Dua puluh

1043 Words
Perubahan terjadi pada sikap Dhifa, ia tak seceria dulu. Gadis cantik itu lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Berdiam diri sambil melamun. Sekedar main ke rumah Nayla pun ia tak berniat. Beruntung ada Dhira dan Nizam yang selalu menemani. Mama Heni juga mengurangi kegiatan di luar, ia fokus memberikan semangat untuk Dhifa. "Sayang, kamu mau liburan kemana?" Mama Heni memberikan penawaran. "Dhifa ga mau kemana-mana." Dhifa tak b*******h. "Mumpung masih libur. Atau gimana kalau kita ke Yogyakarta saja, sekalian antar Dhira. Kita bisa liburan di sana. " Mama Heni memberikan usulan. Dhifa bingung. "Ayo, sayang. Kami harus move on dong. Sudah lama kita tidak ke rumah Om Deri. Mama yakin di sana pasti menyenangkan." Mama Heni membujuknya. "Gimana nanti saja." Dhifa menjawab tak yakin. Kalau sudah seperti itu Mama Heni tak bisa memaksa. Ia bahkan pernah berniat membawanya ke psikiater. *** Nayla, anak tetangganya sering mengunjunginya untuk menghibur Dhifa. Hampir tiap hari gadis itu datang. Kadang-kadang ditemani oleh Tomy. "Kamu harus move on dong!" Nayla turut prihatin dengan kondisi Dhifa. Badannya juga tampak lebih kurus akibat nafsu makannya yang berkurang. "Ga mudah Nay," Dhifa menarik nafas dalam. Dhifa telah berusaha melupakannya namun tak bisa karena setiap sudut hatinya nama Alwi selalu terukir. Dhifa tak tahu bagaimana cara menghapusnya. "Alwi sudah menghubungi kamu belum?" Nayla pun kehilangan kontak dengan pemuda itu. Sebagai sahabat ia tak bisa berbuat apa-apa. Dhifa menggeleng. "Dia sudah benar-benar melupakan aku." Dhifa tampak sedih. Tak ada kabar berita, yang jelas Alwi ada di Tokyo. Ia tahu kabar itu dari papanya. Dhifa pernah mengirim pesan namun tak ada jawaban, mungkin nomornya ganti. "Jadi percuma saja semua foto dan barang pemberiannya kamu buang, kalau kamu masih ingat dia." Nayla mulai muak melihat Dhifa yang tak ada perubahan. Sahabatnya itu benar-benar bucin. "Terlalu banyak kenangan indah. Aku,..aku masih mencintainya." Ingatannya menerawang jauh ke masa lalu. Saat ia masih bersama Alwi. "Jangan-jangan kamu dah diapa-apain sama dia, makanya susah move on." Nayla memberikan tuduhannya. Sikap Dhifa patut dicurigai. "Enak aja, kalau ngomong jangan sembarangan. Aku masih perawan." Dhifa tak terima mendapatkan tuduhan seperti itu. Ia masih waras untuk tidak bertindak ceroboh. Dhifa memikirkan masa depannya. Makanya waktu itu ia ingin nikah muda agar bisa bersama Alwi selalu. Bukan tanpa alasan Nayla sampai berpikiran negatif. Mereka pacaran cukup lama bisa dibilang cukup lengket, siapa tahu pernah khilaf. Namanya juga anak jaman sekarang yang tinggal di ibukota, kalau tak kuat iman bisa terjerumus. Hubungan lawan jenis sangat beresiko. Apalagi yang namanya s*****t, sebaik apapun mereka kalau setan sudah menggoda bisa saja khilaf. "Aku sama dia kenal lama sekali, rasanya sulit melupakannya begitu saja. Kami dekat sejak balita bahkan sejak dalam kandungan. " Dhifa memberikan alasan. Kenangan mereka cukup banyak. Sebelum memutuskan pacaran, hubungan mereka sudah sangat dekat. Boleh dibilang mereka adalah sahabat yang upgrade jadi kekasih. "Kamu harus semangat Dhifa, coba berlibur ke suatu tempat atau belanja-belanja, mungkin itu bisa membantu melupakan masalah kamu." Nayla memberikan saran. Jika sedang memiliki masalah biasanya Dhifa akan menjadikan mall sebagai pelarian. Kali ini ia bahkan tak berminat kemanapun. Hanya ingin di rumah. Dhifa benar-benar berubah. Shopping sudah bukan lagi menjadi obat penawar dari penyakitnya. "Atau, kamu coba untuk menjalin hubungan dengan cowok lain. Konon katanya pacar baru bisa membuat seseorang lupa akan sang mantan. Lihat saja Mami aku, sekarang ga lagi sedih dan mengenang Papa terus." Nayla memberikan ide gila. "Ga semudah itu." Dhifa tak pernah berpikir sejauh itu. Hatinya masih sakit dan terluka. Gadis itu lantas mengambil lolipop yang tadi diberikan oleh Tomy. Mungkin makanan manis itu bisa sedikit menghiburnya. "Aku cuma ngasih saran, banyak yang berhasil move on setelah kehadiran orang baru." Nayla memberikan cengirannya. Ia kembali membujuk Dhifa. "Jangan bilang kalau kamu akan memberikan dukungan kepada saudara tiri kamu itu." Dhifa menatap Nayla curiga. Selama ini orang yang paling gencar mendekati dirinya adalah Tomy Dinata, bahkan sejak kelas X. Para pacarnya Tomy banyak yang cemburu padanya dan beberapa ada yang melabrak Dhifa. Padahal semua tahu Dhifa itu pacar Alwi. Hal paling menyebalkan, para mantan Tomy mengatakan jika Dhifa adalah alasan mereka putus. Gadis berkacamata itu langsung terbahak saat mendengar tuduhan Dhifa. "Aku akan menjadi orang pertama yang menolak hubungan kamu sama Tomy." Nayla tak pernah setuju. Kalau dia mendukung Tomy, sudah sejak lama ia akan mendekatkan mereka berdua. Nyatanya tidak. Nayla lebih memilih persahabatan antara dirinya dan Dhifa. "Awas saja kalau kamu melakukannya." Dhifa memberikan ancaman. "Eh ini aman, kan?" Tanpa sadar peen lolipop di tangannya ia masukkan ke mulut. "Semoga saja tak ada peletnya. Ha..ha..ha.." Nayla tak kuasa menahan tawanya. "Kak Nay..." Terdengar suara Nizam di ambang pintu kamar Dhifa. "Tuh dipanggil Babang Nizam." Dhifa menunjuk sumber suara. Nayla langsung membenahi kerudungnya yang masih rapi. Ia selalu ingin tampil sempurna di depan adik sahabatnya. "Bentar ya, aku keluar dulu." Sahabat Dhifa itu tersenyum riang. Dhifa menggelengkan kepalanya. Hampir tiap hari Nayla mengunjunginya dan Dhifa yakin itu adalah modus untuk ketemuan dengan adiknya. Apa, jangan-jangan mereka sudah jadian. Kalau iya, dia akan melaporkan kepada papanya . Kata-kata Nayla memang ada benarnya. Ia butuh refreshing. Pergi ke suatu tempat yang indah untuk menghibur diri. Tapi kemana? Iya harus mendiskusikannya dengan kedua orangtuanya. *** Suasana pagi ini begitu hektik. Dhifa dan keluarganya akan bertolak menuju Yogyakarta untuk mengantar kepergian Dhira yang akan hijrah ke sana guna menuntut ilmu. Beberapa koper telah siap di angkut. "Kak, ayo cepat!" Papa Dany memastikan Dhifa siap untuk pergi. Dhifa segera mencangklong tasnya dan memasang sepatunya tak lupa meraih kacamata hitamnya. Ia segera turun ke bawah. Di sana Mama Heni dan Dhira sudah siap berangkat. "Ma, tunggu sebentar bekal makanan aku ketinggalan." Nizam berlari ke dapur mengambil tas khusus berisi aneka makanan dan camilan. Kemanapun pergi ia selalu membawa pengganjal perut. "Ih, adik bikin lama aja." Mama Heni tampak kesal. Wanita itu lalu berjalan menuju teras depan diikuti Dhifa. "Ayo berangkat nanti kita ketinggalan pesawat." Papa Dany mendorong koper-koper di bantu sopir mereka untuk di masukkan ke dalam mobil. Mereka harus bergegas menuju bandara. Mereka berlima hampir saja gagal berangkat karena sejak tengah malam Mama Heni mendadak sakit perut dan bolak balik kamar mandi. Beruntung setelah minum obat pemberian dokter Jimmy Dinata, ayah Tomy, ia langsung sembuh. Keberangkatan mereka ke Yogyakarta kali ini, selain untuk mengantar Dhira juga sekaligus liburan. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD