Delapanbelas

1025 Words
Tomy pamit pulang karena dia diusir terus terusan oleh Dhifa. Padahal pemuda itu masih betah menemaninya. Meskipun Dhifa terus ngambek dan cemberut namun Tomy menyukainya. Dhifa makin cantik kalau sudah datang judesnya. "Saya pulang dulu ya Tante." Pamit Tomy, pemuda yang sudah memutuskan menjadi mualaf mengikuti jejak ayahnya itu mencium tangan Mama Heni penuh hormat. Ia berusaha meraih simpatinya. "Semoga lekas sembuh ya Dhifa." Tomy melirik ke arah Dhifa. Dhifa tak menyahut malah pura-pura tidur dengan memejamkan matanya. "Terimakasih banyak ya Tomy, maaf banget Dhifanya cuek." Mama Heni merasa tak enak hati tamunya diperlakukan kurang baik. "Ga apa-apa Tante." Tomy tetap bersikap ramah. Selama ini Dhifa memang judes kepadanya. Dhifa yang mendengar jelas semua ucapan Tomy makin sebal dibuatnya. Anak itu berusaha cari muka di depan ibunya. "Dag Dhira, Dah Nizam." Pemuda itu pun tak lupa pamit kepada adik-adik Dhifa. "Iya, Kak." Nizam tersenyum. "Assalamualaikum," ucapnya "Waalaikumsalam." Dhira yang menjawab. Begitu yakin Tomy sudah pergi, Dhifa membuka matanya. "Nyebelin banget tuh si Tomtom." Dhifa kembali tampak kesal sementara Mama Heni hanya tersenyum. "Ga boleh gitu, Kak. Lihat dia sudah mau repot-repot datang ke sini." Dhira menyadarkan sikap Dhifa yang tak bersahabat. "Aku ga suka dia!" Dhifa berseru. "Dia bawa bunga ya? Bagus banget " Nizam cengengesan. Bunga itu pasti dibeli di toko bunga bukan hasil mencuri di taman seperti yang sering dilakukan olehnya. "Sepertinya Kak Tomy naksir kak Dhifa," ucapnya lagi. "Sudah sejak lama." Dhira yang mewakili kakaknya memberikan jawaban pemberitahuan. "Pantesan, tuh anak gesit sekali." Mama Heni baru tahu. Alasannya bukan karena tetangga dan teman saja melainkan ada udang dibalik batu. "Putus satu tumbuh seribu ya, Kak." Nizam menggoda Dhifa. Adiknya itu juga tahu jika Alwi jadi sumber penyebab kakaknya menjadi pasien rumah sakit ini Tentu saja Dhifa kesal. Di saat perasaan hatinya sedang kacau mengapa harus muncul pihak ketiga. Alwi apa kabar dia? "Kak, ini ponsel kakak!" Dhira baru ingat. Ia lalu menyodorkan benda pribadi kakak kembarnya yang sudah dua hari tak menyala. "Terimakasih." Dhifa menerimanya. Benda itu tak lagi menarik di matanya Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, benda itu menjadi hal yang tak penting. Padahal biasanya, ia tak pernah lepas dari benda canggih itu. Setiap ada waktu dan dalam berbagai kesempatan, Dhifa selalu memainkannya. Entah itu untuk Selfi, edit foto atau pun berkomunikasi melalui aplikasi WA. Dengan perasaan malas ia nyalakan benda pipih itu, puluhan chat dan panggilan Alwi serta teman&teman lainnya memenuhi pemberitahuan. Dhifa pun membukanya satu per satu serta membalasnya. Pesan dari Alwi menjadi pesan terakhir yang ia baca. Berjuta rasa hinggap di dadanya ia masih merindukan Alwi, ia masih membutuhkannya dan masih mencintainya serta ingin selalu bersamanya, sayangnya hubungan mereka sepertinya sudah benar-benar berakhir. Dhifa kembali menangis terisak sambil menyerahkan gawai yang dipegangnya kepada Dhira. Gadis itu memperlihatkan isi pesan yang dikirim oleh Alwi. "Sudah Kak, lupakan Alwi masih banyak cowok ganteng yang mau sama kamu." Mama Heni berusaha menghibur putrinya. Dhifa itu cantik pasti banyak yang suka. "Bentar lagi kan jadi anak kuliahan pasti di kampus banyak yang naksir kakak." Nizam pun ikut menggoda Dhifa berusaha menghiburnya. Dhifa makin sebal mengapa mereka malah mengolok-olok dirinya. *** Dhifa baru selesai makan siang dan minum obat. Entah mengapa matanya jadi berat. Ia ingin tidur. "Ngantuk, Ma." Dhifa berujar kepada Mama Heni. Wanita itu pun terlihat mengantuk. Beruntung ada Dhira yang menemani. Nizam telah pulang sejak tadi. Adik gendutnya itu ada acara bersama teman-temannya. "Tidur saja! Mama juga ngantuk mau tidur. Mumpung masih siang, nanti sore pasti bakal rame dengan kunjungan." Mama Heni memberikan prediksi. Kam besuk harus siap menerima tamu. Berada di rumah sakit memang tak nyaman meskipun berada di ruangan bagus sekali pun. Dhifa langsung memejamkan matanya yang tak bisa ditahan lagi. Hanya Dhira yang tetap terjaga sambil membuka salah satu platform baca online tempatnya menghabiskan waktu. Ia mengikuti jejak kakaknya yang bernama Natasya berkarir di dunia n****+ online. *** Tepat pukul empat sore Dhifa membuka matanya. Ia baru sadar jika dirinya tidur sangat nyenyak. Telinganya menangkap ada suara tak asing yang didengarnya. Papa Alan dan Mama Vio sedang duduk ditemani Mama Heni. Mereka sengaja datang menjenguk Dhifa. "Dhifa kamu kenapa, Sayang?" Mama Vio langsung bertanya saat melihat Dhifa sudah bangun. Sebenarnya itu pertanyaan basa-basi. Tadi Mama Heni sudah bercerita banyak termasuk tentang Alwi. "Aku baik-baik saja. Cuma panas dan demam biasa saja." Dhifa menjawab dengan nada sedih. Ia tak berani menatap wajah Mama Alwi karena itu mengingatkan dirinya kepada sosok pemuda yang dicintainya. "Semoga lekas sembuh dan segera pulang ya." Doa Mama Vio. Sementara Papa Alan tampak sibuk dengan gawainya dan belum sempat menyapanya. "Amin." Mama Heni yang mewakili. Dhifa terdiam. Ia sakit gara-gara Alwi. Ia memikirkannya hingga tak makan dan minum yang menyebabkan dirinya jatuh sakit. Alwi memang tak berperasaan. "Mama Vio minta maaf ya atas sikap Alwi." Wanita berambut pendek itu sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya Mama Heni, putranya juga telah menceritakannya. "Ga usah minta maaf, namanya juga ABG pasti ada ribut-ribut." Mama Heni biasa saja. "Mama Vio pikir Alwi sudah membicarakan tentang kuliahnya dengan kamu." Mama Vio tampak menyesal. Ia tak tahu dengan jelas hubungan muda-mudi itu harus berakhir. "Sudah tak usah dipikirkan. Kalau jodoh tak lari kemana." Papa Alan tak ingin mendengar istrinya mendramatisir keadaan. "Alan benar." Mama Heni seolah tak mempermasalahkan. "Aku cemas saja melihat Dhifa seperti ini, sebenarnya Alwi juga tersiksa. Dia sebenarnya ingin ikut ke sini tapi tak siap bertemu kamu. Dia masih merasa bersalah." Mama Vio menyampaikan fakta sebenarnya. "Tuh kan Mama berlebihan. Sudah lah. Biar ini semua menjadi urusan mereka." Papa Alan tak ingin membahasnya. "Aku harap masalah Alwi memutuskan Dhifa tak ada hubungannya dengan kasus pemukulan yang dilakukan Dany." Mama Heni merasa curiga. Bisa saja Alwi dendam kepada suaminya atau itu perintah orang tuanya untuk tak lagi berhubungan dengan Dhifa. Mana Heni jadi berpikir negatif. "Serius Mbak, ga ada sangkut pautnya sama Bang Dany. " Mama Vio meluruskan. Ia dan suaminya tak ada hubungannya. "Aku sudah memaafkan Alwi kok." Dhifa akhirnya bersuara. Ia tak boleh menyimpan dendam. Meskipun menyakitkan ia harus tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Ya, seperti kata Alwi mereka akan tetap berteman. Mama Heni tersenyum, berharap semoga ucapan putrinya itu tulus. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD