Aarumi

3041 Words
Lima bulan sebelumnya, Berjalan tanpa arah, deru kencang nafasku bak obrolan basi yang tidak penting. Dadaku sesak, kepalaku amat sakit, tapi kakiku terus berjalan enggan berhenti. Aku tersenggal, ingin berhenti, bosan melihat semua yang nampak gelap sejauh mata memandang. "Ya Rabb ...." lirihku, entah sudah keberapa kali. Tidak ada yang bisa aku sebut, tidak ada yang bisa aku ajak bicara, hanya Allah lah satu-satunya yang bisa aku panggil, merintih memohon dengan suara pelan yang sudah terlatih jelas. Terlalu banyak kata yang ingin keluar, sayangnya, mulutku keluh, sama tidak berdayanya dengan kepalaku. "Ya Rabb, ampuni hamba ...." Kalimat itulah yang akhirnya meluncur dari bibirku yang menggigil di terpa angin malam yang menusuk. Kemana langkah ini berjalan? Kemana semua ini akan berakhir? Tidak ada secarik cahaya pun yang membantuku berjalan, bulan seperti hilang di telan gelap, bintang enggan menampakan keindahannya ... semua hening, semua sepi. "Ya Rabb...." Langkah kakiku memelan seketika, kali ini bukan suaraku. Suara itu berasal dari balik gedung, sejauh sepuluh meter dari tempatku berdiri, menjulang tinggi, sama murungnya seperti malam, tanpa cahaya dengan semua jendela yang di tutup rapat. Bak gedung, tanpa penghuni. Samar-samar suara itu berganti menjadi suara tangis lirih. Bulu kudukku sama sekali tidak merinding, jelas aku rasakan bahwa itu bukan tangisan makhluk astral atau jin yang mencoba menakut-nakuti. Suara itu milik seorang perempuan yang tengah terluka. Aku terus berjalan, tidak cepat, tidak pula lambat, anehnya meski minim cahaya, kakiku sama sekali tidak membentur atau menyandung apa pun. Entah ini jalan mulus tanpa atribut batu krikil atau langkah kakiku yang amat jago melangkah. Aku tidak terlalu memikirkan itu, perhatianku kini terfokus pada suara tadi yang makin lirih. Dua meter lagi aku sampai, dari jauh aku sudah melihat gadis bertubuh mungil itu duduk, mendekat kedua kakinya, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan membentang di atas kepalanya, sekilas tangannya seperti membentuk silang, menolak siapa saja yang mungkin ingin mendekat. Di malam tanpa bulan, Delshad samar-samar melihat seorang wanita menangis, di sudut gedung, gelap, sunyi, sendiri. "Kamu siapa—" Belum rampung, suaraku tertelan kembali. Suara nyaring langkah kaki berjalan cepat ke arahku, mengalihkan perhatianku, mungkin juga perhatian gadis itu, sesaat gadis itu menghentikan tangisnya. Satu ... Dua... Tiga... Hitungku dalam hati, suara langkah kaki itu makin mendekat, aku refleks mundur, tidak tahu untuk apa. Dari kegelapan malam, muncul seorang gadis berjubah hitam, bercadar hitam, sekilas dia seperti malam yang tengah menjelam menjadi manusia. "Semua akan baik-baik saja ...." Terdengar suaranya, lembut, dalam dan penuh kesedihan, melintas melewatiku yang sepertinya luput dari pandangannya. Begitu cepat, bak angin yang berhembus. "Tidak, semua tidak baik-baik saja," lirih gadis bertubuh mungil itu, mengangkat wajahnya, tetap tidak membiarkan wajahnya diterp secarik cahaya kecil malam ini. "Semua akan baik-baik saya." Gadis bercadar itu kembali mengulangi kalimatnya, kali ini dengan intonasi yang lebih dalam, penuh percaya diri dan sedikit memaksa. "Itu hanya dongeng." "Itu bukan dongeng. Kamu harus percaya. Kita tidak akan mati tenggelam dalam gelapnya malam." "Kamu harus percaya itu ...." Gadis bercadar itu mendekat, memeluknya, mendekap sang gadis di dalam jubah miliknya. Seketika mereka seperti hilang, menyatu dengan malam. Gelap. Aku gelagapan, kehilangan objek yang aku perhatikan sendari tadi. Langkahku spontan berjalan cepat, mengikis jarak yang ada, satu langkah lagi mendekat, tiba-tiba sebuah panah entah dari mana melintas di sebelah telinga kananku, menacap cepat di tembok berlumut di hadapanku. Aku spontan menoleh, baru sadar kalo sekarang telingaku berdarah. Tiba-tiba panah kembali melesat, satu, dua, tiga, mengarah padaku dengan cepat. Aku kaget, tersentak hendak menghindar, tapi gagal. Satu panah berhasil menacap di dadaku, darah mengalir cepat, tubuhku seketika melemas, aku jatuh terkapar dengan darah bersimba. Suara langkah kaki kembali terdengar, rupanya itu langkah kaki gadis bercadar itu. Ia berjalan mendekatku, berdiri dihadapanku, menunduk menatapku, menampilkan dua mata cokelat terang yang menatapku iba. Aku mencoba menggerakan tanganku ke arahnya, meminta tolong padanya, tapi dia hanya diam, bergeming. Mata cokelat terangnya, sama sekali tidak tenggelam oleh gelapnya malam. Hanya itu yang aku ingat saat aku kembali membuka mata. Itu hanya mimpi, bisik hatiku pelan. Mataku terbelalak, melihat jam dinding yang tergantung sendirian di tembok, tepat di depanku, bukan karena letaknya yang sedikit miring, aku memang tidak alih memalu paku, melainkan karena jarum kecil pada jam sudah menunjukkan angka delapan. Aku kesiangan ! Sontak bangkit, meraih handuk, tidak berniat mandi, hanya ingin membasuh muka, bergegas meraih baju dan celana Dua menit berikutnya, aku sudah siap, mengandeng tas dan segera berangkat. Tidur setelah subuh, selain tidak sehat untuk tubuh, juga banyak menghilangkan berkah di pagi hari, itulah yang aku alami pagi ini. Angkot yang aku naiki, pecah ban, niat hati ingin lebih cepat, aku malah justru harus berlari cepat karena melewati jalan memutar, dua kali lipat lebih jauh dari rute jalan kaki. Sepanjang jalan menuju kampus, aku menyesali pilihanku yang memilih kembali tidur setelah salat subuh. Semalam, aku begadang, seperti biasa tidak bisa tidur, selalu saja banyak hal aneh yang terus mengusik tidurku. Aku telat. Aku meringis di depan pintu yang tertutup rapat, kelas pertamaku, sudah di mulai. Dosen yang tengah mengajar, bukan dosen sembarang, dosen yang dikenal sangat tegas, tidak suka mahasiswa yang telat dan tidak sengan-sengan menolak mahasiswa yang datang. Rasanya tidak ada harapan lagi. "Sia-sia sudah ...." gumamku sedih, hendak berbalik, entah ke mana, mungkin ke perpustakaan atau berjalan gontai mengelilingi kampus, menunggu mata kuliah selanjutnya. "Kenapa gak jadi masuk?" tanya seorang gadis dari belakang, baru saja datang, menghentikan langkahku untuk berbalik. Baru hendak menjawab, Gadis itu sudah lebih dulu melangkah, berdiri di depanku, membuka pintu, dengan santai masuk kelas setelah mengucap salam. Otakku dengan cepat memanfaatkan momen ikut masuk bersama, mencari kursi kosong yang kebetulan sudah Giffari siapkan, Giffari melambaikan tangannya kecil, memberi isyarat padaku. Aku segera duduk, sebelum dosen berubah pikiran dan mengusirku. "Antum, kemana aja sih? Ana teleponin gak di angkat-angkat," bisik Giffari padaku yang secepat kilat mengeluarkan buku berserta pulpen dari dalam tas. Berlaga bak mahasiswa yang siap menerima semua materi yang diberikan, ini bentuk penyesalanku. "Terus ya, ana hampir satu jam berdiri di depan kos antum, ngetok-ngetok idah kayak rentenir nagih hutang," bisik Giffari lagi, setelah memastikan kalo dosen di depan tidak terganggu dengan suaranya. Giffari lanjut bercerita, "karena antum gak buka-buka pintu, ana sama Aariz niat mau dobrak pintu. Takut antum kenapa-napa di dalam, eh, pas baru percobaan pertama, ana dengar suara antum, gak terlalu jelas, samar-samar ana dengar antum ngomong, Siapa? Jangan pergi .... terus gak ada suara lagi." "Aariz bilang kalo antum tidur terus ngigau, jadi gak perlu di dobrak pintunya." "Afwan, iya tadi aku emang ketiduran," jawabku cepat. Aku ingin benar-benar fokus, tapi Giffari lagi-lagi berceloteh panjang lebar, belum puas dengan jawabanku barusan. Aku tidak terlalu menghiraukan protes Giffari, memilih fokus pada penjelasan dosen yang tengah membahas seputar teknik penulisan berita dan opini, materi yang aku sukai. Sejak dulu, aku sangat tertarik berkecimpung dalam dunia jurnalistik, meski belum menemukan tempat yang pas untuk mengarahkan ketertarikanku itu. Entah kapan, Giffari akhirnya mulai fokus mencatat dan melupakan jawaban dari pertanyaannya. "Terus gimana ya kalo orang yang gak suka baca? Apa masih bisa punya peluang buat nulis berita ?" gumamku spontan, tiba-tiba Giffari menyenggol lenganku, menghentikan lamunanku. "Pertanyaan kalian kok bisa sama sih?" tanya Giffari. Aku spontan mengikuti kepala Giffari yang sudah lebih dulu menoleh ke belakang, terlihat seorang gadis yang berada di belakang kami, tengah sibuk berbicara, menarik semua perhatian. Bukan hanya dosen, tapi juga hampir semua mahasiswa. "Pertanyaannya bagus," gumam Giffari spontan, mengangguk-ngangguk setuju, mungkin gadis bermata cokelat terang itu, sudah mewakili pertanyaan yang ada di kepala Giffari. Matanya yang sering sakit, terkadang membuat Giffari sungkan membaca dereta huruf yang berjajar banyak. Mata cokelat terang .... mata itu .... "Siapa dia?" tanyaku spontan. "Antum gak tahu?" Giffari balik bertanya, aku menggeleng cepat, meski berstatus sebagai mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah, pulang) aku sama sekali tidak memiliki banyak waktu untuk tahu berita terkini. Aku terlalu sibuk, mengurusi diriku sendiri, mengambil setengah waktu dalam hidupku. "Dia Affifah, mahasiswa yang baru aja pindah ke jurusan kita. Semua orang udah pada kenal dia, mungkin cuma antum yang belum. Dia masuk, pas antum gak masuk dua pekan kemarin," jelas Giffari. Aku mengangguk pelan, tidak tahu harus beraksi apa. Di kepalaku hanya terus berputar mengenai gadis bercadar dalam mimpiku. "Matanya mirip sangat mirip." Gadis yang baru kutahu namanya itu, tiba-tiba melihat ke arahku, mengulas senyum hangat dan bersahabat. Astagfirullah! Aku spontan memalingkan wajah. Pandangan pertama, tidak berdosa, tapi pandangan kedua akan dihukumi dosa, itulah hukum dalam Islam. "Antum kenapa, Sad? Kok tiba-tiba muka antum pucat? " Giffari melonggo kecil, menatap wajahku. Aku menggeleng cepat, membantah praduga Giffari. Aku tidak sakit, hanya saja kenapa jantungku berdegup sangat kencang ? Ini jenis penyakit apa? ** "Tangkap! " Sebuah balon air melayang cepat ke arah Delshad, membuyarkan semua lamunannya seketika. Dari arah yang sama Aarumi, masih lengkap dengan seragam SMA berteriak-teriak heboh sembari berlari cepat, memberi isyarat yang tidak Delshad mengerti. Byur.... Delshad tidak sempat mengelak. Air yang ada di dalam balon berwarna merah itu, kini pecah tepat di wajahnya. "Ahela, gimana sih?! Dari tadi di suruh tangkep malah bengong aja!" omel Aarumi yang baru saja sampai dengan napas tersenggal. Gadis SMA itu sama sekali tidak peduli pada wajah Delshad yang basah kuyup akibat balon air miliknya, dia malah sibuk menatap nanar sisa pecahan balon miliknya. "Kamu gak seharusnya main di ruangan sekretariat. Apalagi main balon air gitu," sahut Delshad, kesal wajahnya basah, dan kesal akan sikap Aarumi yang tidak punya attitude sama sekali. Bukannya meminta maaf, gadis berusia 17 tahun itu, malah mengomel membuatnya kesal. Delshad tidak gila hormat, tapi bagaimana pun, Delshad lebih tua tiga tahun dari Aarumi. Aarumi seharusnya bersikap sopan padanya. Terlebih lagi, bukan Delshad yang salah. Gadis itu yang salah. "Siapa suruh melamun di seketrariatan," sahut Aarumi masih senyolot tadi, kesal karena Delshad sama sekali tidak bisa membantunya. "Terserah saya dong. Itu bukan urusan kamu," balas Delshad tenang. "Ya udah, terserah saya juga dong mau ngapain juga. Mau main balon air, terserah saya." "Tapi kamu ngerugiin saya. Lihat wajah saya jadi basah," sahut Delshad pelan, tapi penuh penekanan. "Ya udah sih, cuma basah doang." Mata Aarumi mengerling, acuh. "Takut banget sama air. Situ dari tanah apa dari tisu sih? Yang langsung meleyot kalo kena air," ejek Aarumi. Beberapa anggota AFM (Aspirasi Forum Mahasiswa), mahasiswa-mahasiswi, mulai saling berbisik pelan, membicarakan Aarumi yang memang sudah biasa membuat kegaduhan di seketrariatan. Ada-ada saja ulah gadis SMA itu. Entah membuat kacau ruangan seketrariatan atau membuat kesal beberapa anggota AFM, yang ujung-ujungannya hanya membuat susah Affifah selaku kakaknya. Affifah jadi harus membereskan semua masalah yang adiknya perbuat. Meminta maaf, atau menganti rugi benda yang Aarumi rusak. Jika bukan karena Affifah yang sangat dihormati sebagai bagian penting dari AFM, sekertaris cabang satu, mungkin mereka sudah lama mengusir Aarumi. Aarumi hanya benalu bagi Affifah. Delshad menghela napas, lelah. Sekarang dia seratus persen setuju kalo Aarumi hanya benalu bagi kakaknya, selalu membuat susah, tidak pernah peduli akan perasaan kakaknya. Adik macam apa dia? "Sekali-kali, kamu bersikaplah sedikit dewasa ... jangan bersikap seolah bocah. Main balon air, itu bukan lagi permainan anak seusia kamu. Kamu sudah SMA Aarumi." Nasehat Delshad. "Enak aja bilang orang bocah!" seru Aarumi, tidak terima. "Makanya, kamu bersikaplah dewasa. Sesuai umur kamu." Bukannya mendengar, Aarumi malah dengan sengaja menutup telinganya, sebagai bentuk kekesalan pada Delshad. "Enggak denger, enggak denger...," ledeknya Delshad hanya menghela napas panjang, tidak ingin melanjutkan pertengkaran yang tidak akan ada ujungnya. Pepatah mengatakan, lebih baik mengalah dari pada menamg membawa bencana. Delshad segera bangkit, meraih tasnya, meninggalkan Aarumi yang masih terus mengolaknya dengan kedua tangan setia di telinga, menutup. Begitu Delshad melangkah keluar, Aarumi mendengus, perdebatan ini masih belum selesai. Selalu saja begitu. Di AFM, Delshad terkenal sperti air, tenang, menghindari perdebatan dan tentunya image baik lainnya. Hal itulah yang membuat Delshad sangat di segani anggota lain, meski cowok bermata bulat itu tidak memiliki jabatan apa pun. Wibawa Delshad malah digadang-gadang lebih besar dari wibawa Satria, ketua umum cabang satu AFM. Namun, citra baik Delshad itu selalu membuat Aarumi kesal. Delshad satu-satunya orang yang sulit dia buat kesal, justru dialah yang kesal, respon Delshad yang selalu membuatnya menang, tapi juga kalah, sekaligus. "Dasar manusia nyebelin," gerutu Aarumi mengiringi langkah Delshad, pergi. Delshad samar-samar mendengar kalimat dari gadis itu, tapi memilih untuk tidak berbalik, berjalan gontai di lorong kampus, bingung harus kemana. Di kantin terlalu ramai dan berisik ; di taman matahari terlalu terik; di perpustakaan utama yang memiliki ruangan super besar dengan beragam buku lengkap, mulai dari genre buku—nonfiksi dan fiksi, ilmiah, semi Ilmiah, sampai komedi, bahkan ada buku dari luar negeri, tersusun rapih di rak-rak menjulang. Jangan lupakan daya tarik lainnya, yang membuat banyak mahasiswa berbondong-bodong ke sana, tentu saja akses internet yang memadai, ada Wi-Fi gratis yang kata sandinya di tempel lebar di pintu masuk perpustakaan, memanjakan siapa saja yang ingin berlama-lama di sana, membuat tugas atau sekedar nongkrong lalu menumpang foto agar terlihat bak anak yang suka membaca, terlalu sunyi. Perpustakaan utama memang spot paling iconic di kampus, tentunya setelah masjid raya. Masjid Raya yang berada di lingkungan kampus, yang penampakannya jauh lebih elit dari perpustakan, di sana juga terdapat perpustakaan mini. Setelah, berpikir sejenak, Delshad memutuskan untuk ke masjid Raya, hanya butuh waktu sepuluh menit, Delshad sudah berada di sana. Delshad beranjak ke perpustakan mini di masjid, setelah melaksanakan salat masjid dua rakaat. Perpustakaan mini atau sering juga di sebut perpustakan kedua di kampus, berada di pertengahanan antara tempat masuk pintu khusus laki-laki dan tempat keluar dari pintu khusus wanita, yang terdapat santir penghalang yang membentang. Memang kampus ini sangat menjaga agar tidak banyak terjadi iktilat (pertemuan) antara perempuan dan laki-laki, meski ini bukan kampus Islami, alasan ini jugalah yang membuat Delshad memilih kuliah di kampus yang sering disebut kampus biru. Delshad mengambil satu buku bersampul hijau, buku itu berisi tentang penjelasan fiqih. Walau perpustakaan mini ini tidak memiliki koleksi buku sebanyak perpustakan utama, tetap saja bagi Delshad, perpustakan inu lebih cocok baginya, tenang, tapi tidak sunyi. Mungkin karena 24 jam selalu di setel murotal Al-Quran yang membuat hati menjadi nyaman. Delshad juga bisa sekalian murojaah (mengingat hafalannya). Menyelam sambil minum air. Sangat menyenangkan. Andai saja, begitu... karena dua puluh menit menikmati ketenangan itu, suara berisik berasal dari balik bukunya mulai mengusik Delshad. Siapa lagi pelakunya jika bukan Aarumi yang terus-terusan berdesis-desis, memberi kode agar Delshad menoleh ke arahnya. "... Kak... Kak ..." Sekarang gadis SMA itu mulai melambai-lambai heboh, berpikir kalo ulahnya itu, tidak akan mengusik yang lain. Delshad awalnya ingin abai, tapi Aarumi terus-terusan membuat banyak suara. Membuat orang-orang mulai tidak nyaman. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tapi dari tatapan mereka, Delshad seolah mendengar kalimat, 'sana pergi, temui temanmu yang sangat berisik'. Delshad menghela napas panjang, menutup buku, beranjak dari kursinya dan menemui gadis itu yang kini nyengir lebar. "Ada apa?" ketus Delshad setelah mereka berada di teras masjid. Aarumi tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Mau minta maaf," jawabnya. "Situ mau kan maafin saya? " "Hem." "Hem, doang? " mata Aarumi menyipit tajam, tangannya diabaikan oleh Delshad. "Bukan mahrom, haram sentuhan, " jelas Delshad. Aarumi buru-buru menarik tangannya, malu. "Emang saya babi, haram di sentuh," gerutu Aarumi, kesal pada Delshad dan pada dirinya sendiri, meski tahu hal itu, Aarumi masih saja suka seenaknya, tidka menjaga batasan. Berbeda dengan Delshad yang terkenal sangat religius. Jarang berinteraksi dengan lawan jenis, jika tidak mendesak. Delshad menggeleng pelan, hendak pergi meninggalkan Aarumi. "Eh, tunggu dulu!" henti Aarumi cepat. "Jadi saya di maafin, gak? Buruan jawab," paksa gadis itu. "Tujuan kamu minta maaf apa? Karena nyesel atau karena terpaksa di suruh Affifah? " balas Delsahad, masih setenang biasanya. "Kalo cuma karena terpaksa, buat apa? Toh sama saja." "Ya udah sih, maafin aja," sahut Aarumi, nyolot. Kali ini Delshad langsung berbalik, tidak mengubris teriakan Aarumi yang menyuruhnya berhenti. Siapa dia, yang berhak menyetir orang sesuka hati. "Kalo gak karena Kak Affifah gak sudi saya minta maaf sama sok baik macam situ! " teriak Aarumi, tanpa filter. "Saya doain, kesandung krikil! " teriak Aarumi entah keberapa kalinya. Delshad menghela napas panjang, ingin segera jauh dari sana, tapi tiba-tiba ... "Ya Allah ...." Delshad meringgis, kakinya kesandung kerikil. Dari jauh, Aarumi langsung terbahak melihat Delshad terkena musibah. "Tuh rasain," ejek Aarumi, yang kini berada di depan Delshad. "Sok-sokan sih ngelawan saya, belum tahu aja. Kalo doa anak yatim kobul, langsung tembus langit ke tujuh," ujarnya sambil tertawa lepas. "Kamu bisa diam gak? Mending jauh-jauh dari saya," sengit Delshad, terpancing kesal melihat ulah Aarumi yang semakin seenak jidatnya. Belum lagi, bawa-bawa status anak yatim, yang untuk sebagian orang sangat sensitif. Delshad baru mau meluapkan kekesalnya pada Aarumi, tiba-tiba Affifah datang, yang membuat Delshad seketika tertunduk malu. "Aarumi, kamu buat ulah lagi ?" Affifah melirik ujung jempol Delshad yang berdarah. Aarumi menggeleng cepat, membantah tudingan kakaknya itu. "Bukan aku kok yang buat kakinya berdarah, itu tuh krikil ...." Aarumi menunjuk benda kecil di dekat kaki Delshad. "Kakak ...." tekan Afiffah, mengingatkan Aarumi agar lebih sopan menyebut Delshad. Aarumi memutar bola mata, malas, tapi tidak bisa membantah. "Iya, kaki kakak Delshad," ralatnya. "Maafin kelakukan Aarumi... saya tahu, dia pasti banyak membuat ulah, tadi di ruang seketrariatan, saya juga dengar Aarumi lempar balon air ke kamu—" "Kak, plis, Aarumi gak ngelepar kok. Orang gak sengaja. Kak Delshadnya aja yang gak bisa nangkep. Makanya balon Aarumi pecah," potong Aarumi cepat. "Aarumi ...!" Affifah melotot, kembali mengingatkan adiknya itu untuk tidak membantah. Dia salah, itulah faktanya. Apa pun alasannya. Itu gak adil! balas Aarumi, membuang muka, kesal. "Kamu harus berlaku sopan pada Delshad, sama kayak kamu berlaku sopan pada kakak. Kamu dengar itu ?" Aarumi menggeleng tegas! Gak akan. "Ayo sekarang minta maaf ...." Aarumi tidak bergeming. Affifah terus membujuk adiknya itu, tidak enak dengan Delshad. Pertengkaran itu membuat Afifah tidak sadar, kalo suara lembut dan kebaikan hatinya, membuat wajah Delshad menghangat .... kamu harus menghormatimya seperti kakak sendiri ... apa maksudnya? Delshad merona malu. Sayangnya, Aarumi menyadari itu. Tentu saja, gadis remaja itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Jpret. Aarumi berhasil mengabadikan foto Delshad, bak abg yang tengah jatuh cinta. Gara-gara dia aku jadi dimarahi. Foto ini bakal aku gunain buat.... Gadis itu sontak tersenyum miring, ada berbagai macam ide nakal berputar di kepalanya. Tidak sabar untuk segera dilakukan... "Aarumi, kamu dengar kak, Gak?" "Iya, Kak," sahut Aarumi malas. "Kak Delshad maafin saya," ujar Aarumi. Delshad langsung mengangguk pelan. Cihh... giliran sekarang aja langsung ngangguk. Kayak kerbau dicucuk hidungnya. Affifah tersenyum puas, mengajak Aarumi untuk pergi. Sebelum berbalik, Aarumi berbisik pelan, "Kak, tunggu, besok, saya ada kejutan buat Kakak ...." **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD