Empat

1022 Words
Dhifa telah berada di rumah sejak lima belas menit yang lalu. Ia tak berani terlambat pulang karena takut kena omel Papa Dany. Urusan panggilan BP tadi pagi saja belum seratus persen tuntas. Ia tak ingin menambah masalah yang berujung pemblokiran semua fasilitas keuangannya. Bagaimana nasibnya nanti kalau ia tanpa kartu-kartu ajaibnya. Mama Heni tak akan membelanya. Sudah dipastikan ia seratus persen akan mendukung papanya. Gadis itu kini bergabung dengan Nizam, adiknya diruang tengah. Pemuda tampan bertubuh subur itu sejak pukul sebelas berada di rumah karena gurunya ada Rapat sehingga kegiatan belajar dilanjutkan di rumah. "Tumben Kakak pulang siang?" Nizam, adik bungsunya memberikan tatapan penuh tanya. Ia merasa heran dengan sang kakak yang sudah di rumah, padahal Dhira, kakaknya yang lain belum pulang. Ini merupakan hal yang langka. "Lagi ga enak badan. Lagipula ga ada kegiatan ekskul." Dhifa beralasan. Gadis yang selalu tampil dengan aksesoris di rambutnya itu lalu duduk di sofa dekat Nizam. Membuka permen lollipopnya dan mengulumnya. Ia enggan bercerita banyak tentang masalahnya kepada ABG bertubuh gemuk itu. Nizam lumayan cerewet dan Dhifa tak ingin meladeninya. Bisa panjang lebar seperti wartawan jika ia menjelaskan semuanya. "Oh...pantesan. Istirahat dong Kak, kalau lagi sakit." ABG berumur 14 tahun itu memberikan saran. Ia khawatir kakaknya yang kurus, jadi semakin kurus. "Bukan sakit, tapi tak enak badan. Artinya beda lho." Dhifa menegaskan agar Nizam tak salah paham. Kondisinya badannya baik-baik saja hanya hatinya saja yang tidak baik. Rasa kesal dan dongkol menyelimuti hatinya. "Nanti aku bikinkan sup ya," Nizam sok perhatian. Ia tak ingin kakaknya sampai jatuh sakit. Menurut berbagai informasi yang terpercaya oleh semua kalangan makanan sehat bisa mempercepat penyembuhan penyakit. "Thanks Adik, ga usah repot-repot. Aku baik-baik saja." Dhifa lalu berdiri segera meninggalkan adiknya untuk menuju kamarnya. Ia harus segera mandi dan berganti pakaian sebelum papa dan mamanya pulang. Ia yakin akan ada omelan dan interogasi jilid ke dua. "Ya udah kalau ga mau." seru Nizam ia tak akan memaksa. Tawaran yang diajukan itu hanyalah alasan agar ia bisa membajak dapur. Memasak adalah hobinya. Sebagai informasi dia merupakan juara master chef junior. Keahliannya diturunkan dari ayah dan ibunya. *** Usai sholat Maghrib berjamaah, Dhifa ditahan oleh Papa Dany dan Mama Heni. " Nizam, Dhira kalian boleh keluar dan kamu Dhifa tolong tetap di sini. Papa ingin bicara." Papa Dany memberikan perintahnya. Ketiga anaknya pun menurut. Di mushola itu menyisakan tiga orang. Akhirnya apa yang ditakutkan Dhifa menjadi kenyataan. Ia kembali mendapat panggilan khusus. "Papa bingung harus bagaimana menyikapi kamu. Apa-apaan sih sampai pacaran di sekolah. Pikirkan sekolah kamu, lihat Dhira dia tak pernah berbuat ulah. Dhira juga memiliki segudang prestasi." Papa Dany menatap putrinya. Betapa sulit ia mengatur anak yang satu itu. Dari keempat anaknya, Dhifa lah yang paling bandel. Dhifa duduk di depan ayah dan ibunya. Ia kembali mendapatkan nasihat untuk ke sekian kalinya. Gadis cantik bermata sipit itu sebenarnya sudah malas mendengar rangkaian kata-kata dari ayahnya. Kata-kata mutiara yang langsung membuat hatinya kesal dan kepalanya mengepul. "Aku sama Alwi tuh saling mencintai. Kami juga sepakat menikah setelah lulus nanti."Dhifa memberikan alasan sekaligus menyatakan rencana masa depannya. "Menikah?" Mama Heni melotot sambil menutup matanya. Ia tak mengira anak gadisnya itu sudah berpikiran sejauh itu. Ini benar-benar tak pernah ada dalam pikirannya. "Iya." Dhifa mengangguk. Ia bercita-cita ingin menikah di usia muda mengikuti jejak kakaknya, Natasya. Ia tak sabar ingin bersatu tanpa ada halangan. "Kamu pikir menikah itu gampang? Kamu masih sekolah." Papa Dany pun terkejut bukan main. Anak gadisnya yang belum memiliki kecakapan apapun berencana sejauh itu. "Kak, Kakak kenapa sih sampai berpikir sejauh itu? Dulu saja waktu kak Tasya menjalankan nikah muda, Mama sama Papa tuh sampai pusing. Semua biaya keuangan kami yang mensubsidi, selain itu waktu hamil juga merepotkan keluarga. Mama ga mau kalau kamu mengikuti jejak Kak Tasya." Mama Heni tak setuju. Saat sedang marah, tak ada lagi panggilan sayang "kakak" untuknya. "Kalau Mama dan Papa sayang sama Dhifa, kasih restu dong! Dhifa tak mau berbuat dosa. Papa bilang jangan pacaran. Ya sudah Dhifa mau nikah saja." Dhifa tak akan menyerah. Ia harus bisa meyakinkan orang tuanya. "Lupakan niat konyol kamu. Tadi tuh Papa malu banget dipanggil ke BP sama guru kamu." Papa Dany kembali mengungkit masalah tadi siang. Dhifa terdiam. Mama Heni pun ikut Diam karena ia tak bisa melakukan pembelaan atau pun menyudutkan putrinya. "Kamu seharusnya menjaga nama baik keluarga. Papa harap setelah ini tak akan ada lagi panggilan dari BP." Pria yang masih terlihat muda itu mengakhiri wejangannya. Ia berdiri meninggalkan anak gadis dan istrinya. "Kamu dengerin kata-kata Papa, ya, Sayang. Ini demi kebaikan kamu." Mama Heni memeluk putri ke duanya. *** "Sebel ..sebel...sebel...!"Dhifa berjalan hilir mudik di kamar adiknya mengungkapkan segudang kekesalan yang menumpuk di dadanya. Mendapatkan sejumlah wejangan dari ayahnya, membuatnya kesal. "Kenapa sih, Kak? Kak Dhifa kok bete banget kayanya." Dhira yang baru selesai tadarus Al-Qur'an menatap kembarannya. "Sebel sama Papa," ucapnya dengan nada kesal. "Memangnya kenapa lagi?" Dhira pikir masalah kakaknya telah usai. "Papa marah." Dhifa mengerucutkan bibirnya. Rasa sebal tercetak jelas di wajahnya. "Sudah Kak,nanti juga Papa baikan lagi. Kata-katanya jangan dimasukkan ke dalam hati." Dhira mencoba menenangkan kakaknya yang tengah dilanda emosi. "Aku ga terima, Dek!" Dhifa malah menangis, menumpahkan amarah yang berkecamuk di dadanya. "Ngomong-ngomong Papa bilang apa?" Dhira ingin tahu lebih jauh, mengapa Dhifa semarah itu. "Papa nyuruh aku putusin Alwi. Itu ga mungkin banget. Aku cinta Alwi." Dhifa memasang tampang sedihnya. Ia tak ingin mengikuti apa perintah sang papa yang dinilainya berlebihan. Putus merupakan satu kata yang haram hukumnya. "Memangnya kakak serius cinta sama Alwi." Dhira menatap kakak kembarnya. Ia tetap meragukan saudari kembarnya menjalin hubungan dengan Alwi. "Iya, dua rius malah. Kamu sih ga pernah jatuh cinta jadi tak tahu bagaimana rasanya." Dhifa mengungkapkan perasaannya yang begitu besar. Bayangkan saja mereka sudah saling tertarik dari SMP, berteman sejak balita dan selalu satu sekolah sejak TK, bukan hal mudah jika harus mengakhiri segalanya. Mendengar kata cinta, Dhira jadi ingat dirinya sendiri yang tengah jatuh cinta. Tak seorangpun yang tahu bahwa gadis yang selalu berpenampilan tertutup itu tengah tertarik pada lawan jenis. Pertemuan dengan seorang pemuda tampan membuat hatinya berbunga-bunga. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD