1

1706 Words
“Sudah di putuskan berdasarkan voting suara, Faiz mendapat suara lebih unggul dari Asyifa. Dengan ini dinyatakan Faiz sebagai ketua umum.” Palu di ketuk. Tim sukses bersorak girang. Delshad ikut bertepuk tangan di sudut tempat anggota perwakilan di datangkan. Delshad senang di sana ia bisa bertemu orang-orang baru yang menurutnya sangat mengagumkan. Delshad melihat bagaimana, Asyifa selaku kandidat yang kalah, tetap tersenyum, berbesar hati dan memberi selamat pada rekan sejawatnya yang telah memenangkan hati banyak anggota hingga percaya menitipkan jabatan pada pria keturunan Jawa-Batak itu, sebagai ketua umum. “Selamat dan semoga amanah,” kata gadis itu sembari tersenyum manis, menangkupkan tangannya di depan da*da memberi salam pada Faiz. Faiz mengangguk dan menggempal tangannya ke udara. “JAYA AFM!” “Jaya!” “Jaya! “ “Jaya !” Sahut yang lain bersamaan. Itu merupakan slogan dari AFM (Aktivis freedom Mahasiswa). “Aamiin.” Sayup-sayup berbeda dari yang lain. Dua manusia terdengar lirih meng ‘aamiin' slogan itu. Delshad tercenung ternyata ia satu suara dengan kakak seniornya itu. Berbeda dari yang lain. “Kak Asyifa, baik banget ya...sayang beliau gak ke pilih jadi ketua umum (ketum).” Delshad mendengar percakapan mahasiswi yang duduk di belakangnya. “Iya, beliau udah cantik fisik, cantik pula hatinya. Iner beuty plus cantik.” Mata Delshad tanpa sadar melirik ke arah kakak seniornya itu. Memang cantik, perawakan wanita blasteran Arab-Indonesia, berkulit putih sedang, tatapan mata sayup dan bibir pink alami tanpa polesan lipstik, Asyifa terkenal paling anti dengan make up, Delshad mmengetahui itu saat tidak sengaja mendengar teman sejawatnya bercerita mengenai senior yang paling banyak menarik perhatian kaum Ikhwan bukan hanya seangkatan dengannya tapi juga para junior yang jauh di bawahnya, mengenai fakta itu. Dan selama makrab (malam akrab) sekali pun, Asyifa tidak pernah terlihat menggunakan make up apa pun di wajahnya. Ia cantik alami. Asyifa terlihat pamit dari ruangan itu. ‘Astagfirullah' Delshad berdecak atas ke khilafannya itu, buru-buru Delshad membuang pandangan ke sembarang arah sebelum tatapannya itu berujung menjadi Zina mata. Rasulullah bersabda, ''Hai Ali! Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya. Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun yang berikutnya tidak boleh''. (HR Ahmad, Abu Daud dan Turmidzi). “Eh, Lo anak Mahasiswa kampus hijau dekat sana kan?” Seorang pemuda beralameter berwarna crem menghampiri Delshad. “Iya,” sahut Delshad ramah, tanpa peduli alameter yang pria itu gunakan berbeda dengan alamater biru yang ia kenakan. Mereka memang berbeda kampus, tapi mereka sudah bersatu dalam AFM, itu artinya mereka satu mereka sudah menjadi satu keluarga terlepas dari mana kampus mereka berasal. “Tuh kan bener.” Pria itu langsung duduk bersila di sebelah Delshad, mengeser sedikit orang yang duluan duduk di sana. “Maaf ya, Bro. Geser dikit, mau ngobrol sama teman lama, udah lama gak ketemu,” katanya ramah. Ia duduk di sebelah Delshad dan kembali melihat almamater yang Delshad gunakan, setelah yakin akan satu hal, pria berambut gondrong yang di kuncir satu—khas anak-anak aktivis, barulah ia membuka mulutnya. “Makrab pekan kemarin, ada anak dari kampus Lo yang gak sengaja ninggalin buku notenya. Gue cuman mau baliki buku ini, btw gue belum minta izin sama pemilik buku ini, tapi kemarin gue, mendadak di suruh orosi, gue gak punya bahan, terus gue gak sengaja baca pidato di note ini, makanya gue pake aja.” Delshad hanya menganggut-manggut, mengerti tapi belum tahu arah pembicaraan pemuda ini. Ia ingin mengembalikan buku mahasiswa di kampus tempatnya lalu... “Lo beneran mahasiswa kampus hijau itu kan? “tanya sekali lagi. “Iya.” “Bagus kalo gitu.” Akhirnya pemuda itu menyerahkan buku note pada Delshad. “Lo kenal gak sama yang punya buku note ini gak?” Delshad membuka lembar buku note itu, hanya formalitas. Nyatanya tanpa membuka buku itu, Delshad sudah tahu buku itu milik siapa, hanya melihat dari cover depan buku itu yang berwarna hitam dan bercak putih di sisi kanan dan kirinya. Buku itu milik seseorang gadis yang diam-diam menarik perhatian Delshad. Afiffah. “Ini buku milik teman seangkatan saya.” “Oh bagus kalo gitu. Btw emang dia semester berapa?” “Semester empat.” “Oh... “ Pemuda itu mengangguk pelan. “Berarti junior gue ya. Berarti kalian baru juga gabung di AFM ya? “ “Iya Bang, baru satu tahun yang lalu perwakilan kampus.” Delshad langsung mengubah panggilannya menjadi abang setelah tahu ternyata beliau senior nya. “Wah salut... Biar pun baru, tapi orasi tuh cewel keren banget. Gue pikir dia seangkatan kak Asyifa atau minimal seangkatan gue lah. Teks orasinya udah mateng banget plus berapi-api banget. Gila sih....” pemuda itu bercak kagum, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya antara takjub dan tidak habis pikir. “Kapan-kapan gue pengen deh ketemu sama tuh cewek.” Delshad hanya tersenyum kecil, respon menghormati perkataan yang seniornya ucapkan. “Oh iya, nama Lo siapa? “ “Delshad bang.” “Oh Delshad.” Pemuda itu kembali mengangguk kali ini seperti mencoba untuk mengingat nama Delshad. “Di antara junior yang lain, Lo yang paling bersinar, tampang Lo kayak anak baik-baik yang kalam dan polos,” tuturnya tiba-tiba. “Bukan gue yang bilang, tapi temen cewek seangkatan gue yang dari tadi sibuk bisik-bisik ngomong Lo.” Pemuda itu tertawa pelan. Delshad tersenyum kecil. Kenapa setiap kali orang bertemu dengan orang selalu saja orang melebeli dia dengan cap ‘polos’, ‘lugu' padahal jauh dari itu, ia bukanlah kertas putih yang polos, mereka hanya tidak melihat bagian lain dari kertas itu. “Btw, gue ke sana dulu ya. Okey see you again junior... “ pemuda itu langsung bangkit, meninggalkan Delshad yang tersenyum kecil mengiringi kepergian pemuda tadi. Delshad baru menyadari ternyata sendiri tadi beberapa mahasiswi yang berada di depan bagian kiri, mencuri pandang ke arahnya. “Antum mah emang gak peka, kalo ada yang suka sama antum,” Kalimat Giffari kembali berbunyi dalam kepala Delshad. Delshad memberanikan diri, menoleh ke arah sana. Mahasiswi yang sepertinya setingkat di atas Delshad, nampak kaget karena Delshad menoleh tiba-tiba ke arah mereka, tapi mereka salah, Delshad memang menoleh ke sana, tapi matanya kosong menatap yang lain. “Jika mereka tahu, apa dan siapa aku, mungkin mereka akan menarik semua penilaian semu itu,” desis hati Delshad. ** “Masyallah, ukhti Azzura ke sini... ,” sapa Affifah, di sebelahnya berdiri seorang remaja menggunakan seragam MA. Delshad memintanya membantu Azzura, sahabat Delshad. Dengan senang hati Affifah menolong Azzura. Affifah banyak mendengar mengenai perjuangan Azzura dalam membangun rumah kreativitas, Affifah takjud dengan gadis di hadapnya ini. Ia ingin seperti Azzura. Tapi ia tidak akan pernah bisa, ia terlalu gelap untuk bersinar. “Afwan ya, ukhti ke sini pasti karena nyariin saya ya ? Duh saya jadi gak enak.” Gadis itu tersenyum kecil. “Tidak masalah.” “ Delshad udah cerita perihal rumah kreativitas ke ana. Jadi mau ng—“ “Kak, aku capek loh baru pulang sekolah! ” sela Aarumi, yang sejak tadi terlihat merasa keki dan benar-benar lelah. “Hem, maaf...kenali ini adik aku namanya Aarumi.” Afifah dengan rama memperkenalkan adiknya itu. Aarumi beringsut menyalimi tangan Azzura. Azzura sedikit canggung. Terlebih sepertinya usia mereka hanya beda beberapa tahun saja. “Gimana kalo kita bicarannya di rumah ana aja. Rumah ana gak terlalu jauh dari sini.” “Iya teh, ke rumah aja. Biar Aarumi buatin minuman buat Teteh... “ nada suara Aarumi tidak sejudes tadi. Nadanya terdengar sangat lembut, khas logat sunda. “Afwan...” Azzura mengangguk setuju. Mereka lalu berjalan bersama ke rumah Afiffah dan Aarumi yang memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah mereka dengan jalan kaki. “Silahkan masuk teh...,” kata Aarumi, ramah. Gadis itu juga langsung mengandeng tangan Azzura dengan semangat, meninggalkan Afiffah yang berjalan di belakang keduanya. “Kamar Aarumi, ada di lantai atas Teh. Itu tuh....yang pintunya beda sendiri. Warna pink..,” kata Aarumi semangat. “ Aarumi suka banget sama warna pink.” “Dek, tolong bikini Azzura minuman ya... “kata Afiffah. “Oke.. Teteh mau apa? Aarumi bisa bikin teh, kopi, s**u hangat dan hem... cokelat yang paling de best sih, Teh.” “Hem...gak usah repot-repot Aarumi.” “Gak repot kok Teh... ya udah, Aarumi buatin es cokelat ya, Teh...” kata Aarumi. “Teteh juga ya, Rum..,” pinta Afiffah. “Siap Teh...” Aarumi meninggalkan Azzura dan Afiffah di ruang tamu. Keduanya lalu membahas mengenai tujuan Azzura menemui Afiffah. Affifah setuju untuk membantu Azzura. Setelahnya keduanya membahas hal ringan. Mengenai kampus, buku favorit dan banyak hal lainnya, di temani cokelat hangat yang baru saja Aarumi bawa. “Rumah Aarumi sepi ya, Teh. Rumahnya besar tapi sepi kayak kuburan...,” kata Aarumi di sela pembicaraan mereka. “Teh, Azzura sering-sering ke sini ya... biar Aarumi gak kesepian. Di sini cuman ada Aarumi sama teh Afiffah doang....” “Memangnya yang lain kemana? Ibu, ayah....“ tanya Azzura polos. Azzura baru menyadari setelahnya, terlihat perubahan raut wajah Affifah dan Aarumi. “Maaf, hem...kayaknya, topik yang.. hem... Ana gak maksud..” Affifah menggeleng seraya tersenyum kecil. “Mama kami sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dan Papa....” “ Shut up !!! Sh*t,” teriak Aarumi tiba-tiba. Azzura terkejut bukan main mendengar teriakan dan perubahan wajah Aarumi yang tidak seramah tadi. Gadis itu bangkit dari tempat duduknya dengan wajah merah padam. “Aarumi! “ tegur Affifah tegas. “Tolong jaga perkataan mu....” Nada suara Affifah tegas namun lembut, mencoba membujuk adiknya itu. Aarumi memutar bola mata, jengah. “Damn it !!” gumam Aarumi seraya melangkah meninggalkan keduanya. “Aarumi !” tegur Afiffah lagi. “Kenapa lagi?! “ tanya Aarumi, tajam. “Bawa tasmu ke kamar... “ “WHAT! Are you crazy? Me... Owh my god. Orang gila mana yang mau membawa tas berwarna pink itu? Sh*t, I hate pink.” Aarumi pergi begitu saja setelah mengatakan hal itu. Afiffah terlihat menghela nafas panjang. Tidak lama terdengar pintu yang di tutup dengan keras. Bruk “I HATE PINK..... “ suara teriakan Aarumi dari dalam kamar. Azzura terkejut sekaligus kebingungan. Sulit mendeskripsikan semua kebingungan yang Azzura rasakan. Bagaimana bisa orang membenci dan menyukai secara bersamaan? Aarumi suka pink tadi dan sekarang ia benci pink ? “Maafkan Aarumi, Zur. Dia gadis baik yang akan baik lagi,” kata Afiffah, pelan. Azzura mengangguk kaku. Mencoba memaklumi segala yang tidak maklum. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD