Tujuhbelas

1014 Words
Beranda di rumah sakit bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Dhifa. Sayangnya ia tak bisa menolak keputusan kedua orang tuanya untuk menjadikannya penghuni salah satu ruangan VIP. Tubuhnya lemah tak berdaya sehingga tak bisa kabur ataupun berontak. Usai menjalani pemeriksaan di ruang IGD ia langsung dibawa ke ruang perawatan. Hasil tes laboratorium menyatakan jika dirinya terkena gejala typus. Meskipun dirinya menjerit dan berteriak saat perawat mengambil darah dan memasukkan jarum infusan, mereka tak peduli. Dhifa pasrah pada nasibnya karena harus menginap di rumah sakit, tempat yang paling dibencinya. Di ruangan itu Papa Dany dan Mama Heni menjaganya. Mereka tidur berdempetan di sofa panjang. "Mein Lieblieb..." "Mein Lieblieb." Terdengar suara Dhifa mengigau memanggil Alwi. Mama Heni sampai tak bisa tidur saking khawatir. "Sayang, kamu kenapa?" Wanita itu berdiri dari sofa tempatnya berbaring, lalu mendekat ke arah putrinya, mengusapnya dengan lembut. Dhifa tertidur lelap. Kata-kata yang diucapkan olehnya itu dibawah alam sadar. "Mungkin ini karena suhu tubuhnya yang terlalu panas," ujar Papa Dany memberikan kesimpulan. "Ganti kompresannya, Ma!" Papa Dany memberikan perintah. Suhu tubuh Dhifa masih panas. "Baik Pa," Mana Heni menempelkan kain yang sudah dibasahi di kening Dhifa. Pasangan suami istri itu terlihat begitu kelelahan. Sepanjang malam entah berapa kali Dhifa mengingau, kadang memanggil nama Alwi kadang teriak dan menangis. Siapa pun yang mendengar pasti merasa iba. Mama Heni tak bisa tidur,ia terus berada di samping Dhifa menjaganya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Papa Dany pun berulang kali terbangun. "Ma, haus," Dhifa terbangun karena rasa haus yang menyerangnya. Mama Heni pun mengambilkannya. "Ke toilet dulu yuk!" Mama Heni mengajak Dhira buang air kecil. "Iya, Ma sekaligus mau ganti pembalut." Dhifa merasa ada sesuatu yang tak beres. Benar saja bagian pantatnya basah. "Astaghfirullah, kamu tembus tuh!" seru Mama Heni menunjuk ke arah sprei yang sudah memerah. "Aduh, gimana dong Ma?" Gadis itu terlihat panik. "Sudah, tak apa-apa biar nanti minta perawat yang ganti." Mama Heni menenangkan Dhifa. "Ada apa?" Papa Dany sampai terbangun akibat mendengar teriakan Dhifa. "Banjir." Mama Heni tersenyum. Papa Dany mengerti apa maksudnya, tanpa diperintah pria itu segera memanggil perawat. Sementara Dhifa diantar ibunya menuju kamar mandi yang terletak di sudut ruangan. Dengan bersusah payah karena harus membawa selang infus akhirnya mereka berhasil tiba di kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian Dhifa keluar dan telah berganti pakaian. ranjangnya pun telah berganti sprei baru. Gadis itu kemudian tidur lagi. *** Pagi ini Papa Dany terpaksa harus pulang karena ia memiliki jadwal meeting di kantornya, selain itu ia pun memiliki janji temu lainnya dengan wartawan. Mau tak mau ia harus meninggalkan Dhifa. "Sayang, maafin Papa ya, Papa ga bisa jagain kamu. Kamu sama Mama dulu. Jangan rewel, harus nurut!" Papa Dany mencium kening putrinya. Kondisi Dhifa sudah mulai membaik. Suhu tubuhnya tidak terlalu panas. Namun ia masih tampak lemas. "Iya, Pa Dhifa udah segar kok. Dhifa ingin pulang hari ini." Dhifa tak mau berlama-lama di rumah sakit. "Kakak jangan mikirin apa-apa, sekarang pikirkanlah kesehatan. Percuma pulang hari ini kalau belum sembuh total yang ada malah balik lagi ke sini. Bisa lebih lama lagi." Papa Dany memberikan nasihat kepada anak gadisnya yang tengah sakit gara-gara patah hati. "Hati-hati ya, Pa!" Mama Heni yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari Papa Dany mengantar suaminya hingga keluar dari pintu kamar. Gurat lelah terlihat di raut wajah cantiknya. "Mama juga jaga kesehatan, jangan lupa makan," pesannya. "Tenang saja, Pa. Nanti Dhira bakal ke sini untuk mengantar makanan dan baju ganti." Tepat pukul sembilan pagi usai pemeriksaan dokter,Dhifa mendapatkan kunjungan. Kejutan datang saat ada seorang pemuda yang membesuknya. Bukan Alwi. "Dhifa kamu kenapa?sakit apa?" Tomy menjadi orang pertama yang membesuk Dhifa setelah mendengar kabar dari ayahnya yang kebetulan adalah dokter l memeriksanya. Dhifa tak pernah mengharapkan kunjungan dari Tomy. Baginya kehadiran pemuda itu hanya mengganggu dan menambah beban pikirannya. Gurat kecewa terlihat di wajah cantiknya yang terlihat pucat. "Gejala typus. Makasih ya Tomy kamu sudah mau menjenguk Dhifa." Mama Heni mengucapkan terimakasihnya. "Aku kaget dengar Dhifa masuk rumah sakit lagi. Barusan Papa yang memberi kabar, ya sudah aku langsung meluncur." Tomy berujar dengan nada khawatir. "Oh, Iya ini ada titipan dari Mami." Tomy menyerahkan parsel buah ditangannya. "Makasih banyak ya, pakai repot-repot segala." Mama Heni berbasa-basi. Ia pun menerima pemberian dari Tomy, anak tetangganya. "Dan ini untuk kamu." Sebuket bunga Lily putih ia persembahkan untuk Dhifa, gadis yang dikejarnya namun tak pernah berhasil diraihnya. Gadis itu terlalu sulit untuk ditaklukkan. Dhifa tak peduli dengan perhatian yang diberikan oleh Tomy. Saat ini ia merindukan sosok Alwi yang telah menjadi mantannya sejak dua hari lalu. Meskipun hatinya masih perih ia masih belum bisa melupakannya. "Nanti siang Nayla juga akan ke sini." Pemuda berkaos abu itu memberikan kabar. "Makasih banyak. Kamu lihat sendiri kan Dhifa malah diam saja, kalau lagi sakit mode judesnya keluar." Mama Heni tampak malu melihat sikap Dhifa yang cuek dengan kebaikan Tomy. Dalam pandangan mamanya Dhifa, sosok Tomy itu terlihat santun dan baik hati. Wanita itu cukup bersimpati pada sikapnya. Meskipun pada kenyataannya, sikap aslinya saat bersama teman-temannya itu berbanding terbalik. Hanya Dhifa dan teman-temannya yang tahu tentang pemuda berdarah Tionghoa itu. "Ya sudah kalian ngobrol saja dulu. Mama mau ke toilet." Mama Heni seolah memiliki kesempatan untuk meninggalkan Dhifa sejenak. "Aku sudah tahu kalau kamu putus dari Alwi." Tiba-tiba Tomy menyinggung masalah yang tengah dialami oleh Dhifa. Mendengar ucapan Tomy tentu saja Dhifa kaget. Tahu darimana dia. Apa mungkin Nayla yang sudah membocorkannya. Dhifa tampak kesal. Tega sekali Nayla mengatakan masalahnya kepada Tomy. "Kamu ga usah bahas itu dan ikut campur urusan pribadiku." Dhifa memberikan peringatan. "Oke, oke aku ngerti. Aku ga akan ganggu kamu. Sebagai teman aku peduli akan kondisi kesehatanmu." Tomy tersenyum. Ia tak lagi menyinggung masalah Dhifa dan Alwi. "Sebaiknya kamu pulang saja!" Dhifa mengusir Tomy. Bagi Dhifa kehadiran pemuda di hadapan itu hanya akan membuat kesehatannya menurun. "Kakak kok ngusir Tomy." Mama Heni telah kembali dan duduk di sofa. "Dhifa ingin sendiri." Dhifa merajuk. "Kamu temani dulu Tante sebentar, sambil nunggu Dhira dan Nizam. Katanya mereka mau kesini." Mama Heni malah memberikan keputusan yang tak disetujui oleh Dhifa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD