2

1059 Words
Delshad membaringkan tubuhnya di kasur berukuran sedang tampan ranjang. Kasur ala-ala anak kosan, yang hanya akan di bentak saat ia hendak tidur. Ini menyesuaikan dengan kosan yang berukuran kecil. Delshad menatap langit-langit lisannya. “Astagfirullah, sampai lupa ngasih buku notenya.” Delshad menepuk jidatnya pelan, lalu meraih tasnya dan mengambil note book bersampul hitam dan putih itu. Delshad kembali merebahkan tubuhnya di kasur, dan teringat kejadian di perpustakaan tadi, betapa hanya dengan stau teguran darinya sudah membuat Delshad membeku seperti tadi. “Kalo gitu, ana mau ke kelas, ya Giff. Bentar lagi kelas di mulai.” Delshad membereskan semua barangnya, lalu bangkit sembari menenteng tas punggung berukuran sedang di punggung. “Delshad. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam,” Giffari yang menyahut duluan, karena Delshad malah diam membiru. Delshad terkejut lantaran gadis berjilbab lebar dan gamis panjang berwarna peach berada di depannya, tepatnya di sebelah rak buku. Setelah sadar dari terkejutannya, Delshad baru bersuara menjawab salam gadis itu, namun suaranya nyaris tertelan sendiri. “Hem. Mau ke kelas? “tanya gadis itu. Delshad yang sejak tadi mengheningkan cipta refleks mengangkat kepalanya karena pertanyaan yang Affifah—gadis itu lontarkan. Entah kenapa jantung Delshad berdegup dengan sangat cepat. Salah satu alasan kenapa Delshad selalu menghindari Affifah. Delshad ingin jantung tetap sehat, ia tidak ingin menderita penyakit jantung sejak dini. Ia masih muda, dan masih ingin tetap kuliah. “Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga, Shad. Dari tadi kami carian kamu.” Azzura muncul, memecah hening. Azzura muncul dari balik rak buku. Gadis itu nampak baru saja mengembalikan beberapa buku. “Ada Giffari juga? Lagi baca Giff? “ sapa Azzura Giffari tersenyum lalu berjalan mendekati Delshad. Affifah melempar senyum tipis sekilas pada Giffari sebagai bentuk keramahan, lalu kembali menunduk. “Lagi ada masalah Zur ?”tanya Giffari, peduli. Azzura menggeleng. “Aku sama Affifah tadi gak sengaja ketemu di depan fakultas. Dia nanyai Delshad. Aku pikir kalian ada di musholah fakultas makanya aku anterin Afiffah. Gak tahunya kalian ada di sini.” “Oh gitu.” Giffari menoleh pada Delshad yang sejak tadi benar-benar mematung. Giffari baru ingat mengenai gadis bernama ‘Afiffah'. Sepertinya Delshad benar-benar menaruh hati pada gadis itu. Ia terlihat grogi sekali. “Hem. Ada apa cari saya? “ Akhirnya Delshad bersuara. Affifah terlihat ragu mengatakan kalimatnya. Delshad menunggu dalam diam. Sesekali ia melirik jam tangannya, tinggal beberapa menit lagi, jam kuliah di mulai. “Kalo kamu sekarang lagi buru-buru, gak papa kok. Mungkin lain kali aja.” “Hem.” Delshad jadi bingung. “Kakak, kakak Affifah.... “ teriakan itu mengundang semua mata tertuju pada gadis remaja memakai seragam abu-abu ber-rok panjang dan jilbab putih segi empat serta terlihat di punggungnya tas berukuran sedang berwarna pink. Bukan hanya Affifah yang menoleh melainkan, semua mata di perpus menyoroti gadis remaja itu, seolah berkata dalam diam, ‘harap tenang’. Slogan paling kramat di perpustakaan. Jika ada yang melanggar maka harus siap-siap di keluarkan dari pepus baik secara terhormat atau langsung di usir oleh satpam. “Oops. Maaf.... “ kata gadis itu, tidak terdengar seperti penyesalan. Namanya Arumi. Adik Affifah dan hater nomor satu Delshad. Gadis remaja yang sekarang duduk di tingkat akhir SMA ini bahkan tidak segan-segan mengkritik Delsahad secara langsung. Bahkan pernah saat Delshad sedang menyampaikan pidato di atas mimbar. “Huft... “ refleks Delshad menghela nafas panjang, jika mengingat semua itu. Diam-diam Afifah memperhatikan hal itu. Rasa bersalahnya pada Delshad semakin menumpuk. Lagi-lagi ini karena Aarum —adiknya. “Kak, Aarum tunggu di luar ya... “ kata Aarum dengan isyarat bibir. Lalu Aarum menghilang dari ambang pintu perpustakaan. Aarum tidak suka membaca, jelas baginya perpus hal membosankan, ia lebih baik menunggu di luar. “Maaf. Karena kesalahan Aarum. Kamu jadi harus mengerjakan tugas kamu lagi.” Setelah mengumpulkan keberaniannya, Affifah akhirnya berhasil mengatakan tujuannya mencari Delshad. “Tidak masalah kok. Saya sudah membuatnya lagi. “ “Oh, ya Allah... syukurlah... “ Affifah menghela nafas lega. Lalu gadis itu menggandeng tangan Azzura. “Terima kasih ya Zur, udha bantuin aku.” “Kalo gitu, saya pamit ya, Giff, Shad,” pamit Affifah, lalu keduanya menghilang dari pandangan. Hati Delshad sedikit kecewa. Tapi sudahlah... itu tidak terlalu penting. Urusan hati terkadang seaneh ini. “Giff, ana langsung pergi ke kelas ya, Assalamualaikum.” “Iya, Waalaikumsalam.” Delshad berjalan cepat menuju kelas. Lima menit lagi waktu yang tersisa. “STOOP! “ “Aarumi. Ada apa lagi sih? Saya harus ke kelas sekarang. “ “Kalo kata Arrum stop, ya stop, gitu aja susah sih !” “Astagfirullah, nih anak... terus kenapa saya harus stop ?” “Hem. Jangan panggil saya anak kecil paman.” “Paman? “ Apa dia setua itu hingga di panggil paman? “Idiih baper banget sih. Itu quote kartun. Ketahuan nih, gak pernah kecil ya kan, iyakan? “ “Astagfirullah... “ Delshad mengelus-ngelus dadamya. Mencoba bertahan untuk tidak marah. “Kenapa shock ya liat kecantikan saya? Saya tahu, tapi ingat ya, jaga mata, gak boleh liatin saya. Itu dosa tahu!” “Terserah kamu aja deh. Saya mau ke kelas sekarang.” “Et, gak bisa. “Aarum membentangkan tangannya, lebar. Menutup semua akses jalan Delshad. “Terus kamu maunya apa sih ? “ Akhirnya Delshad kembali mengajukan pertanyaan ini. Delshad sudah siap dengan resikonya. Aarumi pasti akan meminta hal aneh, sama seperti tadi ia menghapus file tugasnya. Aarumi tersenyum lebar. Senyum yang mengerikan bagi Delshad. “Saya cuman mau kasih ini. “ Aarumi menyodorkan sebatang cokelat. Persekian detik Delshad tidak percaya, ia mengerjap-ngerjap mata menatap cokelat itu. Lalu setengah sadar, ia menerima pemberian Aarumi sembari terus berpikir membuang pikiran buruk mengira ini jebakan atau prank Aarumi. Tidak ada.... Delshad aman. “Oke, terima kasih Aarumi.” “Ha? Kamu tahu nama saya juga? Saya pikir kamu cuman tahu nama Kakak saya ?” Delshad tersentak. Apa yang sedang Aarumii katakan? “Masak bodoh deh, yang penting saya udah minta maaf dan kasih cokelat. Berarti kasus ini selesai, “ kata Aarumi. “Sudah saya duga, pasti kamu ngelakuin ini bukan karena tulus dari hati.” “Emang mesti banget ya pake hati? Entar kalo saya baper Bung mau tanggung jawab?” “Ha? “ “Jangan lupa tinggalkan saya satu potong cokelat ya, Bung... setidaknya saya bisa ngerasin uang saku saya satu bulan. Cokelat itu mahal loh, Bung. “ Teriak Aarumi yang sekarang berjalan menuju taman. Delshad menggeleng, geli. “Dasar teeniger...” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD