Akhirnya usai sudah ujian akhir yang ditempuh anak-anak kelas XII SMA Pelangi. Mereka tinggal menunggu hasilnya. Sebenarnya ini menjadi saat-saat yang menegangkan untuk mereka, tak terkecuali bagi Dhifa. Sementara saudari kembarnya tak perlu khawatir karena ia sudah dipastikan lolos ke fakultas kedokteran salah satu universitas di Yogyakarta. Dhira, Alwi dan Tomy merupakan tiga siswa yang bersaing ketat memperebutkan gelar juara umum. Kemungkinan besar nilai tertinggi akan jatuh kepada salah satu diantara mereka. Dhifa tak sanggup menyaingi mereka. Berhasil lulus dengan nilai baik adalah prestasi yang menggembirakan. Terkadang ia iri kepada adiknya yang memiliki otak super.
Dhifa dan sahabatnya, Nayla tengah duduk di dalam ruang perpustakaan. Selepas membantu pustakawan membereskan buku-buku mereka bersantai sambil mengobrol.
"Kita harus merencanakan acara perpisahan kelas." Terdengar Nayla memberikan usulan. Gadis itu selalu penuh ide. Di kelas ia dipercaya menangani event-event penting.
"Kita harus nunggu dulu pengumuman kelulusan baru bikin acara." Dhifa terlihat tak setuju. Bagaimana kalau nilainya jelek atau ada yang tak lulus.
"Ga ada salahnya kalau rencananya kita susun dari sekarang, biar nanti tinggal pergi." Nayla menegaskan. Acara perpisahan merupakan bagian yang wajib diagendakan.
"Boleh juga. Tapi kemana?" Dhifa pun akhirnya setuju. Sudah lama kelasnya tak mengadakan acara perjalanan khusus.
"Camping atau nginep di villa aja." Nayla mengusulkan. Mereka harus mencari yang murah meriah.
"Aku setuju. Aku bakal jadi donatur, semua biaya aku yang tanggung." Tomy yang entah datang darimana tampak antusias. Ini merupakan kesempatan bagus untuk pendekatan dengan Dhifa. Ia memiliki villa keluarga di puncak. Ia akan mengajukan diri menjadi tuan rumah, ia juga tak keberatan menanggung konsumsi untuk teman-temannya.
"Tapi kelas kita saja." Lanjut Tomy seraya menatap ke arah Dhifa. Ketua kelas XII MIA 2 itu sudah sejak lama naksir Dhifa, sayangnya cintanya bertepuk sebelah tangan, padahal ia telah banyak berusaha. Berbagai upaya untuk merebut Dhifa dari tangan Alwi telah ia lakukan namun hasilnya tak ada. Hubungan mereka berdua tak tergoyahkan.
"Gabung dengan kelas lainnya saja. Kebetulan villa Papi Tomy sama villa Eyangku kan bersebrangan. Atau pakai villa keluarga kamu juga boleh, kan?" Nayla kembali memberikan usulan.
"Aku malas ikut kalau acaranya nginep-nginep. Susah dapat izin dari Papa." Dhifa keberatan. Betapa sulitnya minta persetujuan Papa Dany yang terkenal posesif dan overprotektif. Belum apa-apa pasti mendapatkan penolakan. Kecuali acaranya dilaksanakan di villanya dan mereka ikut serta. Tapi ga asyik kalau acara mereka dipantau oleh Papanya yang pastinya akan jadi satpam dadakan selama dua puluh empat jam.penuh.
"Makanya gabung sama MIA1, biar Dhira ikut. Aku yakin papa kamu pasti kasih izin. Di sana juga kita undang guru-guru biar aman." Nayla terus memberikan usulan. Ia ingin acaranya sukses.
Nayla juga memiliki alasan, di sana ada Dhira, sehingga besar kemungkinannya jika orangtua Dhifa memberikan izin.
"Berarti ada Alwi dong." Tomy kecewa. Kalau ada pemuda berkaca mata itu, usahanya bisa gagal total. Ide Nayla tak ia setujui.
"Masalah buat kamu?" Nayla menatap ke arah saudara tirinya.
"Jelas dong! Lagian bahaya kalau ada pasangan yang menginap bareng, bisa saja mereka berbuat m***m. Nanti kita yang kena dosa juga." Tomy berpikiran negatif. Sebenarnya bukan itu alasannya. Rencana pedekate bakal gagal total.
"Kamu jangan nuduh yang bukan- bukan dong!" Dhifa kesal atas ucapan Tomy yang sembarangan.
"Aku cuma mengingatkan." Tomy membela diri.
"Ya sudah nanti kita ngobrol lagi sama Dhira. Mudah-mudahan Mama sama Papa mengizinkan, secara Dhira lebih dipercaya oleh mereka." Dhifa pun harus mulai mendekati adiknya.
Ia pun berdiri mengajak Nayla pergi. Kehadiran Tomy membuatnya jengah dan Dhifa tak ingin Alwi memergoki mereka yang berujung dengan kesalahpahaman.
***
Seminggu kemudian
Alwi dan Dhifa sengaja bertemu di ruang OSIS.
"Mein Lieblieb kok kamu diam saja, lagi sakit ya?" Dhifa bertanya penuh keheranan. Ia begitu cemas. Alwi mendadak menjadi pendiam. Biasanya pemuda tampan itu selalu ceria saat berada di samping belahan jiwanya. Akhir-akhir ini hubungan mereka agak renggang, Dhifa pun jarang mengobrol lewat telpon.
"Tidak apa-apa." Alwi berusaha tersenyum. Ia seolah sedang menyembunyikan sesuatu. Namun enggan berbagi dengan Dhifa.
"Kamu sehat, kan?" Dhifa khawatir dengan kesehatan kekasihnya.
"Aku ingin bertanya tentang perasaan kamu ke aku." Tiba-tiba saja Alwi menanyakan perasaan Dhifa.
"Kita kaya yang baru jadian aja. Kamu menanyakan tentang perasaan." Dhifa tertawa, kalimat Alwi terdengar sangat lucu. Mereka sudah kenal sangat lama dan tentu saja sudah saling memahami perasaan masing-masing.
"Kamu ragu ya sama aku? Sejak dulu aku kan selalu cinta sama kamu ga peduli orang mau bilang apa tentang kamu. Buat aku kamu adalah pangeran ku dan my future husband." Dhifa menatap Alwi penuh cinta. Alwi satu-satunya cinta yang ia miliki. Cinta pertama dan berharap menjadi cinta sejatinya.
"Masalahnya,..." Alwi tak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia tampak gugup dan bimbang.
"Kamu selingkuh atau punya wanita idaman lain?" Dhifa memberikan tuduhan sebab Alwi menunduk dan menunjukkan rasa bersalahnya.
"Bukan itu. Aku ga pernah lirik siapa-siapa selain kamu." Alwi bingung harus darimana memulainya. Ada hal penting yang ingin disampaikan olehnya. Kalau bisa secepatnya. Sayangnya ia tak ingin membuat Dhifa kecewa.
"Kalau kamu mau ngomong sesuatu ya bilang aja." Dhifa masih memberikan tatapan penuh selidik atas tingkah Alwi yang tak seperti biasanya.
"Aku cinta kamu dan tak ingin kehilanganmu." Alwi menggenggam tangan Dhifa, menyalurkan perasaan hatinya.
"Aku juga cinta kamu, makanya kita harus kuliah di universitas yang sama biar bisa ketemu tiap hari." Dhifa yang pernah berniat minta dinikahi Alwi secepatnya tak ingin berjauhan.
"Kita akan menjadi suami istri yang bahagia kan, dengan anak yang lucu-lucu. Tapi aku mau tiga saja jangan seperti kak Tasya punya enam anak. Ngeri banget melahirkan dan ngurusnya." Dhifa mulai berhalusinasi.
Alwi tersenyum. Ia pun membayangkan saat-saat itu tiba.
"Lulus kuliah nanti aku bakalan langsung melamar kamu. Kamu janji setia ya sama aku." Alwi menatap Dhifa penuh pengharapan. Ia tak ingin berpisah dengan gadisnya.
***
Dhifa dan Dhira telah rapi berpakaian dengan mengenakan baju bebas. Hari ini merupakan hari kelulusan bagi mereka. Pihak sekolah telah memberikan keputusan agar seluruh siswa datang menggunakan pakaian bebas dan membungkus seragam mereka untuk diserahkan kepada pihak sekolah sebagai sumbangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari aksi Corat coret di baju seragam. Tradisi yang telah lama berlangsung.
"Mama doakan semoga hasilnya memuaskan."Mama Heni mencium pipi dan kening kedua putrinya. Setiap saat ia selalu mendoakan yang terbaik bagi anak-anaknya. Bukan hanya si kembar tapi juga si bungsu, Nizam yang juga baru selesai menempuh ujian akhir di SMP.
"Hadiah menanti kalian!" Papa Dany yang terkenal royal berseru. Ia pasti akan memberikan reward yang luar biasa.
"Boleh dong aku punya mobil sendiri." Dhifa melonjak girang. Semoga nilainya memuaskan. Sebuah kendaraan roda empat menjadi incarannya.
"Gimana nanti saja, kita lihat hasilnya." Papa Dany tidak berani menjanjikan, harus ada syarat yang diajukan. Ia tak mau membuang uangnya percuma
"Aku kan mau jadi anak kuliahan. Jadi harus gaya." Dhifa merengek.
"Kita lihat saja nanti." Papa Dany memberikan tantangan.
"Ayo kak, cepat nanti kita terlambat." Dhira menarik lengan saudarinya yang terlalu banyak bicara
"Iya, buruan pergi, Mang Amar sudah menunggu.." Mama Heni pun segera memerintahkan anaknya berangkat.
"Assalamualaikum" mereka pamit usai bersalaman.
"Waalaikumsalam," jawan Mama Heni.
Pasangan suami istri yang terpaut beda usia sepuluh tahun itu memandangi kedua putrinya yang tengah memasuki mobil, hingga mereka pergi meninggalkan halaman rumah.
***
Suasana Lapangan SMA Pelangi tampak riuh dengan kehadiran siswa siswi kelas XII. Mereka berbaris rapi dan bersiap akan mendengarkan sambutan dari kepala sekolah untuk memberikan pengumuman resmi tentang kelulusan.
Saat acara dimulai suasana berubah hening.
Usai ketua yayasan berpidato diikuti sambutan kepala sekolah.
"Nilai UN tertinggi jatuh kepada Alwi Alamsyah." Seru Pak Kepala Sekolah.
Mendengar nama Alwi dipanggil, Dhifa sangat gembira. Pacarnya itu sangat membanggakan.
"Posisi kedua adalah Nadhira Hadiwijaya, dan posisi ketiga Tomy Dinata." Kepala sekolah mempersilahkan mereka untuk maju ke depan.
Seperti dugaan Dhifa, posisi tiga besar diduduki oleh mereka.
***
"Selamat ya, Mein Lieblieb. Aku bangga sekali." Dhifa memberikan ucapan selamat untuk Alwi.
"Terima kasih my Lopelope." Alwi tersenyum. Ia persembahkan gelar ini untuk Dhifa. Gadis itu selalu menjadi sumber motivasinya.
"Dek, selamat ya." Dhifa pun beralih memeluk Dhira yang ada di sampingnya.
"Terimakasih. Kakak juga selamat y!"
"Aku ga dikasih ucapan selamat nih?" Tomy mendekat ke arah dua gadis yang tengah berpelukan itu.
"Selamat untuk kalian semua." Dhifa pun memberikan selamat.
"Jadi kan kita rayakan di villaku." Tomy bersikukuh ingin menjadi tuan rumah.
"Iya." Nayla pikir ide saudara tirinya itu tidaklah buruk.
"Bener ya kamu jadi donatur." Dhifa sebetulnya belum mendapatkan izin dari orang tuanya.
"Iya." Tomy mengangguk.
Semua sudah setuju, tinggal mengurus perizinan.
Dhifa dan Dhira segera pulang ke rumah, mereka tak ingin pergi kemana-mana. Ia ingin langsung berbagi kabar gembira.
"Gimana kabar kelulusan kalian, Sayang" Mama Heni hari ini tak pergi kemana pun.
"Alhamdulillah, Ma. Dhira juara dua." Dhira menunjukkan surat kelulusan di tangannya.
"Alhamdulillah. Selamat, ya sayang." Mama Heni memeluk putrinya. Air mata bahagia membasahi pipinya. Ia terharu.
"Kakak gimana?" Giliran anak yang lain yang ditanyakan.
"Alhamdulillah masuk 20 besar." Dhifa tersenyum. Meskipun tak bisa menyaingi adiknya namun ia tetap senang berada di posisi itu. Lumayan jika dilihat dari 300 siswa.
"Alhamdulillah, Mama bangga sama kalian. Papa pasti senang." Mama Heni pun memberikan ciuman dan pelukan hangat untuk Dhifa.
"Aku tetep dapat mobil kan, Ma." Dhifa malah membahas soal hadiah yang dijanjikan tadi pagi oleh Papa Dany.
"Soal itu tanya Papa." Mama Heni tak ikut campur. Ia sudah menyiapkan hadiah namun bukan itu.
"Adik kamu aja ga minta apa-apa." Mama Heni menggoda Dhifa. Anak keduanya itu selalu penuh dengan tuntutan.
"Dhira nya aja yang tak punya keinginan, kalau aku jadi dia, aku mau minta ini itu dan manfaatin Papa." Dhifa melirik ke arah adiknya yang masih diam.
"Kamu mau minta apa, Sayang?" Mama Heni ingin abu kebutuhan Dhira.
"Apa, ya?"Dhira berpikir sejenak.
"Ayo, Mama pasti kabulkan kalau ga bisa nanti minta tolong Papa." Mama Heni tak sabar mendengar keinginan Dhira. Dhira tergolong anak yang tak banyak menu Tut apa-apa. Jika diberi maka diterima dengan senang hati, jika tidak ia tak akan menangis atau membuat report orangtuanya.
Dhifa langsung memberi kode melalui matanya agar Dhira segera menyampaikan maksud mereka.
"Dhira mau ikut ke acara perayaan perpisahan teman-teman. Rencananya mau nginap di villa Tomy dan Barbeque an. Di sana ada juga Bu Anjani dan guru lainnya." Dhira mengutarakan permohonannya. Sebetulnya itu sudah di setting bersama kembarannya agar mereka berdua mendapat izin.
"Pesta?" Mama Heni langsung memberikan tebakannya.
Dhira dan Dhifa mengangguk.
"Memangnya siapa saja yang ikut?" Mama Heni berusaha mengorek informasi. Dulu ia pernah muda dan sempat merasakan acara perpisahan dengan teman sekelas.
"Ada Tomy dan Nayla juga. Mereka kan tuan rumah." Dhifa memberi tahukan. Biasanya kalau ada Nayla mama Heni selalu setuju.
"Aduh gimana ya, nanti Mama izin Papa dulu deh." Wanita cantik itu tida meng-acc begitu saja. Ia butuh pendapat suaminya.
"Please ya Ma, bujuk dan rayu Papa. Mama kan Paling jago menaklukkan Papa." Dhifa memberikan dukungan.
"Iya, Ma." Dhira pun memohon.
"Insyaallah, tapi Mama ga janji. Sebenarnya Mama khawatir kalian nginep-nginep di villa." Mana Heni menunjukkan kekhawatirannya.
"Percaya deh Ma, ga akan ada alkohol atau n*****a. Ini acara kelas Dhifa dan Dhira. Cuma makan-makan saja." Dhira kembali membantu Dhifa untuk meyakinkan ibunya.
"Jangan pacaran ya!" Mama Heni khawatir.
"Pacaran gimana? Kan ada Bu guru yang jadi pembimbing. Kalau ga percaya, Mama tanya mereka? Nanti jua bakalan ada surat izin dan pemberitahuan." Dhifa tampak bersemangat.
"Iya, Ma. Sekali-kali kita dilepas. Anggap saja ini latihan Dhira jauh dari Mama." Dhira membujuk sang Mama tanpa lelah.
"Di Yogya nanti kamu kan tinggal di rumah Om Deri. Tentu saja ga dilepas." Mama Heni tak khawatir karena putrinya akan ada yang menjaganya.
"Ya sudah kalian makan siang dulu sana!" Mama Heni mengalihkan pembicaraan.
"Ok, Mama."
***
Hari yang ditunggu sebagai perayaan kelulusan pun tiba. Sebanyak empat puluh siswa gabungan dari kelas XII MIA berada di villa milik Tomy dan keluarga Nayla.
Dhifa dan Dhira mendapat izin dari orang tuanya setelah melakukan aksi bujuk rayu dibantu oleh Mama Heni. Papa Dany akhirnya luluh. Mereka pun mengantar kedua putrinya hingga ke lokasi. Sebagai informasi pasangan suami istri itu diam-diam akan menginap di Villa merek yang letaknya tak terlalu jauh dari lokasi kedua putrinya berada, sehingga mereka tetap bisa memantau.
"Bu Anjani sudah datang ya?" Tanya Dhira tentang wali kelasnya. Dialah yang akan menjadi pembina.
"Iya. Sejak tadi."jawab Nayla. Mereka pasti melibatkan wali kelas demi keamanan dan kenyamanan.
"Ayo kita ke halaman belakang. Sepertinya semua sudah kumpul." Nayla mengajak si kembar bergabung dengan yang lainnya sebab acara pembukaan akan segera dimulai.
***
Bersambung.