena. Sopir itu mengatakan sesuatu lagi, namun pikirannya sudah tidak bisa menangkapnya.
Elena merogoh tasnya, mengambil ponselnya dan menghubungi Bara. Ia butuh Bara sekarang. Ia butuh laki-laki itu. Ia akan menjadi perempuan paling jahat dan tidak akan membiarkan pria itu pergi dari hidupnya. Ia belum siap sendiri dengan segala kegilaan ini.
Tut ... tut ... tut
Dengan ponsel yang masih di telinganya, ia menggelengkan kepalanya cepat.
Elena menggigit ibu jarinya. Meninggalkan noda merah di ujungnya. Ini malam pertunangan Bara, tidak mungkin laki-laki itu menemuinya dan meninggalkan Samira sendiri. Bara sudah jelas mengatakan bahwa laki-laki itu tidak bisa lagi datang ketika ia membutuhkannya. Bara sudah mempunyai perempuan yang akan menjadi prioritasnya. Elena seharusnya mengerti dan tidak mengganggu mereka lagi dengan kehadirannya. Bukankah itu yang ia inginkan? Bukankah tadi ia sudah berjanji untuk tidak menemui laki-laki itu lagi?
Tapi, tetap saja ...
"Ada apa, Elena?"
"Aku bertemu dengannya, Ron."
Suara laki-laki di ponselnya menghilang, digantikan dengan musik keras dan beberapa suara yang tidak asing di kepalanya. Elena tidak tahu kenapa dia menghubungi Aron, tetapi mendengar suara hingar-bingar itu, membuat Elena ingin tenggelam di sana dengan beberapa gelas alkohol dan melupakan wajah sialan itu untuk sementara.
"Aron?"
"Ya, El? Maaf, aku sedang ..." Elena mendengar geraman Aron dan desahan perempuan saling bergantian yang membuat Elena menjauhkah ponselnya dari telinganya. "Maaf, El. Sebentar, tunggu lima menit lagi."
Elena kembali menjauhkan ponselnya, merasa bersalah telah mengganggu kegiatan laki-laki itu. Aron adalah sepupu Bara, laki-laki muda berumur dua tahun di bawah Elena, seorang dokter jiwa yang baru menyelesaikan program spesialisnya dan bekerja di salah satu rumah sakit swasta terbesar di kota ini. Orang pertama yang dikenalkan Bara dulu. Seorang selain Bara, yang selalu menjadi tempatnya bercerita.
Elena kembali mengangkat ponselnya. "Aron ..."
Tidak ada sahutan, Elena hampir saja menutup ponselnya dan melupakan niatnya untuk bercerita ke Aron, namun laki-laki itu tiba-tiba berkata, "Ya, El. Ada apa? Maaf, aku tidak mendengarmu tadi."
"Kau di mana?"
"Aku ada di bar dekat rumah sakit. Kenapa? Ada masalah lagi? Kau di mana? Aku akan menemuimu."
"Aku akan kesana."
"Tidak. Jangan, El. Bara akan membunuhku jika tahu aku mengajakmu ke sini. Kau lupa kejadian terakhir kita ke bar?"
Sekelabat ingatan muncul di kepala Elena dalam sekejap.
Lima tahun yang lalu...
Bara melepaskan pukulannya ke wajah Aron. Laki-laki berkaos hitam itu menarik tangan Elena pergi dari kerumunan orang yang sekarang sedang menatap penuh perhatian kejadian di depan mereka itu.
"Sejak kapan kau pergi ke tempat seperti ini?" Bara berjalan cepat sambil menarik tangan Elena menuju parkiran yang sempit. Hanya beberapa mobil yang masuk ke dalamnya. Kebanyakan orang yang datang lebih suka memarkir mobil mereka di lapangan sebelah klub malam tersebut, begitu pula Aron tadi. "Jawab aku, Elena. Sejak kapan kau pergi ke tempat ini?"
Alkohol masih mempengaruhi Elena. Musik yang berasal dari dalam masih terdengar di telinganya, wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil sesekali menarik tangannya dari genggaman Bara. Rambutnya yang disanggul acak sudah berantakan. Gaun ketatnya yang sangat pendek semakin naik hingga membuat wajah Bara semakin panas.
Laki-laki itu tidak pernah sekalipun mengizinkan perempuannya pergi ke tempat seperti ini. Bahkan ketika perempuan itu kacau sekalipun. Bara tidak mau Elena mengalihkan masalahnya pada alkohol, musik yang keras, dan yang paling parah, seorang laki-laki kelaparan yang akan menatapnya dengan pandangan liar. Bara tidak mau itu terjadi.
"Bar ..."
Seorang laki-laki berkemeja dengan kancing yang hampir terbuka setengahnya menghampiri mereka. Bara menatap tajam sepupunya yang lebih muda darinya itu. Menahan amarahnya yang semakin menjadi ketika laki-laki itu menarik tangan Elena dari genggamannya dan merangkul bahu perempuannya erat.
"Bar, kamu tahu tidak apa yang dibutuhkan Elena saat ini?"
Bara terdiam, tangannya mengepal sempurna. Rahangnya mengetat dan tatapannya semakin tajam. Aron tidak akan pernah tahu apa yang bisa dilakukan Bara saat ini. Beraninya anak itu membuat perempuannya mabuk dan berpakaian seperti ini?
"Yang dibutuhkan Elena itu bukan kamu yang selalu ada di sampingnya, menemaninya kemanapun, mendengar ceritanya, atau apapun itu yang kamu lakukan ke Elena selama ini. Aku tahu apa yang dibutuhkan Elena untuk menenangkannya." Aron tidak melanjutkan perkataannya, laki-laki itu menarik tubuh Elena semakin dekat ke pelukannya lalu mencium belakang telinga Elena dengan mulutnya. "Yang dibutuhkan Elena adalah alkohol dan seks, aku tahu itu melebihi siapapun di dunia ini. Dan Elena juga tidak akan menolak."
Aron melepaskan tangannya dari bahu Elena lalu berkata lagi, "Kamu terlalu menganggap suci wanitamu ini. Kenapa kamu tidak menggunakan Elena seperti yang seorang Bara lakukan ke para wanitanya? Apa yang kau takutkan, Bar?"
Sebuah pukulan keras mendarat di perut Aron. Darah mulai menetes dari bibir Aron tetapi amarah Bara semakin besar, perkelahian tidak bisa dihindari, Bara memukil wajah Aron beberapa kali. Elena hanya berteriak ketakutan, tangannya yang kecil menarik tubuh besar Bara menjauhi Aron. Darah mengenai tangan Elena ketika Aron memukul wajah Bara dengan tangannya yang besar. Elena berteriak histeris, ia mundur hingga tubuhnya menabrak mobil putih yang terparkir di belakangnya. Darah di tangannya membuat dadanya sesak dan kehilangan nafasnya. Air matanya mulai menetes deras hingga beberapa orang menemukan mereka dan memisahkan pertengkaran itu. Menyisakan Elena yang menangis ketakutan di sudut parkiran.
"Elena ..." panggil Bara lembut dengan wajah yang tak berbentuk lagi.
Sedangkan perempuan itu hanya menatap kosong pria di depannya. Tak tahu lagi apa yang sedang ia alami tadi.
***
Elena mengalunkan kakinya dengan indah memasuki ruangan besar yang ada di depannya itu. Hal pertama yang ia lihat adalah cahaya terang di atas kepalanya dan orang-orang yang sedang asik menikmati musik keras dari seorang DJ yang bertelanjang da-da di atas panggung. Laki-laki itu menutup matanya dengan kacamata hitam besar dan melingkarkan kemejanya yang sudah tak berbentuk di pinggangnya. Beberapa perempuan yang berdiri di barisan paling depan meneriakkan namanya berulang kali. Laki-laki berambut pirang itu membuka kacamatanya yang membuat orang-orang semakin histeris.
Ruangan luas itu disangga oleh beberapa tiang besar yang sekarang sudah di penuhi oleh para pasangan yang berciuman hebat. Pria tua berbaju putih tepat sepuluh meter di depannya sudah menurunkan rok perempuan muda di dekapannya dan tangannya tak berhenti masuk ke dalam kaos ketat perempuan itu. Di bagian belakang, tepatnya di depan bar panjang dengan ratusan botol minuman yang terpajang indah, terdapat beberapa sofa hitam yang sudah penuh. Lalu di samping kanannya ada pertunjukan penari hampir telanjang yang meliukkan badannya dengan bibir merah darah yang menggoda. Membuat beberapa laki-laki mendekati perempuan penghibur itu dengan senyum liar yang menjijikkan.
Tubuh Elena terdorong ke depan ketika seorang laki-laki menabraknya dari belakang hingga minuman yang dibawanya itu membasahi gaun hitam Elena di bagian da-da.
"Maaf, Nona," ucap laki-laki itu dengan senyum tidak jelas.
Perempuan berambut merah yang menempel di tangannya terlihat tidak suka lalu menarik laki-laki itu menjauhi Elena. Laki-laki itu berjalan masuk ke kerumunan dengan tangan yang melambai-lambai padanya, beberapa kali mengerucutkan bibirnya dan menyipitkan matanya seperti meminta perhatian Elena.
Elena mendesah pelan. Ia berjalan menuju bar, memanggil seorang bartender muda berambut panjang dengan bando di kepalanya. "Beri aku vodka dengan sedikit cranberry."
"Minuman berbahaya untuk malam yang sepanas ini, Nona. Tunggu lima menit."
Bartender muda itu membalikkan badannya menghadap deretan minuman alkohol di lemari. Elena turun dari kursinya, menatap sekelilingnya dengan penuh perhatian, mencari seseorang yang ingin ia temui. Sebuah tangan besar hinggap di bahu Elena. Laki-laki berbadan besar dengan tinggi badan yang tidak jauh di atasnya sedang menatapnya tertarik. Laki-laki itu membawa sebuah botol minuman di tangan kirinya. Salah satu merek martini mahal, Elena tahu.
"Minumanmu sudah siap, Cantik."
Pria itu menunjuk sebuah gelas yang berdiri dengan cantik di mejanya tadi. Sang bartender tersenyum menawan kepada Elena. Tanpa menanggapi laki-laki bermata coklat di sampingnya itu, Elena meraih minumannya dengan cepat, menggoyangkan gelas vodkanya beberapa kali dengan tangan kirinya. Sebelum meminumnya, perempuan itu lebih dulu mencium aroma minuman itu yang dulu sempat membuatnya ketagihan, lalu menghabiskannya sekali minum. Benda cair itu mengalir di tenggorokannya, membakarnya dengan rasa yang memabukkan.
"Cara menikmati minuman yang sangat seksi. Siapa namamu, Wanita Bergaun Hitam?"
Elena meletakkan gelasnya di meja, lalu berkata kepada bertender lain yang berambut lebih pendek.
"Beri aku sebotol martini," kata Elena, ia ingin mabuk. Ini adalah pertama kalinya ia pergi ke bar setelah sekian lama. Bara selalu melarangnya.
Laki-laki asing di sampingnya semakin mendekati Elena, tubuhnya menempel di lengan Elena dan nafasnya menerpa wajah Elena ketika berbicara.
"Kau boleh meminum martiniku, Sayang," ucapnya sambil mendekatkan bibirnya pada wajah Elena.
"Jangan mendekatiku," sahut Elena datar.
Tangan laki-laki itu sudah mengekang tubuh Elena, menekan perempuan itu di meja bar yang dingin. Kakinya dengan nakal membelah paha Elena, membuat perempuan itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Tangannya yang lain membelai pipi Elena yang memerah karena vodka yang ia minum, mengusapnya halus lalu menangkup leher wanita itu dan mengirim kehangatan di sana. Suara dentingan kaca yang cukup keras terdengar ketika laki-laki itu meletakkan botol minumannya dengan kasar di belakang Elena, lalu menggunakan tangannya yang bebas mendekati da-da Elena yang sedikit terbuka. Elena hanya terdiam, meringis ketika laki-laki itu mulai mendekati bagian belakang lehernya dengan kasar.
"Andre!"
Laki-laki itu tiba-tiba terlepas dari tubuhnya. Aron terlihat mendorongnya dengan kasar hingga terjatuh di lantai. Laki-laki yang dipanggil Andre tadi bangkit dari jatuhnya, menatap Aron dengan tajam.
"Ternyata dia salah satu pe-lacurmu," kata laki-laki bernama Andre itu. Dengan senyum simpul di wajahnya, laki-laki itu mengambil botol minumannya di samping Elena lalu pergi tanpa berkata sepatah kata pun.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Aron.
Elena mengangguk, ia meminum martininya lalu duduk di kursi bar dengan santai, "Tidak apa-apa."
"Sebaiknya kita cari tempat mengobrol yang nyaman. Di sini terlalu berisik."
"Aku suka di sini."
Aron menarik tangan Elena, membawa perempuan itu menembus kerumunan, menaiki tangga hingga lantai tiga, lalu berhenti di sebuah ruangan sepi di lantai paling atas. Elena tidak tahu ada tempat lain selain bar di gedung ini. Ruangan itu berhadapan langsung dengan gedung lain yang menjulang tinggi di sampingnya.
Elena dapat mendengar suara kendaraan dengan jelas di tempatnya. Lampu-lampu kecil terpasang di sekitar pagar kecil sebagai pembatas balkon dan kursi-kursi yang sekarang ia tempati. Hanya ada beberapa orang di ruangan ini. Tidak terdengar suara musik di bawah, juga tidak ada orang yang melakukan tindakan tidak senonoh di sini.
Elena merasa kesal ketika Aron mengambil paksa botol martininya yang tinggal separuh. Pria itu meminumnya dengan cepat, menyisakan sedikit untuk Elena.
"Kamu sudah terlalu banyak minum, El. Sekarang, ceritakan apa yang membuatmu kembali ke sini?"
"Kenapa kamu tidak datang ke pesta pertunangan Bara? Kau bertengkar lagi dengan Bara?"
Aron tertawa pelan. "Itu bukan urusanmu, Elena. Jangan mengalihkan pembicaraanku. Sekarang ceritakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau menghubungiku tengah malam seperti ini setelah tiga bulan. Kau tidak sedang menyesal karena membiarkan Bara bersama wanita lain, bukan?"
"Bukan itu."
"Ceritakan padaku."
"Aku bertemu dengannya, Ron."
"Siapa?"
Elena menelan salivanya, mengatakan nama pria ini tidak pernah mudah untuk dirinya. "Regan. Pria itu ... aku melihatnya tadi."
"Regan?"
"Ya, pria yang pernah aku ceritakan padamu. Dia tidak berubah. Tatapannya masih sama, wajahnya masih sama. Aku takut. Aku takut bertemu dengannya lagi dan membuat semua yang telah aku bangun berantakan lagi, Ron. Kau tahu? Dia salah satu mimpi terburukku."
Aron menatap Elena serius. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Ingatan-ingatan itu menghantuiku lagi. Aku telah menguburnya dalam selama ini. Tapi melihat wajahnya membuat semuanya mengikuti, seperti kejadian itu baru terjadi kemarin. Bahkan sekarang, getaran di tanganku tidak bisa hilang. Apa yang harus aku lakukan, Ron?"
Elena menatap Aron kaku dengan wajah datarnya. Laki-laki itu hanya mengetukkan ujung jarinya di meja kayu. Melihat tangan perempuan di depannya yang terlihat sedikit gemetar. Perempuan pujaan sepupunya itu mungkin akan kembali ke keadaannya lima tahun yang lalu.
"Kau tahu dia bukan siapa-siapa lagi di hidupmu kan, El? Kau sudah menjadi orang baru, El. Kau bukan Elena yang dulu. Kau sudah membangun semua yang kau butuhkan untuk menghadapi masa lalumu. Kau bukan lagi Elena yang terus terbangun dari mimpi buruk di malam hari dan mencoba melukai dirimu sendiri. Coba ingat apa yang sudah kau lewati selama ini demi hidup barumu, Elena."
"Aku tidak tahu. Rasanya, aku ingin pergi dari kota ini sekarang juga. Mengetahui dia berada di sekitarku membuat perasaanku kacau, Ron."
"Jangan biarkan dirimu yang dulu senang karena dapat mengacaukan perasaanmu dengan kehadirannya. Bangun pertahananmu sendiri, Elena." Aron memijit hidungnya pelan. "Kau butuh seseorang untuk menopangmu. Sebenarnya, Bara adalah orang yang tepat. Ia memberimu penyembuhan mental maupun fisik. Secara tidak langsung, Bara telah membantumu sembuh selama ini. Tapi sekarang, aku tahu hubungan kalian tidak akan sesederhana sebelumnya."
Aron menghabiskan minuman Elena lalu berkata, "Aku sebenarnya heran kenapa kau tidak membiarkan Bara menikahimu. Kau hidup tenang dengan Bara selama ini, tapi kenapa kau tidak bisa mempercayakan sisa hidupmu dengannya, El?"
"Dia pantas mendapat yang lebih baik."
"Tak ada yang lebih baik daripada seseorang yang kita cintai. Meskipun aku bukan penganut paham itu, tapi aku tahu itu adalah yang Bara rasakan. Semudah itu dan kau tidak mau memberikannya? Meskipun dengan apa yang Bara berikan selama ini? Kau tahu? Kau hanya perlu berkata kau mencintainya." Tubuh Elena semakin dingin dengan bertambahnya malam. "Aku tidak berniat menyalahkanmu. Aku hanya ingin kamu melihat kebodohanmu di sini, Elena."
"Aku butuh obat penenang lagi, punyaku sudah habis," kata Elena mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tidak. Percayalah, El, obat-obat itu akan menggerogoti tubuhmu perlahan. Jika kau terus meminumnya, bukan hanya hatimu yang terluka, tapi juga organ tubuhmu yang lain."
"Aku tidak peduli."