Tujuh

1037 Words
Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam saat Dhifa berbaring di tempat tidurnya. Malam ini dirinya belum sempat mengabari Alwi. Kedatangan para tamu Papa Dany membuatnya melupakan sang pujaan hati. Ia terlalu sibuk melayani mereka yang banyak mengajukan berbagai pertanyaan. Nasib menjadi anak Dany Hadiwijaya harus siap menjadi sorotan terlebih Dhifa itu cantik dan populer, ia sering tampil di media sosial dan beberapa kali ikut menemani papanya tampil di layar kaca. "My Lopelope sedang apa?" Pesan itu terkirim sejak pukul tujuh tadi. Dhifa terkejut. Ada lagi tiga panggilan tak terjawab. Tadi Dhifa sibuk di acara Papa Dany makanya lupa mengecek ponselnya yang tengah diisi baterai. Seketika penyesalan hinggap di hatinya. Ia yakin Alwi pasti tengah menunggu jawabannya. Untuk menghilangkan rasa bersalah, ia langsung menghubungi sang kekasih. "Assalamualaikum," terdengar suara Alwi yang sepertinya bangun tidur. "Waalaikumsalam, Mein Lieblieb, kamu udah tidur ya?" Dhifa bisa menebaknya. Suara Alwi di seberang sana sedikit serak dan mengantuk. "Iya, aku tadi nunggu kabar dari kamu. Habis baca buku, malah ketiduran." Alwi memberikan pengakuan. Pemuda itu sepertinya sedih. Dhifa semakin merasa bersalah, tadi ia malah asyik berbincang dengan Hanif Faturrahman. "Maaf ya, aku tadi ga sempet balas pesan kamu kebetulan di rumah sedang ada acara makan malam bareng teman-teman Papa. Ponselnya ketinggalan di kamar, aku ga tahu kalau kamu menghubungi." Gadis cantik itu berbicara dengan nada sedihnya. Ia telah mengabaikan sang pujaan hati. "Pantesan. Ga biasanya kamu telat balas pesanku." Alwi mengerti. Ia pun tak menyalahkan Dhifa. Keluarganya lebih penting. "Mein Lieblieb, Kamu ga marah, kan?" Dhifa memastikan jika Alwi baik-baik saja. Ia tak ingin terjadi pertengkaran. "Enggak, ya udah kamu bobo dulu. Ini sudah malam tak baik tidur terlalu malam. Besok kita sambung lagi ngobrolnya." Dengan suara lembut penuh kasih Alwi memberikan perintahnya. Ia selalu memperhatikan kesehatan Dhifa. Gadis cantik itu bersyukur sang pacar begitu pengertian. Itulah salah satu alasan yang membuatnya semakin jatuh cinta kepada anak Papa Alan dan Mama Vio. "Iya, ini juga sudah di ranjang kok. Bentar lagi tidur." Dhifa memberikan jawaban. Gadis berpiyama little pony itu bahkan telah berselimut dan mematikan lampu kamarnya dan menggantinya dengan lampu tidur. Ngobrol dengan Alwi tiap malam biasa dilakukan menjelang tidur. "Sampai ketemu besok, mimpi yang indah."ucap Dhifa. "Have a nice dream." Ucap Alwi. "Bye, Mein Lieblieb." Dhifa menutup telponnya. *** Hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, bulan berganti bulan hingga tak terasa Dhifa berada di kelas XII SMA dan tak lama lagi ujian akhir akan segera dimulai. Berbagai persiapan telah dilakukan olehnya demi masuk perguruan tinggi favoritnya. Bimbel dan jam tambahan di sekolah selalu diikuti. Ia tak ingin gagal menggapai cita-citanya. Meskipun sibuk dengan urusan sekolah hubungan dengan Alwi tetap berjalan normal, hanya saja tak diketahui oleh orang tuanya. Dhifa dan Alwi sembunyi-sembunyi bertemu. Mereka berdua lebih sering berkomunikasi lewat ponsel. Hubungan seperti itu telah dilakukan sejak setahun terakhir. "Mein Lieblieb, aku cape banget tiap hari harus belajar eksak. Kepalaku sampai mengepul hampir meledak." Dhifa mulai berkeluh kesah tentang aktivitasnya yang tak ada habisnya. "Kamu yang rajin belajar dong, harus tetap semangat." Alwi memberikan motivasi. Mereka harus saling menyemangati agar meraih nilai yang baik agar orang tua mereka bangga. "Kamu ajari aku dong!" rengek Dhifa manja. Belajar bersama Alwi terasa lebih menyenangkan dan mudah paham. Entah ada kekuatan magic darimana, mungkin kekuatan cinta turut andil memperlancar otaknya. "Bukannya Papa kamu sudah manggil guru privat?" Alwi tahu, Demi kelancaran persiapan ujian Papa Dany sengaja mendatangkan guru privat terbaik untuk kedua putrinya. "Iya, Tapi kak Lala ga asyik. Dia terlalu serius kadang judes." Dhifa curhat tentang guru privatnya yang bernama Lala. "Kita ga mungkin belajar bareng. Apalagi mencari alasan kegiatan ekskul. Karena semua kegiatan sudah off." Alwi pun bingung. Frekuensi pertemuan mereka sangat jarang. "Kita cari jalan keluarnya nanti." Alwi pun peduli. Ia ingin yang terbaik untuk kekasihnya. Dhifa lebih nyaman diajari oleh Alwi, jika belajar dengan Dhira pun ia kadang kurang faham. Dhira tak sabaran. *** Hari Sabtu sore adalah hal yang kurang menyenangkan bagi Dhifa sebab di saat muda mudi pergi keluar untuk makan malam atau nonton di bioskop, ia tak dapat melakukannya. Papa Dany sangat ketat dengan jam keluar malam anak-anaknya. Hanya saat bersama mereka Dhifa bebas menikmati pemandangan kota Jakarta di malam hari. Sayangnya, tak setiap malam Minggu ia dan keluarganya pergi karena kadang-kadang Papa Dany dan Mama Heni memiliki acara sendiri yang tak melibatkan anak-anaknya. Jadilah para ABG anak Dany Hadiwijaya itu mengurung diri di rumah. "Assalamualaikum..." Terdengar suara wanita tua yang tak asing di telinga Dhifa. Itu adalah Sura Oma Ratih, neneknya. "Waalaikumsalam," jawab Dhifa seraya melirik ke arah "Hallo Dhifa sayang," Oma Ratih mendekat ke arah cucunya. "Hai Oma!" Dhifa menghambur ke pelukan neneknya. Meskipun seminggu sekali bertemu tetap saja ia selalu merindukannya. "Oma butuh bantuan kamu. Mau ya jadi modelnya Oma buat desain produk terbaru butik Oma." Oma Ratih sengaja datang mengunjungi cucunya untuk meminta bantuannya. Ia percaya jika Dhifa bisa meningkatkan omzet penjualan butiknya,dulu saja ia pernah menjadi model toko perhiasannya. "Sebenarnya Dhifa lagi off nerima endorse Oma." Dhifa bicara jujur. Ia cuti dulu dari berbagai tawaran. Konsentrasinya sedang tertuju pada ujian akhir yang akan dilakukan bulan depan. "Sehari aja pemotretan nya, please ya. Nanti Oma kasih uang jajan lebih." Wanita usia 74 tahun itu terus merayu. Ia sangat membutuhkan jasa gadis di hadapannya. "Dhifa banyak jadwal. Oma cari model lain saja." Dhifa beralasan. "Oma maunya kamu. Ga percaya sama model lain." Oma Ratih memang pemilih. Ia tak sembarang memilih model untuk produknya. "Dhifa ga bisa." Dhifa bersikukuh menolak permintaan sang Oma. "Hari Minggu saja cuma sehari." Sang Oma memberi saran. Dhifa berpikir sejenak. Percuma saja berdebat dengan neneknya. Ia pasti kalah. "Aku bilang sama Papa dan Mama dulu deh." Dhifa mencari alasan lain. "Nanti Oma yang bilang." Wanita tua itu tetap ngotot ingin merekrut cucunya untuk mempromosikan produk terbarunya. "Oh iya Mama sama Papa kamu kemana? Kok mobilnya ga ada." Oma Ratih baru menanyakan orang tua Dhifa. " Ada undangan di puncak. Kemungkinan besar pulangnya malam, eh ga tahu nginep," jawab Dhifa. Mereka berdua sering bepergian tanpa membawa anak-anaknya yang sudah besar, sebab para ABG itu memang terkadang menolak. "Betewe Dhira dan Nizam mana?" Oma Ratih menanyakan cucunya yang lain. "Ada di atas." "Ya udah kita ke sana." Oma Ratih mengajak Dhifa pindah ke lantai atas. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD