Hari sudah gelap namun Dhifa membiarkan jendela kamarnya tetap terbuka. Betapa malasnya ia melakukan pekerjaan ringan itu. Pikirannya benar-benar kacau.
Ia pun enggan keluar dari kamarnya dan lebih memilih mengurung diri meratapi nasibnya yang tengah patah hati. Putus cinta itu membuatnya hancur, tak ada gairah untuk melakukan aktivitas selain berdiam diri. Perasaan cintanya kepada Alwi begitu besar sulit rasanya menerima perpisahan ini.
Entah berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan olehnya. Dhifa seperti orang yang kehilangan akalnya, tiba-tiba menangis lalu diam dan menangis lagi begitulah pekerjaannya. Tak ada lagi sosok Dhifa yang ceria.
Beberapa kali ponselnya berdering, namun ia abaikan karena tahu panggilann itu berasal dari Alwi, mantannya. Ia tak ingin lagi bicara dengannya. Ia menyebutnya si pengkhianat.
Suara pesan WA juga terus menerus berbunyi. Dhifa pun segera mematikan gawainya. Ia tak ingin bicara dengan siapapun. Ia ingin menenangkan diri.
Segala kenangan tentang Alwi bermunculan apalagi saat melihat benda-benda di sekitar kamarnya yang kebanyakan merupakan pemberian darinya, makin menjadi-jadi rasa sesaknya. Entah bagaimana nasibnya nanti tanpa kehadiran sang kekasih hati di sampingnya.
Hiks
Hiks
Hiks
Ia kembali menangis entah untuk ke berapa kali.
"Kak, Mama sama Papa sudah pulang, ayo kita makan malam. Mereka sudah menunggu." Dhira masuk kembali ke dalam kamar Dhifa. Kakaknya itu masih berada di atas tempat tidurnya belum beranjak sedikit pun mengubah posisinya. Terlihat mengenaskan di mata adiknya.
Melihat jendela kamar masih terbuka, Dhira pun berinisiatif menutupnya.
"Kakak masih nangis dari tadi?" Dhira mendekat lagi ke arah saudarinya.
Dhifa tak menjawab. Pertanyaan Dhira itu tak penting.
"Sholat Maghrib dulu biar hati dan pikiran tenang." Dhira mengingatkan. Ia yakin kakaknya belum sholat.
"Aku lagi libur, Dek." Akhirnya ia bersuara. Dhifa sejak pagi datang bulan.
"Ya sudah, kita makan." Dhira berusaha membujuk Dhifa turun ke ruang makan.
Dhifa menggeleng. Ia tak lapar. Selera makannya menguap entah kemana. Ia hanya ingin diam.
"Ayolah kak, nanti Mama sama Papa marah lagi." Dhira tak patah semangat untuk membujuk sang kakak. Dhifa mudah terserang sakit lambung.
"Bilang saja aku lagi tidur." Dhifa belum ingin bertemu siapa pun. Melihat kondisinya yang kacau orang tuanya pasti bertanya ini itu dan Dhifa enggan memberikan penjelasan.
Dhira tak bisa memaksa. Ia pun pergi meninggalkan kembarannya.
Dhifa menarik selimutnya dan menutupi seluruh bagian tubuhnya. Ia harus berakting karena beberapa saat lagi sudah bisa dipastikan Mama Heni pasti menemuinya.
Setengah jam kemudian terdengar suara langkah kaki.
"Kak, makan dulu." Itu suara Mama Heni yang masuk ke kamarnya. Dhifa mendengarnya namun pura-pura tidur. Ia tak memiliki selera untuk makan.
"Kebiasaan sering ketiduran."
Terdengar suara Mama Heni yang kesal.
Dhifa membuka matanya saat tahu sang Mama telah keluar dari kamarnya. Dhifa kembali bangun dan segera masuk kamar mandi. Ia butuh cucu muka untuk menghilangkan sisa tangisannya. Matanya menjadi bengkak saking lamanya menangis.
***
Esok harinya
Waktu sarapan telah tiba namun Dhifa belum juga turun. Sejak semalam tak seorang pun yang berhasil bertemu dengannya.
"Sebenarnya kamu kenapa?" Papa Dany masuk kamar putrinya, mencoba mencari tahu tentangnya.
"Aku ga enak badan!" seru Dhifa lemah. Ia tampak pucat dengan matanya yang sembab.
"Panggil dokter ya?" Papa Dany memberi saran.
"Ga mau Pa." Dhifa langsung menolak. Ia tak mau berurusan dengan dokter
"Diperiksa Papinya Tomy saja, mumpung dia ada di rumah." Papa Dany terus membujuknya. Beruntung mereka memiliki tetangga dokter.
"Ga mau." Dhifa tetap tak mau.
"Itu mata kamu bengkak kenapa?" Papa Dany terus menatap putrinya. Ada yang aneh dengan sikap anaknya.
"Dhifa lagi datang bulan. Sakit banget" Dhifa sering merasa sakit mulas. Pernah juga sampai pingsan.
"Oh. Ya udah nanti perutnya kompres air hangat." Papa Dany percaya begitu saja, bukan sekali dua kali putrinya bermasalah saat menstruasi. Ia sudah hafal apa yang harus dilakukan.
Kali ini Dhifa berhasil membohongi mereka.
"Ya sudah Papa mau berangkat ke kantor, kamu jangan lupa sarapan. Hari ini Mama ga akan kemana-mana."
Pria yang sudah berpakaian rapi dengan setelan kerjanya itu bersiap untuk pergi.
"Iya, Pa" Dhifa mengangguk, tak lupa menyalaminya.
"Mama khawatir sama kamu, sebenarnya ada apa?" Giliran Mama Heni yang menemui Dhifa dengan membawakan makanan.
Mama Heni tak bisa dibohongi. Sebagai seorang ibu ia lebih peka dengan apa yang terjadi.
"Ayo makan dulu buburnya, biar Mama suapi." Mana Heni meraih mangkuk yang dibawanya barusan.
Dhifa malah menangis terisak.
"Loh kok malah nangis."Mama Heni heran.
"Aku diputuskan Alwi Ma." Akhirnya Dhifa jujur. Ia telah siap bercerita tentang kejadian yang sebenarnya.
"Jadi gara-gara itu ya kamu sampai nangis dan mengurung diri." Sebenarnya ia sudah curiga. Mama Heni sampai bengong.
"Iya. Aku benar-benar sedih dan hancur." Dhifa mengangguk.
"Memangnya Mama ga pernah putus?" Dhifa balik bertanya.
Mama Heni menggeleng. Ia hanya pacaran satu kali seumur hidupnya dan ia tak ingin berbagi cerita.
"Memangnya ada masalah apa sampai-sampai Alwi memutuskan kamu?"Mama Heni berusaha mengorek informasi lebih rinci.
"Alwi mutusin aku Ma, gara-gara mau kuliah di luar negeri. Padahal aku ga masalah kalau harus LDRan. Tapi Alwi menolak, bahkan ia meminta aku mencari penggantinya." Dhifa menjelaskan alasan putus hubungan nya dengan Alwi.
Tanpa sepengetahuan Dhifa Papa Dany berdiri di ambang pintu dan mendengar percakapan anak gadis dan istrinya.
Papa Dany tak bisa berkata-kata, ingatannya kembali ke masa silam saat dirinya seusia Dhifa. Dulu ia pernah melakukan tindakan yang sama dengan Alwi. Ia memutuskan pacarnya yang bernama Devi dengan semena-mena, dengan alasan akan pergi ke luar negeri dan tak mau menjalin hubungan LDR. Gadis itu telah tersakiti olehnya.
Mungkinkah ini hukum karma baginya. Sekarang putrinya menjadi korban cinta dari pemuda yang akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya.
***
Malam ini Dhifa merasa demam.
"Pa, Dhifa badannya panas?" Mama Heni memeluk putrinya. Seharian tadi Dhifa hanya makan sedikit.
Papa Dany panik. Pria itu langsung meraba kening putrinya. Benar saja panas.
"Ambil termometer!" Perintahnya.
Dhira yang setia menemani kakaknya sejak siang tadi, langsung mengambilnya di laci.
"Ini gimana, 39 derajat?" Pria itu menunjukkan angka yang tertera di alat pengukur suhu itu.
"Gimana dong Pa?" Mama Heni tampak sedih.
"Bawa ke RS saja," bisiknya.
"Sudah diberi obat?" Papa Dany melirik ke arah putrinya yang lain.
"Tadi Dhira kasih parasetamol." Gadis berjilbab merah itu menjawab. Seperti halnya kedua orang tuanya, ia pun terlihat mencemaskan kondisi kakaknya.
"Sudah dikompres juga," lanjut Dhira
"Dhifa ga mau ke rumah sakit." Teriaknya. Meskipun sedang sakit mendengar kata rumah sakit Dhifa pasti sadar.
"Sayang, dengar Mama kamu harus sembuh." Mama Heni membujuknya terus.
"Dhifa ga sakit!"Dhifa menolak kembali lagi ke rumah sakit.
"Ayo, Pa kita ke sana sekarang." Mama Heni khawatir terjadi sesuatu. Ia tak peduli dengan teriakan Dhifa yang berusaha meloloskan diri.
Papa Dany langsung menggendongnya. Ia tak akan membiarkan Dhifa kabur. Malam ini juga Dhifa harus mendapatkan perawatan.
***
Bersambung.