Sembilanbelas

1047 Words
Hari ini Dhifa diizinkan pulang setelah mendapat perawatan selama empat hari. Gadis itu kembali ceria meskipun sebagian hatinya belum bisa sembuh total. Luka yang ditorehkan oleh Alwi begitu dalam, entah kapan bisa sembuh sebab dokter spesialis penyakit dalam pun tak akan sanggup menyembuhkannya. Mungkin ia harus bertemu dengan dokter cinta yang entah ada dimana tempat prakteknya. Mama Heni terlihat sibuk membereskan barang bawaannya. Meskipun menginap empat hari mereka seperti habis liburan selama dua minggu. Ada dua koper besar yang dibawanya. Semua berisi baju ganti Dhifa dan juga dirinya, ada juga milik Papa Dany yang juga menginap di sana. Sebenarnya tiap hari juga cucian di bawa pulang, namun sopir juga mengirimkan pakaian ganti lainnya. Sementara itu Dhifa duduk manis di sofa ditemani Oma Ratih menyaksikan kesibukan sang Mama . "Maafkan Oma ya, Sayang. Oma ga tahu cucu Oma masuk rumah sakit." Oma Ratih tampak bersedih. Biasanya ia menjadi orang yang paling duluan menjaganya. Nenek sepuluh cucu itu baru pulang dari Maladewa usai liburan selama sepekan bersama Opa Yusuf yang saat ini tak bisa ikut karena harus istirahat. Wanita itu langsung meluncur menuju rumah sakit tempat Dhifa mendapatkan perawatan. Selama di luar negeri pin pikirannya tak tenang begitu mengetahui kabar Dhifa masuk rumah sakit. "Tenang saja Oma, Dhifa sudah sehat." Dhifa berusaha memperlihatkan wajah cerianya apalagi sang Oma telah membawakan banyak oleh-oleh. "Syukurlah, Oma senang." Ibu kandung Papa Dany itu memeluk Dhifa. Ia tak terlalu khawatir seperti sebelumnya. Dhifa sepertinya sudah kembali normal. "Sebenarnya kamu sakit apa?" Oma Ratih bertanya langsung kepada cucunya, sebenarnya ia sudah tahu tentang penyakit Dhifa dan juga masalah putus cintanya dengan Alwi. Bukan Oma Ratih namanya jika ia tak tahu kabar penting di keluarga Hadiwijaya. Apalagi gosip hangat yang tengah menimpa cucunya. "Panas, demam dokter bilang gejala typus." Dhifa mengatakan yang sesungguhnya. Oma Ratih tersenyum manis mendengar pengakuan dari cucunya. "Kamu jangan terlalu stres mikirin kuliah kamu. Di kampus manapun sama saja yang penting jurusannya sesuai dengan cita-cita kamu." Oma Ratih memberikan nasihat. Sengaja dirinya menyinggung urusan kuliah. "Soal jodoh juga jangan cemas, biar nanti Oma carikan. Cucu teman-teman Oma banyak yang ganteng, soleh dan tajir. Pokoknya paket komplit kamu tinggal pilih saja. Kapan-kapan kamu ikut arisan bareng Oma " Oma Ratih berbisik serius. Dhifa kaget dengan ucapan neneknya itu. Neneknya selalu antusias dalam merancang perjodohan untuk keluarganya. Dhifa jadi ingat cerita perjodohan papa dan mamanya serta perjodohan Om Diki dan Tante Vina. Gadis cantik itu enggan berkomentar. Ia tak ingin terlibat perjodohan apapun. "Ayo kita pulang sekarang, semua urusan administrasi telah selesai." Papa Dany telah kembali dari kasir. Beruntung ayahnya datang mendekat ke arah mereka sehingga obrolan dirinya dan sang Oma terhenti. Betapa ngerinya mendengar kata perjodohan. "Ayo." Mama Heni pun sudah siap. Dhifa ditemani kedua orang dan neneknya meninggalkan ruangan penuh kenangan pahit itu. Ia berharap semoga ini menjadi yang terakhir kalinya menginap di rumah sakit. *** Dhifa telah berada di kamarnya yang semua dekorasinya telah diubah. Tak ada lagi foto-foto Alwi yang terpasang di sana. Semua barang pemberiannya pun telah disingkirkan. Dhira yang membantu merapikan semuanya sesuai permintaan sang kakak. Gadis cantik berkulit putih itu ingin memulai hidup baru. Ia ingin menata hatinya yang hancur berkeping-keping. Dhifa tak ingin mengenang segala sesuatu tentang Alwi yang akan membuatnya sedih. Ia telah berjanji untuk bisa melupakannya. Apalagi di pesannya Alwi seolah tak berniat untuk kembali. Bukti lainnya saat sakit ia tak menjenguknya. Akan tetapi bayang-bayang Alwi memang sulit untuk dilupakan. Meskipun semua barang dan foto-foto telah dimusnahkan. Kenangan mereka terlalu banyak. Dhifa buruh waktu untuk melupakan pemuda yang selama ini mengisi ruang hatinya. "Gimana kak, suka dengan ruangan barunya?" Dhira meminta pendapat saudarinya. "Iya, aku suka. Makasih ya, Dek." Dhifa berhutang budi kepada Dhira. Ia berharap perubahan kamarnya akan berpengaruh kepada suasana hatinya. Tiba-tiba Dhifa memeluk Dhira dan menangis. "Aku sedih." Dhira tak kuasa menahan tangisnya yang semakin menjadi. "Kak, sudah dong, jangan nangis terus!" Dhira yakin jika kakak kembarnya itu masih memikirkan Alwi. "Sebentar lagi giliran kamu yang akan meninggalkanku." Bukan hanya Alwi yang pergi darinya, Dhira pun tak akan ada bersamanya. "Kakak jangan sedih, kita masih bisa komunikasi dan aku juga bakal pulang. Aku kuliah di Yogyakarta bukan di Belanda." Dhira berusaha menghibur Dhifa. "Aku ga nyangka aja kita bakalan berpisah." Dhifa memeluk adiknya. Meskipun mereka selalu bersaing namun hubungan mereka sangat dekat. Mereka tak pernah berpisah. *** Dhira telah meninggalkan Dhifa sendirian karena gadis itu harus membantu sang Mama menyiapkan makan siang. Saat tengah asyik dengan pikirannya, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju kamarnya. "Assalamualaikum, Apa kabar Dhifa" Nayla langsung menyerbu sahabat nya. "Nayla." Dhifa kaget sebab Nayla datang tak sendiri. Ada Tomy saudara tirinya, yang menemani gadis bertubuh kurus itu "Ini buat kamu." Tomy menyerahkan satu box berisi permen lollipop kesukaan Dhifa. Dhifa diam saja tak ingin menerimanya. "Ga baik loh menolak pemberian orang lain." Tomy terus menyodorkan barang bawaannya, mendesak Dhifa supaya mau menerima kebaikan hatinya. Nayla menatap Dhifa sambil memberikan cengirannya. "Iya, makasih." Dhifa mengambilnya dengan terpaksa lalu menyimpannya di atas meja. "Ya sudah aku ke luar dulu ya." Tomy meninggalkan Dhifa untuk menemui Nizam. Ia tak mau mengganggu Dhifa. Melihatnya sudah kembali sehat sudah membuatnya bahagia "Alwi sudah berangkat." Nayla memberi tahukan kabar terkini tentang mantan Dhifa. Mendengar nama Alwi hatinya kembali teriris. "Kamu harus semangat dong, sebentar lagi kan mu ujian masuk perguruan tinggi." Nayla menyemangati Dhifa. "Aku semangat kok," Dhifa berusaha mengontrol emosinya. Ia harus bangkit, itu kata-kata penyemangatnya. "Kamu jadinya ambil jurusan apa?" Nayla menatap sahabatnya. " PR sesuai saran Papa, padahal aku anak IPA ya." Dhifa tersenyum. Ia harus menjadi korban kehendak orang tuanya. Meskipun demikian Dhifa setuju karena ia senang tampil di depan umum. Kakeknya juga pemilik salah satu perusahaan penyiaran. "Kamu sendiri?" Dhifa balik bertanya. "Farmasi, kalau Tomy kedokteran." Nayla memberikan informasi. "Oh.." "Gimana dengan Dhira?" tanya Nayla. "Dia kan sudah fix kuliah di Yogyakarta. Heran juga sama Dhira ngapain jauh-jauh. Kalau mau jauh mending di LN sekalian." Dhifa masih mempertanyakan keputusan adik kembarnya yang rela meninggalkan dirinya. "Meskipun kita nanti tidak satu jurusan mudah-mudahan ada di kampus yang sama." Doa Nayla. "Amin." Dhifa pun ingin selalu bersama Nayla, terlebih nanti tak ada lagi Dhifa yang biasa menemani hari-harinya. "Biar kita tetep bisa pulang pergi barengan." Seru Nayla. Mereka sudah berteman sejak kelas satu SMP. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD