"Kamu benar-benar tega!" teriak Dhifa penuh amarah.
Ia tak peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian dari pengunjung lainnya.
Dhifa berdiri lalu meninggalkan Alwi yang masih berusaha memberikan pengertian. Gadis itu benar-benar marah dan kecewa atas apa yang telah dilakukan oleh Alwi. Memutuskannya di saat ia telah mengorbankan semuanya. Ia rela tetap kuliah di Jakarta, alasannya karena Alwi. Padahal sekarang ini orang tuanya mulai melunak dan tak terlalu ketat padanya. Papa Dany terlihat mulai memberi lampu hijau pada hubungan mereka usai terjadi insiden p*********n yang dilakukan nya terhadap Alwi.
"My Lopelope tunggu!" Alwi mengejar Dhifa, sayangnya gadis itu berjalan cepat, ia sengaja mencopot sepatu hak tingginya dan langsung menyetop sebuah taksi yang kebetulan melintas.
"Taksi!"
Begitu kendaraan itu berhenti, Dhifa langsung duduk di jok penumpang.
"Ayo, Pak jalan cepat!" Dhifa melihat Alwi mengejarnya. Ia harus segera melarikan diri.
"Dhifa! My Lopelope, tunggu!" Dhifa dengan jelas mendengar suara pemuda yang sudah menjadi mantan pacarnya sejak beberapa menit yang lalu.
Alwi tak bisa terus mengejarnya karena mobil yang ditumpangi Dhifa melaju kencang.
"Cepat Pak!" Dhifa khawatir Alwi mengejarnya lagi dengan motornya.
"Kemana Mbak?" Sopir menanyakan tujuan Dhifa yang belum jelas. Gadis itu sibuk menghindari Alwi. Pandangannya terus melihat ke belakang.
"Perumahan Cahaya Bulan, B2" ucapnya tak yakin. Ia malas pulang ke rumah tapi di luaran juga bukan tempat yang aman dan nyaman. Tak ada pilihan lain karena rumah adalah istananya. Ia berharap semoga ayah dan ibunya belum pulang agar terbebas dari interogasi mereka.
Sepanjang perjalanan, Dhifa menangis terus. Ia kembali teringat ucapan Alwi, Sopir taksi sampai bingung untuk menghentikan tangisnya yang memilukan.
"Mbak, mbak kenapa?" Sopir berusia lima puluhan itu mencoba mencari informasi. Siapa tahu ia bisa menghiburnya.
"Tidak apa-apa." Dhifa tak mungkin menceritakan masalah yang dihadapinya kepada orang asing. Terlalu berbahaya.
Sopir itu pun tak banyak bertanya. Menghadapi penumpang yang sedang bermasalah merupakan hal mengerikan. Ia tak ingin kena amuk.
Tiba di depan pintu gerbang rumahnya Dhifa segera turun usai memberikan ongkos. Ia masih memasang wajah sedihnya, saat melewati pos satpam pun, ia mengabaikan sapaan satpamnya.
"Kakak kenapa?" Dhira menjadi orang pertama yang menyapanya di rumah dan menatapnya penuh keheranan. Gadis itu baru selesai menyiram tanaman.
Dhifa malah menangis bukannya menjawab pertanyaan adiknya. Dhira semakin heran, saat pamit pergi Dhifa terlihat ceria dan bahagia karena akan bertemu kekasihnya.
Betapa sakit dan hancur hatinya saat ini. Alwi lebih memilih pergi meninggalkan dirinya.
"Kak, sudah dong. Dhira berusaha menghapus air mata Dhifa yang meleleh membasahi pipinya." Dhira pun bingung. Kakaknya sulit untuk dibujuk.
"Kamu ga ngerasain apa yang aku rasa, Dek. Sakit banget. Bisa-bisanya Alwi berkhianat padahal kami sudah pacaran cukup lama." Dhifa memeluk Dhira meminta perlindungan. Hatinya hancur sehancur-hancurnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi. Ada apa dengan Alwi?" Dhira yang berbadan lebih besar dari Dhifa membelai lembut punggung kakaknya yang beda usia 5 menit. Ia merasakan kesedihan saudarinya.
"Aku sama Alwi putus! Hubungan kami sudah berakhir." Dhifa berucap ditengah Isak tangisnya.
"Putus?" Dhira terlihat kaget, seingatnya hubungan antara kakaknya dan Alwi tak ada masalah, boleh dibilang sekarang mereka lebih dekat karena papanya mulai menerima Alwi. Entah itu sebagai penebus rasa bersalah karena telah membuatnya masuk rumah sakit, entah bagaimana. Hanya saja Papa Dany tak seposesif biasanya.
"Iya. Hubungan kami telah berakhir." Seru Dhifa dengan perasaan hati yang sulit dilukiskan. Ia tak pernah membayangkan akan patah hati seperti ini. Benar-benar sakit.
"Apa alasannya?" Dhira tak menyangka jika mereka akan mengakhiri kisah cintanya. Kisah kasih yang bibitnya telah timbul saat mereka duduk di bangku SMP hingga jadian saat masuk SMA. Sebuah hubungan yang cukup lama, apalagi keduanya sudah saling kenal sejak balita.
"Dia punya WIL?" Dhira menduga-duga.
"WIL?' Dhifa tak paham apa itu.
"Wanita Idaman Lain alias selingkuhan?" Dhira mempertegas. Isu tentang perselingkuhan biasanya menjadi alasan berakhirnya sebuah hubungan yang tengah terjalin.
"Alwi tidak pernah selingkuh. Dia tipe lelaki setia, sayangnya ia lebih memilih kuliahnya daripada aku." Dhifa mengungkap kebenaran tentang Alwi.
"Kuliah?" Dhira masih belum paham dan terus mendesaknya. Ia perlu informasi yang jelas. Masa iya gara-gara kuliah jadi putus.
"Alwi dapat beasiswa untuk kuliah di Jepang." Beritahunya lagi.
"Kok mendadak." Dhira tak pernah tahu. Pantas saja Alwi tak ikut daftar seleksi masuk PTN ternama. Padahal di sekolah banyak yang lulus.
"Sebenarnya sudah lama sejak dua bulan lalu, hanya saja dia menyembunyikannya dariku." Dhifa merasa dibohongi. Itu yang membuatnya marah. Alwi tak terbuka dengannya. Bukankah urusan kuliah adalah bagian dari masa depan mereka. Apa kabar dengan rencana masa depan mereka yang telah disusun rapi.
"Harusnya dia bilang dong jangan ngasih kejutan tiba-tiba. Lagipula kenapa harus putus, kalian bisa LDRan." Dhira tak mengerti dengan jalan pikiran Alwi. Banyak pasangan kekasih yang tetap menjalin hubungan meskipun terbentang jarak dan waktu
"Itu yang membuat aku sakit hati. Alwi malah minta kita hanya berteman saja. Dia tak ingin menjalani LDR. Ia ingin konsentrasi belajar tanpa ada gangguan lain. "Dhifa kembali menangis. Ingatannya kembali pada kata putus yang diucapkan Alwi.
"Udah Kakak, Kita ke kamar! Jangan nangis di sini, malu." Dhira menuntun kakaknya menuju lantai atas. Ia baru sadar jika masalah ini bisa menjadi bahan gosip para ART.
Dhifa merasa beruntung memiliki saudara kembar yang bisa diajaknya curhat.
Satu demi satu anak tangga mereka naiki. Dua gadis cantik itu lantas menuju kamar Dhifa.
"Kakak istirahat dulu!" Dhira mendudukkan Dhifa di tepi ranjangnya. Tanpa diminta, Dhira mengambilkan minuman jus yang ada di kamar.
"Minum dulu." Dhira memberikan botol yang dipegangnya.
Dhifa kehausan karena lelah menangis dan menahan gejolak perasaannya. Botol jus jambu itu kini kosong tak bersisa.
"Ini lollipop nya." Dhira memberikan sebuah permen lollipop rasa strawberry.
Satu hal lagi yang membuat mood Dhifa kembali bangkit. Permen lollipop kesukaannya.
"Terimakasih." Gadis itu langsung memasukkan permen ke mulutnya.
Benar saja suasana hati Dhifa sedikit tenang.
"Saran aku, nanti kalian bicarakan lagi masalah ini. Siapa tahu hubungan kalian bisa terselamatkan." Dhira memberikan solusi.
Dhifa tak menyahut. Meskipun tangisnya sudah reda namun rasa sedihnya belum hilang.
"Ya sudah, aku mau mandi dulu ya Kak. Sebentar lagi Mama dan Papa pulang. Kak Dhifa istirahat dulu." Dhira pamit untuk menuju ke kamarnya yang terletak di samping kamar Dhifa.
"Ok. Makasih ya, Dek." Dhifa membiarkan adiknya pergi.
Gadis itu kembali menangis usai lollipop nya habis. Ia meratapi nasibnya yang malah diputuskan oleh kekasihnya, beberapa hari setelah perpisahan kelas.
***
Bersambung