Dhifa berjalan mencari Mama Heni untuk pamit pergi ke rumah Nayla.
"Ma..., Mama dimana sih?" Dhifa memasuki kamarnya tapi sayang sang Mama tak ada di sana. Ia pun melangkah menaiki anak tangga lantai 3 rumahnya. Mungkin mamanya ada di sana.
"Pasti ini gara-gara si Adik deh." Terdengar suara Mama Heni yang sedang kesal.
Benar saja ia tengah bersama Dhira dengan sekeranjang bunga-bunga.
"Mama kenapa?" tanya Dhifa seraya menatap ke arah wanita berusia 54 tahun itu.
"Bunga Mawar Mama hilang, Kak. Beberapa tanamannya juga rusak. Ada jejak kaki yang mencurigakan." Dhira yang mewakili menjawab pertanyaan untuk sang Mama.
"Iya nik Kak, kayanya ini ulah Nizam. Tapi buat apa anak itu mengambilnya? " Mama Heni terlihat masih sedih. Dhifa tahu ibunya itu sangat menyayangi dan mengagungkan bunga-bunga yang dirawatnya seperti anak sendiri. Wanita itu pecinta tanaman, tak heran di halaman rumah tampak sejuk dan asri, di lantai teratas rumahnya dibuat taman yang indah dimana aneka mawar dan anggrek serta bunga lainnya tumbuh subur. Hanya saat akan ada momen penting, sang Mama sengaja memanen bunganya secara khusus.
Dhifa ingat, tadi Nizam dandan rapi dan menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Sayangnya Dhifa tak tahu pasti itu apa. Tadi ia terlalu sibuk memainkan gawainya sehingga tak sempat memperhatikannya. Mungkinkah bunga mawar? Tapi untuk apa dan siapa?
Jangan-jangan si Adik ngasih bunga untuk Nayla, dia kan ngeceng gadis itu.
Dhifa menaruh curiga.
"Ma, Mama jangan sedih ya, minta dibeliin lagi sama Papa aja." Dhifa memberikan saran. Papa Dany pasti tak keberatan membelikan istrinya sebuket bunga mawar, bila perlu seisi toko sekalian.
"Beda rasanya dong, Sayang. Itu bunga Mama yang tanam, eh giliran mau dipanen ada yang menjarah. Siapa yang tak kesal." Mama Heni masih menyesalkan kasus yang terjadi di tamannya. Baginya bunga-bunga miliknya sangat berharga. Siapapun yang hendak memetiknya harus seizinnya. Tak terkecuali Papa Dany. Semua anggota keluarga sudah paham hal itu.
"Kakak cari Nizam deh, biar kita interogasi dia." Dhira pun yakin jika sang adik adalah pelaku utamanya.
"Oke."di Dhifa pun segera turun.
"Aku ke rumah Nayla dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Kakak ke rumah Nayla jangan lama, bantu Mama beres-beres dan masak karena nanti malam akan ada acara makan malam bersama rekan-rekan Papa." Mama Heni memberitahu rencananya.
"Siap, Ma!" Dhifa mengiyakan, padahal dalam hati kecilnya menolak untuk ikut Mama Heni ke dapur. Ia tak suka dapur.
***
Dhifa berjalan anggun meninggalkan kawasan rumahnya. Di gerbang ia berpapasan dengan Nizam. Adiknya itu tampak rapi dan wangi, wajah tampannya terlihat berseri memancarkan kilauan cahaya tak kasat mata.
"Adik darimana?" Dhifa bertanya dengan pandangan menyelidiki. Dari gayanya terlihat jika Nizam tengah berbahagia.
"Rumah Kak Nay," Nizam tersenyum malu-malu saat menyebut nama Nayla.
"Ngapain?" Dhifa menatap curiga. Dugaannya benar jika sang adik naksir Nayla, sahabat yang juga tetangga seberang rumah. Yang benar saja, mereka itu beda tiga tahun.
"Mmmm, itu lho habis mengembalikan buku." Nizam beralasan. Sebenarnya buku adalah modusnya.
"Ditunggu Mama, cepat balik !" Dhifa pun langsung meninggalkan adiknya, bersiap menyebrangi jalanan yang sepi.
Di gerbang rumah Nayla, satpam rumah langsung mempersilahkan masuk.
"Dhifa! Barusan adiknya yang ke sini, sekarang kakaknya. Mau ketemu aku ya?" Seorang pemuda bermata sipit bernama Tomy menatap Dhifa dengan tatapan memuja saat ia memasuki gerbang rumah Nayla.
"Enak aja ketemu kamu. Bosan tahu!Aku mau ketemu Nayla." Dhifa mendelik sebal.
Sejak ayah Tomy dan ibu Nayla menikah, Tomy ikut tinggal serumah dengan Nayla, otomatis Dhifa jadi sering bertemu. Dimana-mana selalu ada pemuda jangkung itu.
"Jangan galak-galak dong! Masa sama calon pacar kok gitu sih." Tomy tertawa seolah ada yang lucu.
"Kamu sinting ya, gangguin pacar orang." Dhifa mulai marah. Tomy pantang menyerah.
Dhifa kesal dengan Tomy, saudara tiri Nayla itu selalu saja mengganggunya tak di rumah, tak di sekolah. Ketenteramannya seolah terampas.
"Hai, Dhifa,"
Beruntung Nayla menampakkan dirinya sehingga bisa menghentikan aksi Tomy yang membuatnya jengkel, pemuda keturunan Tionghoa itu selalu saja menggodanya tak peduli jika Dhifa sudah jadi milik Alwi.
"Tomy, udah jangan ganggu Dhifa. Aku laporin sama Papi biar tahu rasa." Nayla memberikan ancaman.
"Jangan dong!" Pemuda itu ketakutan. Ia paling tak suka diadukan kepada ayahnya.
Kedua gadis itu berlalu dari hadapan pemuda bernama Tomy yang juga teman sekelas Dhifa.
"Tadi Nizam ke sini ya?" Dhifa mencoba menanyakan adiknya.
"Iya." Nayla mengangguk. Barusan adiknya Dhifa sudah pulang.
"Oh...,"
Sebenarnya Dhifa ingin menanyakan sesuatu, namun menahannya sejenak.
"Ke kamar yuk!" ajak gadis itu.
"Itu bunganya cantik sekali." Dhifa berpura-pura. Ia ingin memastikan jika bunga itu adalah kiriman dari Nizam untuk Nayla.
"Adik kamu yang ngasih." Nayla tersenyum.
"Dari Nizam? Dalam rangka apa?" Dhifa terkejut.
"Entahlah, katanya ucapan terimakasih karena aku sudah memberikan pinjaman buku." Nayla bicara jujur apa adanya. Ia merasa senang mendapat pemberian dari seseorang. Tak baik menolak rezeki.
Oh.., jadi benar pelakunya adalah Nizam
Dua gadis cantik itu pun lantas duduk di tepi ranjang mengobrol tentang segala macam.
***
Dhifa mengintip dari lantai atas, tampak di bawah sudah banyak tamu papanya yang berdatangan. Ada yang membawa istri dan anaknya. Ada juga yang sendirian.
Gadis itu sejak pulang dari rumah Nayla enggan membantu mamanya di dapur beda dengan Dhira dan Nizam. Ia lebih suka mengurung diri di kamar mengobrol dengan Alwi melalui video call ataupun meng-upload video dan foto-foto ke akun i********:.
Dapur itu sesuatu yang tidak menyenangkan dan kotor. Selalu ada alasan untuk menolak ajakan sang Mama.
Sekarang pun harusnya ia ada di bawah menemani orang tuanya untuk menyambut kedatangan para tamu istimewa itu.
Bukan sekali dua kali, Papa Dany mengundang teman-temannya makan malam di rumah. Baik itu teman kantor atau teman nongkrongnya.
Selain ingin bersedekah, Papa trio N itu ingin pamer masakan istrinya yang super enak dan lezat tiada tara. Walaupun ia seorang chef terkenal namun ia merasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan sang istri yang menurutnya pantas disebut master chef. Selain itu tentu juga ia juga ingin pamer dua anak gadis mereka yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.
UPS, Kalau tidak salah lihat Dhifa menangkap sosok pria paruh baya yang tak asing lagi. Dia Om Hilman, mantan suami mamanya alias Papa kandung kakaknya yang bernama Tasya.
Kehadirannya kadang sering menyita perhatian Dhifa, Papa Dany sering bertingkah lucu jika berdekatan dengan Om Hilman terutama kalau ada Mama Heni di dekat keduanya.
Dhifa sulit menerjemahkannya, yang jelas sang Papa tak pernah membiarkan istrinya mengobrol berduaan dengan mantannya. Gerak gerik sang mama selalu dimonitor. Mungkin dia sangat cemburu. Padahal sang mama sepertinya cuek-cuek saja dan seperti tak ada perasaan apapun. Bahkan Mama Heni sepertinya sangat mencintai suami barunya.
"Mbak, disuruh ibu turun ke bawah." Mbak Arum, ARTnya memberi tahukan perintah majikannya. Sejak tadi hanya Nizam dan Dhira yang sibuk menemani mamanya.
"Oke, mati aku turun." Dhifa segera melenggang, berjalan anggun menuruni anak tangga hendak menuju ke ruang tamu. Ia terlihat cantik dengan dress selutut warna biru langit. Riasan di wajahnya menambah cantik penampilannya pada malam ini. Walaupun malas, ia harus mentaati titah sang mama, kalau tidak bisa gawat karena uang jajannya terancam dipotong sembilan puluh persen.
Begitu sampai di ruang tamu terdengar seorang pemuda tampan menyapanya.
"Hai, kamu Dhifa kan?" Suaranya terdengar merdu dan menentramkan hati, jiwa raga dan pikirannya.
Dhifa terkesima lalu mengerutkan keningnya, tamu papa Dany ada yang bening dan masih muda. Mana sok akrab lagi. Tapi wajahnya seolah tak asing. Kenapa jadi tegang ya, astaghfirullah ia sudah punya Alwi, mengapa bisa tergoda seperti ini. Dhifa terus mengingat-ingat.
"Itu Hanif." Papa Dany yang berada tak jauh darinya segera mendekat. Ia seolah paham dengan raut wajah putrinya yang kebingungan. Ia memperkenalkan pemuda tampan di hadapan putrinya itu.
Dhifa menatap lekat.
"Bang Hanif kakaknya Bang Hafizh?" Dhifa mulai mengingatnya. Entah kapan terakhir kali bertemu dengannya. Dulu ia sering diajak Tasya bertemu saudara seayahnya. Makan bareng atau nonton ke bioskop. Beberapa kali sempat berlibur bersama.
"Iya, dia baru kembali dari Jerman usai menyelesaikan studinya." Papa Dany memberikan informasi tentang anak dari mantan suami pertama istrinya. Sepertinya sang Papa mengagumi pemuda bernama Hanif itu. Jarang-jarang ia bersikap lembut.
Diam-diam Dhifa memindainya. Ia meneliti dari ujung rambut hingga ujung kaki. Benar-benar duplikat Om Hilman. Sepertinya nanti Dhifa akan langsung bertanya kepada kakaknya.
"Lupa ya?"tanya Hanif seraya tersenyum manis. Gadis di hadapannya sejak tadi seolah sedang mengingat-ingat. Pemuda itu tak menyangka jika adik seibu dari kakaknya yang bernama Tasya itu cantik luar biasa. Tentu saja Hanif merasa kagum. Keduanya cukup lama tak berjumpa, mungkin sekitar 5 tahun.
"Eh,.." Dhifa gugup.
"Hallo Dhifa, apa kabar?" Om Hilman, ayah Hanif mendekat ke arah Dhifa. Ia pun menyalami mantan suami Mama Heni itu dengan hangat.
Terkadang Dhifa heran mengapa mantan sang Mama itu bisa berkeliaran bebas di sekitar mereka dan selalu hadir dalam acara-acara penting, tak terkecuali acara keluarga Hadiwijaya. Oh, mungkin karena dia salah satu direktur di perusahaan kakeknya yang saat ini berada di bawah pimpinan papanya jadi wajar jika ada kedekatan diantara mereka. Herannya kalau ada Mama Heni mereka seolah bermusuhan.
Papa Dany dekat dengan Om Hilman dan berteman baik, namun di sisi lain terkadang papa juga selalu memasang alarm waspada. Apalagi pria asal minang itu sudah berstatus duda, sejak ditinggal wafat oleh istrinya tiga tahun lalu. Ia khawatir istrinya direbut kembali.
"Mulai minggu depan Hanif akan bekerja di perusahaan kita menggantikan Papanya." Papa Dany memberitahukan kabar penting itu. Om Hilma resmi pensiun dari jabatannya sebagai direktur IT.
Dhifa tercengang. Kalau ceritanya seperti itu, ia akan sering bertemu dengannya. Meskipun hatinya milik Alwi namun ia harus waspada.
***
Para tamu yang berjumlah empat belas orang itu diajak tuan rumah ke teras belakang untuk menikmati hidangan yang tersaji. Tentu saja semua adalah kreasi masakan mamanya.
"Ma, Mama ga grogi ketemu mantan?" bisik Dhifa saat tak ada seorang pun di dekat mereka. Gadis itu cengar-cengir menggoda ibu kandungnya.
"Kompor kamu!" Mama Heni melotot. Terkadang ia pun tak nyaman jika harus berhadapan langsung dengan sang mantan. Mereka bercerai bukan atas kemauan mereka namun karena sebuah takdir. Om Hilman pernah hilang bertahun-tahun lamanya dalam sebuah kecelakaan dan dinyatakan tewas. Hingga Mama Heni menikah lagi, saat kembali ternyata Om Hilman sudah menikah lagi dan sempat hilang ingatan.
"Potong uang jajan baru tahu rasa." Ia memberikan ancaman mautnya. Saat cinta Mama Heni hanya untuk Papa Dany seorang.
"Jangan dong Ma!Maaf ya," rengek Dhifa.
"Mantan itu masa lalu. Tidak perlu dibahas lagi." Mama Heni menegaskan. Ia melangkah meninggalkan anak-anaknya.
"Mama marah." Nizam menggoda ibunya.
Bahasan tentang mantan merupakan tema sensitif.
"Nanti Papa marah lho ngomongin Om Hilman terus." Dhira bersikap membela ibunya. Papanya itu pria pencemburu papan atas.
"Sudah...sudah!kita temani para tamu makan." Mama Heni memberikan perintah. Ia harus mendampingi suaminya.
Di tempat perjamuan, para tamu sudah mulai mengambil posisi duduk masing-masing
.
Dhifa sendiri duduk dekat Hanif. Kalau diteliti Hanif sangat tampan dan berwibawa.
***
Acara makan malam dimulai. Para tamu telah duduk dimeja makan teras belakang.
Hal yang paling menarik adalah Nizam, Dhifa dan Dhira duduk satu meja dengan Hanif tak jauh dari orang tua mereka. Hanif selalu memperhatikan gerak gerik Dhifa.
Dhifa sejak tadi memperhatikan Mama dan Papanya yang juga berada satu meja dengan Om Hilman. Menurut kesimpulannya, pria bernama Hilman Faturrahman itu masih menyimpan perasaan cinta. Buktinya entah berapa kali, pria berkacamata itu mencuri pandang ke arah Mama Heni.
"Kamu kelas berapa sekarang?" Hanif berusaha akrab dengan Dhifa.
"Kelas XI sama dengan Dhira." Dhifa menjawab malu-malu sebab Hanif menatapnya intens. Anehnya ia jadi grogi. Untuk menstabilkan emosi dan perasaan hatinya ia membuka permen lollipop rasa melon.
"Kalau Nizam?" Pemuda tampan itu menatap adik si kembar.
"Kelas delapan Kak!" Ia menjawab sambil terus mengeksekusi makanannya. Rasanya sangat enak. Pemuda itu sangat merindukan masakan Indonesia.
"Sudah lama ya kita ga ngumpul," ujarnya basa basi.
"Bulan depan Kak Tasya ke Jakarta rencananya mau lahiran di sini." Dhifa memberikan informasi tentang kakak tertua mereka yang juga merupakan kakak Hanif.
"Nanti kita atur pertemuan sekalian ajak Bang Hafizh pasti seru. Apalagi Kak Tasya bawa semua anaknya bakalan makin rame." Dhira setuju.
"Boleh." Hanif pun setuju. Sekali lagi ia mencuri pandang ke arah Dhifa. Gadis itu terlihat dewasa si usianya yang belum genap delapan belas tahun.
Dhifa menangkap sinyal-sinyal mencurigakan. Ia pun beristighfar dalam hatinya agar tak tergoda oleh pesona Hanif Faturrahman, si pemuda tampan lulusan salah satu universitas terkemuka di Jerman. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa statusnya saat ini adalah kekasih Alwi dan juga calon istrinya.
***
Bersambung