Langit pagi tampak cerah menghiasi langit biru SMA Pelangi, tapi tidak dengan perasaan hati Dhifa yang kelabu.
Hari Senin merupakan hari dimana dimulainya semua rutinitas, Dhifa tak pernah menyukainya. Bayangkan saja setelah libur di hari Minggu, mereka harus kembali ke sekolah ditambah lagi upacara bendera membuatnya makin kesal.
Tak jarang ia bolos ikut serta upacara dengan alasan sakit. Penderitanya bertambah sebab sehabis upacara ia harus menerima pelajaran Matematika dengan Bu Anja sebagai gurunya. Betapa lengkap penderitanya hati ini. Meskipun demikian ia harus tetap mengikutinya.
"Pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini, sampai bertemu hari Kamis." Guru galak itu menutup perjumpaan.
Dhifa bernafas lega, jam pelajaran usai. Ia senang karena Bu Anja tak mengungkit masalahnya hari Sabtu kemarin.
Waktu istirahat adalah hal yang paling ditunggu olehnya sebab ia akan menghabiskan waktunya bersama Alwi. Itu menjadi momen yang sangat menyenangkan, pengobat kekesalannya di hari Senin. Alwi yang lebih dulu keluar dari kelas telah duduk menunggu Dhifa.
"Pelajaran Bu Anja ya?" tanya siswa berkacamata itu.
"Iya, bete banget." Dhifa menjawab dengan perasaan tak suka.
Kedua insan itu pun berjalan bersama memilih lokasi pinggir lapangan basket, tepat di bawah pohon rindang.
"My Lopelope kamu bawa apa?" Alwi menatap kotak makanan yang dibawa Dhifa. Seperti biasa ia tak pernah absen membawa bekal.
"Nasi goreng buatanku." Dhifa langsung membuka kotak berwarna ungu itu.
"Kamu masak?"Alwi tak yakin itu buatan Dhifa, selama ini Mama Heni yang selalu membuatkan bekalnya.
Dhifa mengangguk. Sebenarnya dia tak suka masak namun demi Alwi ia rela berkutat di depan kompor.
"Terimakasih, enak sekali." Alwi langsung mencicipinya. Ia makan begitu lahap. Sesekali ia berikan suapan untuk Dhifa yang sejak tadi lebih memilih memakan buah potong.
"Terimakasih."Alwi menghabiskan semuanya.
"Bu Anja tadi tidak memanggil kamu?" Alwi masih memikirkan masalah hari Sabtu.
"Enggak." Dhifa menggeleng. Ia sedikit heran dengan sikap Bu Anja.
"Syukurlah." Alwi tersenyum
"Mein Lieblieb baik-baik saja kan? Papa Alan ga menghukum berat?" Dhifa masih ingat cerita Alwi kemarin.
"Tak apa. Lagipula cuma setengah hari saja, keburu ada Dewi penolong." Alwi tersenyum.
"Alhamdulillah, aku sempat khawatir." Dhifa meraih kedua tangan kekasihnya untuk memastikan tak ada luka lecet di telapak tangannya.
"Kenapa? Kok lihatin tangan aku?" Alwi terkekeh.
"Takutnya ada luka." Dhifa mengusapnya.
Percakapan keduanya terhenti karena bel berbunyi pertanda jam berikutnya akan dimulai. Keduanya segera berdiri dan bergegas hendak masuk ke dalam kelas masing-masing.
"Dag Mein Lieblieb." Alwi berjalan lebih dulu karena kelasnya berada di seberang.
"Dag My Lopelope."
"Dhifa!"
Terdengar suara seseorang memanggil Dhifa yang kebetulan lewat di depan ruang BP. Itu adalah Bu Siska.
"Iya, ada apa ya Bu?" Dhifa mengira Bu Siska hendak meminta bantuan memesan makanan di kantin.
"Sini ikut Ibu!" Guru berjilbab oren itu memerintah.
Dhifa langsung mematuhinya. Mengekor di belakang wanita berusia 30an itu.
Kini gadis cantik bermata bulat itu berada di ruang BP. Ia duduk berhadapan dengan Bu Siska.
Di sana ada dua guru BP lainnya yang tengah sibuk memberikan konseling kepada siswa lain.
"Ibu mendengar laporan dari Bu Anja kalau hari sabtu lalu kamu sama Alwi kepergok berbuat hal tak senonoh di sekolah ini." Bu Siska mulai mengintrogasi. Guru yang biasa lemah lembut itu mendadak terlihat judes dan menunjukkan taringnya. Dhifa mendadak takut.
"Maksud ibu apa?" Dhifa malah balik bertanya. Kosakata Bu Siska sungguh negatif.
"Assalamualaikum" Terdengar suara Alwi menginterupsi.
"Waalaikumsalam, akhirnya kamu juga datang." Bu Siska mengalihkan pandangannya ke arah Alwi lalu mempersilakan juara olimpiade fisika itu duduk.
Barusan Alwi yang baru dua menit berada di kelas mendapat panggilan.
"Bu Anja memergoki kalian berpelukan. Ingat ini lingkungan sekolah. Kamu itu idola remaja Dhifa, sebagai public figure seharusnya mampu menjaga sikap. Alwi juga kamu ini murid teladan harus memberikan contoh yang baik. Nilai moral itu lebih penting daripada nilai akademik kamu. Ibu pastikan beasiswa kamu dicabut jika sekali lagi kamu berurusan dengan BP!" Bu Siska memberikan ancaman. Tentu saja Alwi kaget.
"Maaf B, Bu Anja sepertinya sudah salah paham. Hari Sabtu lalu saya dan Dhifa memang berduaan tapi masih banyak siswa lain kok di sekolah, lagipula saat itu saya habis latihan. Mungkin Bu Anja perlu dihadirkan agar lebih jelas dan tidak salah paham." Alwi memberikan usulan. Ia harus membela diri.
"Sayangnya Bu Anja sedang MGMP. Dhifa, Alwi ini surat panggilan untuk orang tua kalian, Ibu harap besok mereka bisa kemari. Kita lanjutkan pembicaraan masalah kalian besok saja." Hal yang ditakutkan itu menjadi kenyataan, orangtua mereka harus ke sekolah.
"Baik, Bu." Alwi mengangguk seraya menerima surat dari Bu Siska dengan hati berdebar.
"Sekarang kalian boleh kembali ke kelas masing-masing!" perintahnya.
Bu Siska mempersilakan keduanya keluar.
Dhifa menyembunyikan surat itu. Ia bingung harus bagaimana.
Alwi juga diam. Papanya pasti akan marah besar.
"My Lopelope, perasaan anak-anak kelas XII juga banyak yang suka pacaran di sekolah. Tapi kenapa hanya kita yang dipanggil." Alwi berkata dengan heran. Tidak habis pikir dengan ulah gurunya.
"Ini ga adil buat kita. Mereka banyak yang mojok dan tidak pernah ditegur. Sementara kita, dikit-dikit dipanggil." Dhifa sependapat. Gadis berbando ungu itu menghela nafas panjang. Tidak di sekolah, tidak di rumah mereka selalu mendapat gangguan.
"Wali kelas kamu tuh rese banget sih. Dia iri sama kita. Dia kan Miss Jones." Dhifa memang tak menyukai guru matematikanya.
"Kita berdoa saja semoga semua baik-baik saja." Alwi menggenggam tangan Dhifa berusaha saling menguatkan.
Dhifa selalu suka dengan pembawaan kekasihnya yang selalu tenang. Tidak mudah panik seperti dirinya. Menyikapi semuanya dengan positif.
"Mein Lieblieb, sepertinya untuk saat ini kita harus jaga jarak deh." Dhifa memberikan usulan.
Sebenarnya berat bagi Alwi berjauhan dengan Dhifa. Meskipun tidak benar- benar jauh karena kelas mereka tetanggaan. Apa boleh buat mereka harus jaga jarak sampai masalahnya selesai.
***
Dhifa memegang surat yang tadi diberikan oleh Bu Siska guru BPnya.
Bu Anja, Wakasek kesiswaan yang juga walikelas adiknya itu tidak main-main dengan ancamannya untuk melaporkan mereka ke guru BPnya dan berakhir dengan panggilan kepada orang tuanya terkait masalah hari Sabtu lalu.
Dhifa berjalan dengan ragu mendekati Mama Heni yang tengah sibuk di depan laptop.
"Ma, ini ada surat dari sekolah. Dari BP," ucapnya takut-takut.
Mama Heni langsung mengalihkan perhatiannya.
Dhifa menyerahkan surat panggilan dari BP yang diterimanya tadi siang dengan perasaan agak takut. Tangannya sampai bergetar saat menyerahkan kertas putih yang terlipat itu.
"Kak, kenapa dipanggil ke BP?" Sang Mama menarik nafas panjang lalu membuka surat di tangannya dan segera membacanya . Entah untuk kali ke berapa anak ke duanya itu membuat ulah.
Mendapat panggilan ke BP bukan sesuatu hal yang menggembirakan. Pasti ada sesuatu yang serius.
"Waktu hari Sabtu kakak kepergok lagi berduaan sama Alwi." Dhira, saudari kembarnya tiba-tiba muncul dan memberitahukan alasannya. Ia sudah tahu semua yang dialami kembarannya. Sementara Dhifa tampak santai duduk manis di dekat sang Mama sambil memainkan kukunya. Ia mulai sedikit tenang.
"Ya Allah. Mama ga melarang kamu deket sama cowok tapi kalau sampai pacaran di sekolah itu masalah besar, " Mama Heni menggelengkan kepalanya usai membaca isi surat. Ia mulai resah.
Dua anak kembarnya memiliki perangai yang berbeda. Dhira yang kalem dengan segudang prestasi akademik, penampilannya juga tertutup. Sementara Dhifa yang centil dan sering bertengkar dengan temannya. Dia juga sering bikin ulah baik di rumah maupun sekolah. Boleh dibilang sedikit pembangkang.
"Tapi Dhifa sama Alwi gak ngapa-ngapain kok Ma, Mama percaya deh sama aku. Aku ga pernah sejauh itu." Dhifa mengklarifikasi. Ia tak mau ibunya salah paham dan menuduh yang bukan-buksn.
"Mama percaya sama kamu, tapi tetap saja kamu harus jaga sikap kamu." Mama Heni memperingati. Wanita cantik itu menghela napas panjang.
"Besok Papa yang akan ke sekolah, Mama ada acara ke Anyer jadi ga bisa datang." Sang Mama memberikan putusan.
"Kenapa harus Papa?" Dhifa malas jika Papa Dany harus ke sekolah.
Pasti akan terjadi keributan kalau papanya yang datang.
Seisi ruang guru pasti heboh minta foto bareng atau tanda tangan. Betapa ribetnya memiliki orang tua selebriti. Dhifa heran mengapa makin tua Papanya malah makin terkenal.
"Sabar ya Kak!" Dhira mengusap bahu kakaknya.
***
Bukan sekali dua kali Dhifa berurusan dengan BP. Entah itu karena skandal percintaan dengan Alwi atau gara-gara ribut dengan teman Alwi yang memberikan hinaan kepada kekasihnya.
Dhifa itu cantik, modis dan idola kaum remaja. Tapi kalau sedang marah judesnya ada di level atas. Ia akan menjelma menjadi sosok singa betina yang kelaparan.
Gadis berusia 17 tahun itu kini berada di dalam ruang BP bersama Alwi. Raut wajahnya terlihat tegang.
"Pak Dany silahkan masuk!" Bu Anja yang mengantar Papanya Dhifa mempersilakan dengan hormat. Sejak tadi ia terlihat ramah di hadapan pria yang berprofesi sebagai CEO dan Chef itu. Sungguh berbeda jika berada dekat muridnya.
Papa Dhifa datang terlambat. Seperti biasa macet menjadi alasan.
"Terimakasih," pria bercucu 5 itu mengambil tempat duduk di samping putrinya. Ia berusaha menstabilkan emosinya. Ia merasa malu dengan tingkah putrinya yang tak terpuji.
Di sana ada juga Mama Alwi, Violetta. Wanita dengan rambut pendek itu duduk di samping putra kesayangannya. Ia sempat melemparkan senyuman kepada Papa Dany, mantan bosnya.
"Pak, Bu terimakasih atas kehadiran Anda semua. kami memanggil Anda semua terkait masalah tingkah laku putra dan putri Anda berdua yang cukup meresahkan. Tindakan mereka bisa ditiru siswa lain kalau dibiarkan. Hari Sabtu lalu keduanya berduaan di sekolah dan Bu Anja melihat mereka berpelukan." Bu Siska membuka pembicaraan.
"Iya Bu,Pak benar sekali. Saya mengkhawatirkan mereka takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apalagi diberita TV marak diberitakan penemuan pil KB dan a**************i di dalam tas siswa dan juga toilet." Bu Anja menimpali. Ia menatap Alwi dan Dhifa bergantian. Sebelum beralih kepada Papa Dany dengan tatapan memujanya.
Dhifa dan Alwi mendadak sesak nafas. Kekhawatiran guru mereka berlebihan. Ya Allah yang benar saja secara tidak langsung mereka berdua dituduh sudah berbuat m***m. Mengapa juga Wakasek itu menyinggung alat-a**************i yang belum pernah disentuh. Tahu bentuknya pun tidak.
"Sebaiknya Bapak dan Ibu mengawasi putra putrinya dengan ketat," ucap Bu Anja lagi.
"Kalau boleh saya tahu kejadiannya seperti apa?" tanya Mama Vio penasaran. Ia ingin mendengar sekali lagi penjelasan dari para tersangka.
Papa Dany dan Mama Vio langsung menatap Dhifa dan Alwi.
"Silahkan kalau kalian mau menjelaskan sesuatu!" Bu Siska memberikan kesempatan.
"Kami memang sering berduaan dan pulang bareng, tapi tidak pernah berbuat yang tidak-tidak. Waktu saya memeluk Dhifa itu tidak sengaja karena..., Dhifa mau jatuh." Alwi sedikit berbohong.
"Ingat Alwi, Dhifa kalian itu bukan muhrim. Jaga diri dong jangan sampai bersentuhan." Bu Anja menatap tajam.
"Kami juga tidak pernah ngapa-ngapain. Jadi, Anda semua tidak perlu khawatir. Sebaiknya Bu Siska dan Bu Anja perhatian siswa siswi lain deh, gaya pacaran mereka lebih merisaukan." Dhifa tampak emosi.
"Maafkan tingkah putra putri kami. InsyaAllah saya akan berusaha menindaknya." Papa Dany tampak menyesal. Ia melirik sekilas ke arah putrinya yang diam menduduk. Sepertinya mulai tenang. Ia pun mendadak was-was. Ia dan istrinya harus segera mengintrogasi putrinya. Pergaulan remaja saat ini sungguh mengkhawatirkan. Pengaruh media sosial sungguh luar biasa.
"Iya Bu, saya akan berusaha lebih memperhatikan Alwi." Mama Vio pun turut bicara.
"Kali ini kami tidak akan menghukum kalian, Ingat nasihat kami. " Bu Siska hendak menutup obrolan.
"Kalian boleh kembali ke kelas," ucap Bu Siska lagi.
Setelah pamit dan bersalaman Alwi dan Dhifa hendak kembali ke kelas masing-masing.
"Kalau gitu saya permisi." Papa Dany berdiri hendak pamit.
"Tunggu dulu Pak Dany, bagaimana kalau kita berfoto bersama dulu." Terdengar oleh Dhifa Bu Anja menghalangi kepergian ayah kandungnya.
Papa Dany Hadiwijaya tidak bisa menolak, sebagai seorang public figure ia harus berperilaku sopan dengan menuruti kemauan penggemarnya.
Melihat tingkah mereka Dhifa hanya geleng-geleng kepala.
****
"Bu Anja tuh lebai banget, " gerutu Dhifa. Suasana panas di ruang BP masih terasa. Diberi wejangan oleh guru BP dihadapan orang tua dan bersiap nanti malam mendapatkan bonus lagi adalah hal yang membuat bete.
"Sabar ya Kak, eh tapi bener kan kakak sama Alwi ga macam-macam?" Dhira menatap kembarannya curiga.
"Kamu mau nuduh?" Dhifa tak terima.
"Enggak" Dhira menggeleng.
"Apa jangan-jangan ini alasan Bu Anja aja biar ketemu Papa, masalah kecil dibesar-besarkan." Dhifa mencurigai ada modus dibalik pemanggilan orang tuanya. Siswa siswi lainnya banyak yang pacaran di sekolah tapi kenapa selalu dirinya yang kena hukuman.
"Bisa jadi, sudah lama kan kak Dhifa ga dipanggil BP." Dhira tersenyum jahil.
Dhira dan Dhifa beda kelas namun mereka sering bersama karena kelas mereka bersisian.
"Ih...kamu ada-ada aja sih Dek. Pokoknya aku sebel banget tuh sama si Bu Jones." Kesal Dhifa. Bu Anja itu masih single di usianya yang hampir kepala 4. Bagaimana tidak sulit jodoh, perangainya itu menyebalkan.
"Tadi aja dia caper sama Papa, minta foto berdua lagi. Terus bilang berencana daftar acara master chef musim depan," ujar Dhifa yang sempat mencuri dengar sebelum meninggalkan BP.
"Hah?!!" Dhira tercengang.
Dhifa tahu jika wali kelas adiknya itu fans berat papanya. Setiap bertemu Papanya pasti minta foto bareng. Parahnya Beberapa menit kemudian ia upload di akun instagramnya.
***
Bersambung