(Pov Delshad)
Menjadi orang yang perasa sangat sulit, terutama di zaman yang terlalu bebas ini. Semua orang bebas mengatakan apa yang mereka inginkan, tanpa peduli ada hati yang sedang hancur. Tidak peduli bahwa setiap huruf yang mereka ucapkan terlalu tajam menghunus orang yang hanya bisa tersenyum kaku di ujung meja.
Mereka bilang, makanya jadi orang jangan ‘baperan’, memangnya saat penciptaan benas memilih menjadi manusia ‘baperan’ atau cuek? Jika semua ini semudah mengunduh aplikasi di ponsel, tentunya aku akan jadi orang pertama yang akan mengunduhnya.
Aku tidak akan mengunduh satu aplikasi, aku akan mengunduh lima atau sepuluh, semuanya. Agar hatiku bisa sedingin dan sekokoh mereka. Saat ada kata-kata yang menujam, kata-kata itu hanya akan mental di perisai terluar hatiku, tidak akan bisa mendekat sejengkal pun pada hati utama.
Aku juga akan sebebas mereka, mengatakan ini-itu tanpa peduli bahwa perkataan itu menyakitkan. Tidak peduli, siapa orang yang akan menangis diam-diam setelahnya. Tidak peduli, ada tangan yang terangkat mengaduh pada sang penciptanya. Aku tidak tahu akan sehancur apa dunia.
Beruntungnya aplikasi semacam itu tidak akan pernah ada. Jika ada, manusia akan berubah bak sebongkah jasad yang tidak lebih dari peti es. Dingin dan mematikan.
Aku menghela napas panjang, merasakan rasa tidak nyaman yang langsung menyambutku, begitu aku membuka mata. Ya ... seperti biasa, aku terbangun dengan seluruh tubuh yang terasa sakit dan juga kepala yang berdenyut kencang. Aku tidak pernah bangun dengan perasaan sebaik ini, ya ... ini jauh lebih baik dari lima bulan kemarin.
Setidaknya deretan peristiwa masa lalu itu tidak lagi terlalu menyiksaku, atau mungkin ... tidak punya waktu untuk menyakitkanku, karena sekarang ... aku ‘terlampau’ sangat sibuk. Selain kembali bergabung dalam yayasan yang Azzura buat, rumah Kreativitas, aku juga sibuk dengan organisasi AFM, Aspirasi Mahasiswa, yang menaungi banyak aktivis di dalamnya. Aku bergabung di organisasi ini sebagai saran dari dokter Farel, psikologku, yang berguna mengalihkanku dari terus-terusan teringat masa lalu, nampaknya itu berhasil. Aku benar-benar ‘teralihkan’ dari semua itu, bahkan kuliahku nyaris berantakan, lantaran terlalu banyak kegiatan.
"Hari sudah pagi, mari memulai ini ...." gumamku akhirnya, setelah hampir dua puluh menit termenung duduk diam, menatap sekeliling kos yang hanya berukuran 4 x 4 meter, tidak ada yang berubah dari kos berwarna cream ini, hanya aku yang merasa asing karena jarang sekali berada di kos.
Aku bangkit setelah selesai dengan isi kepala yang melalang buana, memikirkan banyak hal yang bahkan tidak aku pahami. Kemudian bergegas ke kamar mandi sebelum jarum jam kembali bergeser lagi.
Jam kecil yang tergantung dinding kosku, masih menunjukkan pukul empat dini hari. Sebenarnya ini terhitung telat menurut jam-ku. Biasanya aku bangun pukul tiga dini hari, agar bisa lebih santai menunaikan empat rakaat salat tahajud dan juga murojaah beberapa hafalan Al-Quran-ku yang kini jarang kulantunkan.
Namun, akhir-akhir ini, jadwal tidurku tidak teratur, aku bisa tidur pukul sebelas, dua belas atau pukul satu dini hari, semua semata-mata karena kesibukanku sebagai anggota termuda di organisasi AFM dan semalam lagi-lagi, aku begadang menyelesaikan proposal dana untuk kegiatan yang akan di selenggarakan AFM, minggu depan.
"Ya Allah ...." Aku refleks mendengus begitu langkahku melewati kaca berdiri, yang sengaja aku letakkan di sudut kanan kamar, agar jarang melihat pantulan diriku yang sekarang jauh terlihat lebih seperti orang sakit, ketimbang dulu saat aku benar-benar masih sakit. Mataku layu dan tubuhku terlihat seperti tulang yang dibalut kulit, aku banyak kehilangan berat badan lantara habit buruk, begadang. Sekarang aku terlihat seperti mayat hidup.
Lamunanku berakhir begitu suara dering ponsel yang berada di atas nakas, memecah hening yang ada.
Ada panggilan masuk dari Giffari.
"Assalamuaikum, ada apa—"
"Akhirnya diangkat juga !" sela Gifari dari seberang sana, sama sekali tidak memberi jeda bagiku untuk merampungkan kalimat tanya.
"Astagfirullah ... antum buat ana cemas hampir semalaman ini ! ana jadi sampe lupa ngucapin salam ....”
"Assalamualikum ...," ulangnya cepat. Aku langsung membalas salam, meski tadi aku duluan yang mengucap salam.
"Dari semalam ana neleponi antum, tapi gak di angkat. Astagfirullah, ana pikir antum kenapa-kenapa ...," timpal Giffari dengan logat ala-ala Timur Tengah yang sekarang tidak terlalu jelas pada suaranya.
"Memangnya ada apa?" tanyaku.
"Semalam, itu adik dari siapa ... nama temen antum, yang itu loh, yang pernah ngajak adiknya ke perpus kampus."
Aku diam sejenak, bukan berpikir atau bingung, aku sudah tahu jawabannya, begitu Giffari mengatakan kata adik, hanya saja aku sedang menebak kali ini apa lagi ulah remaja itu.
"Siapa namanya?" tanya Giffari lagi.
"Adiknya Affifah, Arumi."
"Nah iya itu ... dia semalam datang ke kosan, terus dia buat heboh satu kosan nyariin antum ...."
Aku menghela napas panjang, tidak heran dengan semua tingkah nyeleni Aarumi, hanya saja ... mengapa dia selalu menyeretku dalam setiap ulahnya itu ?
"Gara-gara dia, Azzura jadi begadang, dia gak mau pulang sebelum ketemu antum. Ana udah bilang, kalo antum udah lama pindah kos. Tapi dia gak percaya."
"Terus di mana dia sekarang?” tanyaku, tidak penasaran, tapi ingin tahu.
Giffari di seberang sana tidak langsung menjawab, yang terdengar menghela napas panjang, sebelum kembali bersuara.
"Ana gak tahu sih gimana kelanjutannya ... tapi, hem, ana mau tanya sama antum, kenapa coba dia cariin antum ... " Giffari kembali berdeham pelan. Sebenarnya apa yang ingin Giffari katakan ... kenapa dia terdengar sangat ragu?
"Ana tahu antum gak mungkin pacaran. Ana yakin, antum memegang teguh prinsip, jomblo sampai halal ... Tapi setahu ana dia masih anak SMA. Antum gak takut dibilang—“
"Astagfirullah ..." sahutku cepat, sebelum Giffari makin berpikir yang macam-macam. "Ana gak ada hubungan apa-apa sama Aarumi. Boro-boro mau nikah sama dia."
"Oh ana pikir—“
"Udah jangan dipikir."
"Terus, kenapa Aarumi nyariin antum ? Nyarinya ngotot banget lagi, kayak cewek yang maksa buat dinikahi—“
“Astagfirullah, antum ...,” potong lagi. Giffari terkekeh di seberang sana, sepertinya karena berhasil mengodaku.
“Oh iya, antum kuliah ‘kan hari ini ?”
“Iya, kan kita hari ini persentasi.”
“Kirain antum lupa, gara-gara sibuk organisasi.”
Aku sedikit tertohok dengan kata-kata Giffari barusan, bukan tersinggung, tapi malu, pasalnya apa yang Giffari katakan memang benar adanya. Pekan kemarin karena terlalu banyak kegiatan di AFM, aku sampai lupa akan tugas persentasi, beruntung Giffari, Azzura dan Aaris bisa meng-handal tugas itu, dan menyelamatkan nilaiku yang bisa saja kembali jeblok karena masalah itu.
"Eh, itu ada suara Aarumi. Kayaknya dia nginep di kosan Azzura,” ujar Giffari tiba-tiba.
“Tuh anak ngapain sih ...," gumamku tanpa sadar, yang langsung Giffari sahuti.
“Nah, itu yang ana tanyai dari tadi. Sebenarnya ada apa sih, kenapa dia nyariin antum ?”
**