Dhifa dan papanya kini tengah berada dalam perjalanan pulang menuju rumah Oma Ratih karena harus menjemput Mama Heni. Kemacetan di sore hari menjadi pemandangan yang biasa untuk mereka. Keduanya tak pernah kesal dengan situasi seperti ini. Selama perjalanan, ayah dan anak itu melakukan aksi diam tak bicara sepatah kata pun. Tak ada celoteh riang khas gadis berumur 17 itu. Papa Dany pun diam karena malas untuk mengomel, ia harus konsentrasi penuh saat di jalanan agar terhindar dari kecelakaan lalu lintas, sementara Dhifa tak terima dengan perlakuan ayahnya yang menyeret paksa dirinya untuk meninggalkan kekasih pujaan hatinya. Hal yang paling mengesalkan adalah sang Papa melakukannya di depan orang lain. Ingatan di cafe tadi masih terus memenuhi kepalanya. Ingin rasanya menangis namun percuma saja karena papanya akan menambah panjang omelannya. Diam adalah pilihan paling tepat. Suasana di dalam mobil mewah itu benar-benar sunyi.
Keduanya baru tiba di rumah Oma Ratih tepat pukul enam sore. Tak lama lagi adzan Maghrib akan segera berkumandang.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Mereka langsung disambut oleh sang Mama yang tengah menunggu jemputan suaminya. Wanita berjilbab kuning itu langsung mendekat untuk menyalami suami dan anaknya.
"Papa kok bisa sama Dhifa? Mana Dhira?" Mama Heni menatap anak dan suaminya satu per satu. Wanita berusi 53 itu tampak heran melihat pemandangan itu, bukankah seharusnya putri keduanya itu ada di rumah.
"Dhira sepertinya sudah di rumah, Papa ketemu anak ini di cafe sedang mojok bersama anaknya Alan. Memalukan." Papa Dany memberikan informasi penting mengenai putri mereka. Pria tampan yang berprofesi sebagai chef itu bicara dengan nada kesalnya.
"Mama pikir kamu sudah di rumah, hari ini tidak ada jadwal ekstra kulikuler atau les, kan?" Wanita beranak empat itu mencoba mengingat jadwal putri cantiknya.
Dhifa diam tak menjawab. Ia sadar dirinya salah karena sering melanggar aturan jam pulang dengan alasan kerja kelompok atau rapat OSIS, alasan klise yang sering dibuat oleh kaum pelajar kepada orang tua mereka.
"Anak Mama tuh bikin ulah terus. Papa pusing!" Pria tampan itu mengadu kepada istrinya.
"Ada apa ini? Dany sudah datang ya, Ayo kita sholat dulu! Habis itu kita makan malam bersama." Oma Ratih datang menghampiri anak cucunya yang terdengar ribut.
"Dhifa kok masih pakai seragam?" Wanita berusia 74 itu menatapnya tajam.
"Biasa, Mi anak jaman sekarang pulang sekolah malah kelayapan bukannya pulang ke rumah, padahal orang tua sedang menunggunya." Papa Dany tampak kecewa dengan ulah putrinya.
Ingi rasanya Dhifa memberikan bantahan, ia dan Alwi jarang keluar bersama kecuali di lingkungan sekolah. Ia juga jarang keluyuran.
"Oh ...wajarlah sekali-kali pergi bareng teman-teman. Lagipula ini kan hari Sabtu. Kamu jangan terlalu keras sama anak kamu, kasihan dia. Coba bayangkan kalau dia jadi ga punya teman atau lebih buruknya lagi susah dapat jodoh." Oma Ratih memberikan pembelaan. Kalimat yang terucap dari wanita tua itu membuat Dhifa senang. Di Duni ini ternyata masih ada yang berpihak kepadanya.
"Bukan begitu Mi, anak gadis tak baik keluyuran tak jelas dengan lawan jenis sampai berdua-duaan, yang ketiganya itu setan. Apalagi mereka ini masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Kalau kepergok gurunya kan yang malu orang tuanya juga. Kalau terjadi sesuatu yang tak diinginkan, orang tua juga yang kesusahan." Papa Dany terlalu berlebih-lebihan dalam menyikapi anak gadisnya yang masih ABG. Sejak dulu pun ia selalu overprotektif terhadap anak-anaknya.
Dhifa enggan memberikan sanggahan apapun. Ia masa bodoh dengan ucapan papanya. Ibaratnya masuk telinga kanan keluar dari telinga kiri.
"Kamu sudah punya pacar, siapa?" Oma Ratih tersenyum, wanita tua yang masih terlihat cantik di usia senjanya itu belum tahu tentang cucunya.
"Iya, udah." Betapa percaya dirinya, Dhifa mengangguk memberi pengakuan. Ia tak ragu lagi mendeklarasikan hubungannya.
"Nanti kenalin ke Oma, ya?" Wanita tua itu malah memberi lampu hijau.
"Dia dekat sama anaknya Alan dan Vio." Mama Heni yang membocorkan. Sebenarnya sang Mama tak pernah melarang Dhifa dekat dengan teman lelaki asalkan dalam batas yang wajar.
"Anak Alan? Temannya Dany?" Tentu saja Oma Ratih tahu.
Mama Heni mengangguk sementara Dhifa tersenyum malu-malu kucing, sang Papa malah menunjukkan aura dinginnya.
"Kamu tidak boleh pacaran! Dalam agama kita juga dilarang. Ga ada yang namanya pacaran. Buang-buang waktu saja dan asal tahu saja, pacaran itu mendekatkan kepada kemaksiatan." Papa Dany memberikan ceramahnya. Ia tak suka anaknya terlibat hubungan asmara lawan jenis yang hanya akan menimbulkan kemudharatan. Gadisnya itu belum cukup umur.
"Sudah, ah mending kita sholat dulu. Kasihan Papi sudah menunggu kita. Habis sholat kita makan malam bersama." Oma Ratih menghentikan perdebatan mereka. Kalau dibiarkan entah kapan selesainya.
"Iya, Oma. Dhifa juga sudah lapar." Dhifa memegang lengan neneknya.
Mereka bergegas ke Mushola untuk sholat berjamaah.
***
Dhifa dan kedua orangtuanya tiba di rumah mereka tepat pukul delapan malam. Kedatangan mereka disambut oleh Dhira dan Nizam, dua adik Dhifa.
"Ya Allah, kalian pergi bertiga ga ajak-ajak." Nizam merasa dianaktirikan. Sejak sore ia menunggu orang tuanya pulang.
"Ga sengaja ketemu. Lagian cuma jemput Mama, ga kemana-mana." Dhifa memberikan penjelasan. Ia tak mau adiknya sampai iri.
"Aku tadi telpon Kak Dhifa juga ga diangkat, padahal cemas banget nunggu kakak pulang, untung Mang Amar bilang katanya kakak pulang bareng Papa." Dhira, kembaran Dhifa menatap kakaknya, ia bernafas lega kembarannya selamat pulang ke rumah.
Papa Dany tak bicara sepatah katapun.
"Kalian sudah makan?" Mama Heni khawatir akan kesehatan anak-anaknya.
"Sudah Ma, tadi adik masak!" Dhira tak pernah kelaparan karena stok makanan di rumah cukup banyak, lagipula ada Nizam yang hobi masak.
"Alhamdulillah kalau gitu Mama istirahat dulu ya." Mama Heni lebih dulu meninggalkan mereka. Ia ingin segera menghapus make up nya.
Sementara Dhifa masih berdiri dekat papanya, ia juga segera berlalu ingin mandi dan berganti pakaian. Sang Papa mengekor dari belakang.
Dhifa melirik sekilas ke arahnya. Papa Dany seolah tak mau melepaskannya begitu saja. Ia belum puas mengomel. Dhifa kenal baik karakter ayahnya yang lebih cerewet dari Mama Heni jika itu menyangkut anak-anaknya.
"Papa harap kejadian tadi sore tak terulang lagi!" Sang Papa memberikan peringatan sebelum Dhifa masuk kamar.
"Pa, kapan sih Dhifa jalan bareng Alwi. Cuma tadi sore saja." Dhifa tak mau terus-menerus mendapatkan tudingan
"Papa sarankan, kamu putusin tuh si Alwi. Belajar dulu yang benar." Papa Dany memberikan perintah. Pria tiga anak itu selalu khawatir dengan pergaulan anak-anak jaman sekarang.
"Enak aja, kok Papa gitu sih. Pa, aku sama Alwi saling mencintai jadi Papa jangan sekali kali berusaha memisahkan kami berdua." Dhifa tak terima.
"Cinta...cinta...tahu apa kamu tentang cinta?" Papa Dany melotot. Betapa susah diatur putrinya yang satu ini berbeda dengan kembarannya yang penurut dan jarang membuat masalah.
"Aku sama Alwi sudah sepakat untuk membina hubungan yang serius, Pa. Kami ingin melanjutkan ke jenjang pertunangan atau pernikahan" ucap Dhifa lantang.
Dhifa berjalan ke dalam kamarnya meninggalkan ayahnya seorang diri dengan perasaan kesal dan sebal.
Sementara ayahnya masih mengorek kuping dengan kelingkingnya, semoga pendengarannya tak bermasalah.
Di dalam kamarnya, Dhifa langsung masuk kamar mandi untuk membersihkan diri, usai berganti pakaian dengan baju tidur, ia tak lagi keluar kamarnya. Dhira, kembarannya pun tak mengganggunya.
Dhifa menenggelamkan diri berselancar di dunia maya setelah panggilan untuk Alwi tak mendapat respon.
***
Minggu pagi merupakan hal yang paling menyenangkan bagi Dhifa. Ia bisa kembali menarik selimut tebalnya usai menjalankan ibadah sholat subuh.
Kira-kira pukul tujuh pagi ia kembali bangun, karena suara ketukan pintu yang mengganggunya.
" Kak, Mama sama Dhira mau pergi ke acara pengajian, barangkali kamu mau ikut?" Mama Heni mengajak Dhifa.
"Enggak, Ma. Hari ini Dhifa kan mau ikut Papa ke lokasi syutingnya." Dhifa baru ingat dirinya sudah punya jadwal khusus.
"Oh, iya. Mama pikir ga jadi. Ya sudah sana, kamu mandi dulu. Anak gadis jam segini baru bangun sih, jangan lupa sarapan!" Sang Mama lantas keluar lagi kamar Dhifa.
Hal yang pertama kali diingat Dhifa bukan mandi atau pun sarapan pagi sesuai perintah ibunya, melainkan cek ponsel, membaca beberapa pesan yang masuk dan membalasnya satu persatu. Ia pun tak lupa untuk menghubungi Alwi.
"Mein Lieblieb, tadi malam mengapa tak memberiku kabar?" Dhifa mengkhawatirkan kekasihnya.
"Maaf, My Lopelope aku ketiduran. Gimana kabar kamu? Papa Dany pasti marah besar ya?" Alwi merasa bersalah. Seandainya saja ia tak menuruti keinginan Dhifa mungkin kejadiannya tak seperti ini.
"Ya gitu deh. Biarin saja. Lagipula marahnya juga cuma sebentar." Dhifa tak dapat menjelaskan secara detail. Sebisa mungkin gadis bertubuh tinggi langsing itu tak menceritakan apapun. Ia masih ingin melanjutkan tali kasih bersama sang pujaan hati. Dhifa tahu betul jika Alwi itu sosok melankolis. Jika banyak yang menentang ia pasti mundur, hubungan mereka dapat bertahan selama ini karena perjuangan Dhifa.
"Terus kamu sendiri gimana, dimarahin Papa?" Gadis berpiyama Doraemon itu ingin memastikan jika kekasihnya itu baik-baik saja.
"Enggak lah kan ada Mama." Alwi selalu mendapatkan perlindungan.
"Alhamdulillah, kalau tidak apa-apa." Dhifa bernafas lega.
"Tapi, aku dihukum. Besok harus ke bengkel bantu cuci mobil pelanggan." Alwi terkadang mendapatkan hukuman fisik jika melakukan pelanggaran-pelanggaran berat, salah satunya kejadian kemarin. Apalagi jika Bu Anja benar-benar merealisasikan ancamannya.
Dhifa merasa sedih, mengapa hubungan mereka itu banyak yang menentang.
"Kamu yang sabar ya!" Dhifa turut prihatin atas apa yang terjadi.
Seharusnya Papa Alan dilaporkan ke Komnas perlindungan anak.
Ngomong-ngomong hari ini, ia pun harus berbaikan dengan papanya meski hatinya masih kesal. Mereka akan syuting bersama di acara kuliner yang dibawakan oleh papanya, mustahil menunjukkan aura permusuhan.
****
Bersambung