Satu
Suasana SMA Pelangi tampak sepi sebab semua murid sudah pulang ke rumah masing-masing, kecuali mereka yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler.
Seorang siswi bernama Nadhifa Hadiwijaya duduk manis di depan bangku kelasnya yang kosong sambil asyik memainkan gawainya. Sesekali ia arahkan kamera depan ke wajah cantiknya untuk berselfi ria. Tak ada yang dapat dilakukan dalam kesendiriannya selain bermain gawai. Gadis cantik berkulit putih tak bisa lepas dari benda canggihnya.
Waktu menunjukkan pukul empat sore saat gadis yang biasa dipanggil Dhifa itu melirik ke arah jam tangannya, sejak dua jam lalu ia setia menunggu sang pujaan hatinya yang bernama Alwi. Siswa kelas XI MIA 1 itu sedang latihan persiapan lomba cepat tepat di kelasnya. Dua minggu lagi acara tersebut akan berlangsung. Ia menyimpan gawainya karena melihat ada peringatan low batt, dengan cepat ia sambungkan ke power bank. Untuk mengusir sepi giliran lollipop rasa coklat ia rogoh dari saku roknya, permen dengan rasa manis itu merupakan favoritnya.
Lima menit berselang, orang yang tengah ditunggu kedatangannya segera hadir, menampilkan senyuman termanisnya semanis permen lollipop kesukaan Dhifa yang tengah dikulumnya. Dhifa yakin, Alwi menyempatkan diri ke toilet untuk cuci muka dan menyemprotkan parfumnya. Pacarnya itu selalu terlihat klimis dan rapi. Wangi parfum aroma lemon juga menjadi ciri khasnya, semerbak mewangi memenuhi indera penciuman gadis berambut sebahu itu, meskipun fisiknya tak segagah teman-temannya, namun ia selalu rapi dan bersih. Kacamata tak pernah absen menghiasi wajahnya. Meskipun teman-temannya sering mengoloknya ia tak peduli.
"Sorry ya my Lopelope, kamu harus menungguku lama sekali. Terima kasih sudah mau setia menanti." Alwi berujar dengan perasaan tidak enak. Kekasihnya itu sungguh setia karena mau menunggunya tanpa lelah padahal siswa lain sudah pulang. Ia semakin jatuh cinta.
"Ga apa-apa kok, lagi pula hari ini Papa aku lagi main futsal dan pulangnya malam. Jadi tidak akan ada yang mengomel, kecuali kalau Dhira mengadu. Mama juga sedang berada di rumah Oma, pulangnya pasti malam karena menunggu jemputan Papa, jadi aku bisa santai pulang ke rumah. Asalkan maghrib sudah sampai." Gadis cantik berhidung mancung itu menjawab seraya merapihkan rambutnya yang berantakan karena hembusan angin kencang di sore hari.
"Bagaimana kalau Mang Amar nanti mengadu?" Alwi bertanya setengah berbisik. Sopir yang satu itu memang sering melaporkan apapun tentang kegiatan Dhifa di sekolah. Sang Papa sengaja menjadikannya sebagai informan pribad untuk mengawasi kedua putrinya. Oh ya, Dhifa memiliki saudari kembar bernama Nadhira Hadiwijaya. Mereka berada di satu sekolah yang sama namun beda kelas. Dhifa kelas XI MIA 2 sedangkan Dhira sekelas dengan Alwi di kelas XI MIA 1.
"Tenang semua bisa diatur. Kita beri saja dia dua lembar si Pingky dan semua urusan kita akan aman terkendali."Giliran Dhifa yang berbisik. Ia tak kehabisan akal untuk menaklukan si sopir matre beristri dua itu.
"My Lopelope pinter deh! Aku makin cinta sama kamu." Alwi memencet hidung Dhifa gemas. Ia selalu memberikan panggilan Lopelope untuknya yang diambil dari kata Love.
"Sakit dong, Mein Lieblieb," jeritnya pelan. Dhifa sendiri memberikan panggilan sayang Lieblieb diambil dari kata liebe dari bahasa Jerman.
Alwi menarik tubuh Dhifa dan ganti memeluknya. Pipi Dhifa yang putih jadi merona, jantungnya serasa berdisko.
"Sorry ya My Lopelope." Ia mengecup kening Dhifa. Gadis bertubuh tinggi itu jadi sesak nafas. Berani sekali pacarnya main kecup di lingkungan sekolah. Kalau kepergok siswa atau guru lain bisa bahaya.
"Okey, aku maafkan." Dhifa tersenyum manis membuat Alwi bahagia tiada tara. Pemuda yang dikenal sebagai siswa teladan itu segera mengalihkan arah pandangannya. Dirinya tak mau keterusan menatapnya yang berakibat fatal, khilaf. Terlebih mereka sedang berada di lingkungan sekolah.
"Nadhifa, Alwi...kalian malah pacaran! Sudah sore bukannya pulangbke rumah. Jadi benar ya gosip yang beredar kalau kalian sering pacaran di lingkungan sekolah." Bu Anjani, guru Matematika dan wali kelas Alwi, yang berstatus jomblowati menegur keduanya. Guru bertubuh montok itu terkenal killer di seantero jagad SMA Pelangi.
"Eh..Bu Anja." Alwi segera melepaskan pelukannya. Kaget bukan kepalang. Mereka seperti pasangan m***m yang sedang tertangkap basah oleh hansip.
"Kita ga ngapa-ngapain kok, Bu." Dhifa mengelak. Kepergok berduaan itu merupakan aib yang sangat besar. Bisa geger seantero sekolah. Dhifa merupakan selebgram dengan ratusan ribu follower, berita apapun bisa viral di medsos.
"Tapi tadi ngapain pake aksi sun sunan dan pelukan segala?"Bu Anjani melotot. Terlihat bola matanya membulat di balik kacamata tebalnya. Menambah seram penampilannya.
"Ibu salah lihat. L" Alwi membela diri.
"Ibu akan laporkan ke guru BP, supaya orang tua kalian dipanggil," ancamnya serius.
"Jangan Bu!!!" Teriak Dhifa histeris.
Keduanya lantas lari terbirit meninggalkan guru galak itu tanpa pamit. Mendengar omelannya pasti memakan waktu yang lama, padahal keduanya hendak pergi untuk kencan.
***
Keduanya tiba di parkiran mobil.
"Mang, Dhifa mau ke cafe dulu ya. Lapar nih." Dhifa masih ngos-ngosan saat menghampiri Mang Amar yang tengah asyik membaca koran menunggu anak majikannya sejak seperempat jam lalu.
"Siap Non." Mang Amar selalu siap siaga mengantarnya kemana pun. Ia lipat korannya lalu bersiap membuka pintu belakang mobil.
Sopir berusia 50an itu menatap Alwi judes. Ia mengemban amanat dari tuan besarnya untuk menjaga putrinya dari gangguan para kumbang alias lawan jenis, tak terkecuali Alwi.
"Ini buat beli rokok dan kopi. Cukup kan?" Dhifa menyodorkan dua lembar si Pingky sebagai uang tutup mulut.
Mang Amar tidak lagi protes. Raut mukanya berubah cerah, secerah warna dua lembar uang kertas yang baru diterimanya.
"Cukup pisan atuh Non," Mang Amar tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang masih putih bersih. Urusan "vitamin D" itu adalah asupan favoritnya yang akan membuatnya jinak.
"Awas ya jangan bilang Papa kalau aku pergi sama Alwi." Dhifa memberi ancaman.
Mang Amar tersenyum pertanda deal. Asal ada vitamin D berwarna pingky ia akan tutup mulut serapat-rapatnya.
Sopir itu pun segera menutup pintu belakang untuk anak majikannya yang telah duduk manis di jok belakang dengan kekasihnya. Ia bersiap mengantar mereka kencan ala anak ABG.
Setengah jam kemudian, mobil tiba di sebuah cafe langganan Dhifa dan Alwi. Keduanya lalu masuk ke dalam mencari tempat yang asyik untuk mojok.
"My Lopelope, aku ke toilet dulu ya." Pamit Alwi kepada Dhifa. Kebiasaannya adalah selalu tidak kuat menahan hasrat buang air kecil dimana pun berada. Entah apa penyebabnya, kemmungkinan ia terlalu nervous berdekatan dengan Dhifa.
"Aku antar jangan?" tanya Dhifa polos.
"Ga usah." Alwi tertawa kecil. Malu-maluin saja. Masa sih ke toilet ditongkrongin.
"Jangan lama-lama!" pesan Dhifa dengan nada khawatir sepertinya ia takut jika pacarnya ada yang menculik.
"Iya." Alwi tersenyum sambil membenahi letak kacamatanya yang baik-baik saja.
Dhifa pun asyik membaca menu. Ia belum memutuskan untuk memilih yang mana sebab masih menunggu Alwi kembali. Mereka biasanya akan berdiskusi untuk menentukan menu.
"Aw...aw...aw..ampun Pa." Terdengar suara Alwi yang mengaduh kesakitan.
Dhifa langsung memalingkan wajahnya mencari sumber suara yang tak jauh dari tempatnya. Gadis itu terkejut melihat Alwi digiring Papanya bak seorang narapidana.
"Katanya mau latihan, terus kerja kelompok. Nah ini kerja kelompok nya mojok berdua di Cafe bareng cewek. Malu-maluin orang tua saja. Dasar anak ingusan, kerjaannya pacaran terus." Papanya Alwi mengomel. Keduanya berjalan menuju tempat dimana Dhifa duduk manis.
Raut muka Dhifa seketika berubah pias. Dhifa tak enak hati melihat pemandangan itu.
"Pa, Papa apa-apaan sih? Main jewer di depan pacar aku. Alwi malu Pa." Alwi tak terima dipermalukan ayahnya di depan pujaan hatinya. Harga dirinya seolah diinjak-injak.
"Anak nakal memang harus dihukum biar jera. Jam pulang sekolah malah kelayapan tak jelas." Terdengar suara tak asing di belakang Dhifa.
"Papa!?" Giliran Dhifa yang kalang kabut. Ia tak tahu harus bagaimana. Tak mungkin melarikan diri atau bersembunyi.
Di sampingnya sang Papa berdiri dengan garang siap memangsanya. Celaka, belum apa-apa mereka sudah kepergok. Dhifa salah memilih lokasi. Cafe yang mereka kunjungi jaraknya sangat dekat dengan lapangan Futsal tempat papanya bermain.
"Dhifa...pulang! Sekarang juga!" perintahnya galak. Sebagai seorang ayah yang baik ia tak mau anaknya berbuat hal yang tak terpuji. Pacaran bukanlah hal yang positif dalam pandangan pria bernama Dany Hadiwijaya.
Dhifa tak bisa membantah sementara Alwi juga menurut kepada Papanya. Mereka tak mau ribut. Terlebih di hadapannya mereka bukan saja ada Papa Dany dan Papa Alan, Geng Om Ganteng yang terdiri dari Om Vicky, Om Sandy dan Om Diki bermunculan berdiri di hadapan mereka dengan memasang wajah santainya. Sepertinya mereka malah meledek Dhifa dan Alwi.
"Alan, lo urus anak lo yang benar biar ga gangguin anak gadis orang." Papa Dhifa yang berprofesi sebagai CEO dan chef terkenal itu memperingati. Pandangan matanya menyorot tajam seolah hendak menguliti Alwi.
"Lo juga ajarin anak lo biar ga genit-genit ganguin anak cowok gua." Papa Alwi pun memberi peringatan. Ia tak suka jika anaknya yang masih ABG itu terlibat hubungan lawan jenis, terlebih dengan anak sahabatnya sendiri. Mereka tidak boleh pacaran. Itu sudah menjadi kesepakatan bersama.
Geng Om Ganteng mesem-mesem melihat drama keluarga yang terlihat lebih seru dari drama korea.
Acara makan bersama pasangan kekasih ABG itu gagal total. Untung belum pesan makanan sehingga tak ada kerugian yang ditimbulkan.
"Dah Mein Lieblieb!" Dhifa sempat-sempatnya berpamitan dengan melambaikan tangannya. Ia berjalan dengan tangannya yang ditarik oleh sang Papa.
"Dah My Lopelope" balas Alwi pelan sambil mengusap telinga nya yang memerah akibat ulah sang Papa. Seperti halnya Dhifa, ia pun digiring pulang.
"Tak lama lagi bakal ada yang besanan nih." Salah satu Om Ganteng bersuara.
"Pesta...pesta..." Geng Om Ganteng cekikikan.
***
Bersambung