Teori yang agaknya cukup masuk akal diucapkan oleh pihak jaksa penuntut tentang kesalahan itu didasarkan pada keputusasaan bahwa mungkin suatu hari, entah kapan itu, mayat korban akan ditemukan oleh seseorang. Mayat itu dimungkinkan hanyut di sungai merah, namun meski begitu, mayat itu tidak tenggelam di dasar sungai untuk selamanya, kan? Sungai merah pada akhirnya akan mengapungkannya; tepatnya, di dalam tubuh manusia terjadi proses pembusukan dari kuman dan bakteri. Sementara dari proses pembusukan itu, menghasilkan banyak udara sehingga tubuh lama-lama menjadi bengkak dan akhirnya muncul ke permukaan air.
Pasti akan ada momen keberuntungan yang tidak terduga seperti yang terjadi di film-film. Mungkin mayat Bella Stefa akan ditemukan seorang nelayan bertepatan dengan keputusasaannya karena tidak mendapatkan ikan. Atau ditemukan seorang bocah yang kebetulan sedang mencari ikan-ikan kecil di pinggiran sungai. Apabila mayat itu berhasil ditemukan, maka akan diidentifikasi dan bisa diketahui penyebab kematiannya. Semua hal yang nampak buram akan dijernihkan. Sebagian keraguan dipastikan menghilang, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan. Polisi dan jaksa penuntut bisa dengan tenang dan puas untuk menutup kasus tersebut, tanpa memerlukan drama untuk memanipulasi fakta-fakta.
Memberikan keputusan bersalah itu tidak terlalu rumit, meskipun mayat korban masih belum ditemukan. Jaksa penuntut dengan pengalamannya menghadapi perkara selama ini terus-menerus menyerang Furuya Satoru, dan dakwaan-dakwaan itu dengan gencar mendesak untuk segera diproses dalam persidangan. Pihak keduanya—jaksa penuntut dan pengacara—masih bergantung dengan harapan kemunculan mayat korban. Namun sembilan tahun telah berlalu dan sungai merah masih belum berkenan untuk bekerja sama. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya ketika harapan dan doa masih kerap dipanjatkan, sembilan tahun berjalan, mimpi-mimpi tentang kasus itu sudah berhenti lama sekali. Meski kasus itu masih membuat sebagian benak pengamat ragu, otoritas yang berwenang sama sekali tidak terguncang atas keputusan yang mereka berikan pada Furuya Satoru.
Berselang beberapa tahun, pihak-pihak penegak hukum yang berpandangan sempit, dan katanya usai melakukan banyak hal untuk kasus itu, mereka tetap sangat yakin bahwa mereka telah berhasil menangkap pelaku pembunuhan Bella Stefa.
Jaksa penuntut umum tersebut adalah seorang laki-laki kawakan dan tangguh yang bernama Midorima Tetsu. Dia dipilih dan terpilih kembali selama dua puluh tahun tanpa perlawanan yang serius. Dia pensiunan Angkatan Laut yang hobi bertarung dan memenangkan kejuaraan di ajang pertarungan Angkatan Laut di berbagai satuan. Sebagai jaksa penuntut umum, riwayat keberhasilannya sangat tinggi dalam mendapatkan keputusan bersalah dari pengadilan, tertera di situs internetnya dan selama berbulan-bulan pemilihan, dia dipromosikan dalam bentuk poster-poster mencolok dengan harapan bahwa masyarakat Kanto akan puas dengan kejahatan-kejahatan yang sebentar lagi tanggal, dengan harapan besar bahwa semua penjahat Kanto akan mendapatkan ganjaran. Dia tidak pernah menunjukkan rasa simpati terhadap seseorang yang didakwanya. Seperti rutinitas jaksa penuntut umum di sebagian besar kota kecil yang lebih sering menghadapi kasus pencurian mobil daripada kasus lain, namun kejenuhan itu akan tersegarkan bila timbul kasus-kasus sensasional seperti kasus pembunuhan dan/atau kasus p*********n Di balik kejenuhan itu, Tetsu hanya pernah menangani dua kasus pembunuhan besar dalam sejarah kariernya. Kasus Bella Stefa adalah yang pertama dan yang paling terkenal. Tiga tahun berselang, pada tahun 2005, Tetsu memenangkan sebuah kasus dengan penjatuhan keputusan hukuman mati, di mana kasus tersebut lebih gampang. Kasus yang melibatkan adanya transaksi n*****a yang gagal dan menimbulkan mayat-mayat berjatuhan di jalan-jalan desa.
Baginya, hanya dua kasus itu yang bisa diklasifikasikan sebagai kasus sensasional yang pernah didapatkannya. Karena sebuah skandal yang menimpa dirinya, Tetsu terpaksa harus meninggalkan jabatannya. Dia berjanji pada publik Kanto, bahwa selama dua tahun ke depan, dia tidak akan menjadi salah satu partisipan untuk jabatan yang sama atau jabatan publik yang lain sekalipun. Istrinya yang selama ini menyertainya selama dua puluh dua tahun dalam sebuah pernikahan, terpaksa meninggalkan dirinya dengan sidang perceraian yang singkat, namun rumit. Eksekusi Furuya Satoru akan menjadi satu-satunya momen kebahagian setelah sekian kulminasi nasib buruk yang menimpanya sebelumnya.
Asistennya adalah Yuval Bonjamin, yang karena prestasinya dalam kasus Furuya Satoru, dia dipromosikan menjadi Kepala Detektif Departemen Kepolisian Kanto, jabatan yang diagung-agungkannya selama ini. Bonjamin berusia empat puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih muda dari jaksa penuntut itu, meski kerap bekerja sama dalam menghadapi suatu kasus, lingkungan keduanya sangat bertolakbelakang. Bonjamin bekerja sebagai polisi. Tetsu adalah pengacara.
Pada pelbagai kesempatan, keduanya sama-sama berjanji pada Furuya Satoru bahwa mereka akan hadir pada saat dia “mendapatkan suntikan”. Yang pertama kali adalah Bonjamin. Pertemuan privat antar keduanya membuahkan introgasi yang serba brutal, dan dari hasil introgasi itu memunculkan pengakuan tak terduga dari Furuya Satoru. Dan Bonjamin berjanji padanya, sambil menusuk-nusuk d**a Furuya Satoru bahwa, “aku akan datang di saat kau mendapatkan suntikan, itu pasti.”
Bagi Tetsu, percakapan itu terlihat lebih singkat dari perkiraan sebelumnya. Saat jeda persidangan, ketika Robert Eijun tidak ada di sana, Tetsu diam-diam menemui terdakwa—perbuatan yang semestinya dilarang karena bisa dianggap melanggar kode etik—di bawah tangga, yang ada di luar tempat persidangan. Dia memberikan penawaran untuk mengaku bersalahn dan menerima hukuman seumur hidup tanpa dimungkinkan bebas. Awalnya, Furuya Satoru konsisten menolak dengan tegas, dia tetap pada posisi ketidakbersalahnya. Sementara Tetsu terus mengumpat dan berulang kali meyakinkan Furuya Satoru bahwa dia suatu saat akan menyaksikan kematiannya karena terbukti bersalah. Beberapa saat setelah percakapan itu, Tetsu menyangkal pertemuan itu sekembalinya Eijun dari toilet dan menanyainya blak-blakan.
Tetsu dan Bonjamin, keduanya sudah saling tukar-menukar tenaga sejak kasus Bella Stefa selama sembilan tahun lamanya, dan untuk alasan keperluan, mereka merasa harus menemui Minami. Bagian itu mungkin menjadi suatu kunjungan dan penyelidikan yang kurang menyenangkan, tapi meskipun begitu, Minami tetap menjadi salah satu sosok penting dalam kasus mereka kali ini sehingga mustahil untuk dikesampingkan. Minami Stefa adalah ibu Stefa, perempuan berparas atletis dan sangat enerjik. Yang sampai saat ini menikmati posisinya sebagai korban dengan semangat luar biasa, tetapi justru kerap terlihat konyol. Keterlibatannya dalam kasus ini cukup kontroversial. Dia menjadi jauh lebih sibuk dari kehidupan biasanya. Terlibat dalam banyak wawancara. Dan sekarang, ketika kasus ini sudah mencapai babak terakhir, banyak orang Kanto yang penasaran mengenai langkah apa yang akan dilakukan oleh Minami setelah kasus itu.
Minami terkadang menjadi salah satu aspek pengganggu dalam kasus itu, meskipun reaksinya bisa disebut sebuah perilaku yang cukup wajar—karena reaksi dari seorang ibu yang kehilangan anaknya—tetapi kalau boleh jujur dia sudah sangat merepotkan dua aparat penegak hukum itu. Dia berulang kali merongrong Bonjamin dan para polisi selama dua minggu lamanya, sementara para penyelidik itu masih sibuk dan panik dengan pencarian mayat korban. Minami menangis menderu-deru dihadapan semua kamera, pun leluasa memaki seluruh pejabat publik—dari badan legislatif kota sampai Gubernur—karena dianggap tidak becus untuk menemukan putrinya. Kemudian usai pengakuan tanpa bukti yang menggemparkan dari Furuya Satoru, dirinya menjadi jauh lebih brutal. Dia menjadi lebih tersedia dan lebih siap untuk diwawancarai berbagai media selama berkepanjangan. Dia tidak sabar menunggu berakhirnya status praduga tak bersalah dan pembacaan putusan hukuman mati; semakin cepat, semakin bagus. Dalam kesehariannya, dia mengajar di Kelas Kitab Suci Perempuan di Gereja, jadi dia punya begitu banyak referensi berupa dalil-dalil ayat suci yang dengan gampang dia pakai untuk berkhotbah dihadapan media tentang topik hari pembalasan. Dia kerap kali menyebut Furuya Satoru dengan sebutan “pemuda itu”, yang secara tidak langsung panggilan itu membuat perasaan orang-orang kulit hitam di Kanto tersinggung. Dia juga masih mempunyai sebutan lain; monster dan pembunuh berdarah dingin. Sementara, julukan pembunuh berdarah dingin adalah yang paling dia sukai. Selama menjalani persidangan, dia selalu hadir bersama Ryusei, suaminya, beserta dua anak kandungnya yang lain. Mereka duduk di barisan depan, tepat di belakang tempat duduk jaksa penuntut umum. Teman-teman setianya juga rajin hadir dan duduk takzim di sebelah kanan-kiri mereka.
Dua deputi yang siap dengan senjata selalu berada di dekat mereka. Memberikan disparitas antara Minami dan para pendukung Furuya Satoru. Ketika jeda persidangan, kedua keluarga saling melempar kata-kata makian. Di satu sisi mengutuk, satunya lagi berharap bahwa hukum akan memberikan keadilan bagi orang yang tidak bersalah. Ketika hakim dalam persidangan itu membacakan keputusan bahwa terdakwa mendapatkan hukuman mati, Minami sontak melompat berdiri, “Puji Tuhan! Katanya. Hakim dengan dingin langsung menyuruhnya diam dan kembali duduk, kalau tidak, hakim akan mengeluarkannya dalam persidangan. Meskipun dalam batin Minami; dikeluarkan pun tidak masalah, setidaknya putusan bersalah dan hukuman mati itu adalah bukti kemenangannya. Saat persidangan hari itu tuntas, kemudian Furuya Satoru dengan tangan terborgol dibimbing untuk keluar ruang sidang, saat itu Minami tidak mampu menahan diri. Dia berteriak lantang dan memaki, “Kau pembunuh! Kau telah membunuh putriku! Aku bersumpah, aku akan berdiri di saat-saat menjelang kematianmu!” Amarah yang dibuktikan dengan dua penggal kalimat itu, membuatnya sudah tidak terlihat seperti seorang pengajar di Gereja.
Pada tahun pertama peringatan hilangnya Bella Stefa, Minami melakukan upacara peringatan atau tirakat yang meriah di tepi sungari merah, dekat gasung tempat ditemukannya kartu sasana dan kartu pelajar sekolah Bella Stefa. Seorang sukarelawan turut membantu mendirikan salib putih di atas tanah. Ada foto Bella Stefa beserta bunga-bunga yang menyertainya. Pendeta mereka memimpin doa. Pun tidak lupa mengucapkan syukur atas “keputusan yang adil dan benar” yang baru saja diberikan oleh Hakim atas pertimbangan dewan juri. Lilin-lin dinyalakan, himne-himne digaungkan, doa-doa diucapkan selaras. Setelah itu, upacara peringatan itu menjadi kegiatan tahunan. Minami selalu hadir diiringi sejumlah wartawan.
Minami bergabung dengan beberapa kelompok korban. Dia menghadiri seminar-seminar dan memberikan sejumlah pidato dengan anasir-anasir teologi. Dia menyiapkan sejumlah konsep lumayan panjang yang berisi keluh-kesahnya terhadap penundaan yang teramat panjang dari pengadilan. Dengan adanya kasus semacam ini, dia terlihat jauh lebih pintar untuk meyakinkan dan memuaskan para penontonnya dengan memaparkan sejumlah teori baru. Tidak hanya bertindak secara lisan di depan media, aksi vulgarnya juga berhasil diketahui media bahwa Minami juga kerap melayangkan sejumlah tulisan keji kepada Robert Eijun.
Minami juga mulai belajar membuat situs di internet, KamiadauntukStefa.com, blog itu dipenuhi dengan pernak-pernik foto Stefa. Dia tidak pernah penat untuk mencurahkan kerinduannya pada putri pertamanya itu dalam bentuk tulisan panjang-lebar, bahkan terkadang menghabiskan malam suntuknya hanya untuk menulis postingan terbaru di blog itu; seolah-olah Stefa hadir juga malam itu. Hampir dua kali, Robert Eijun hendak melayangkan gugatan terhadap Minami atas perbuatannya menuliskan hal-hal buruk tanpa bukti, meski sebenarnya Eijun bahwa alangkah lebih bijaksana kalau dia membiarkan perempuan itu. Minami juga gencar menyuruh teman-temannya, atau siapa saja yang mengenal putrinya dengan baik, untuk memenuhi galeri blog itu dengan berbagai cerita, dengan kumpulan pengalaman, dengan fragmen-fragmen historis dari sebuah foto.
Hari demi hari semenjak kepergian putrinya itu, perilakunya semakin aneh. Kalau sekadar tercenung di depan komputer, tidak masalah, tetapi dari waktu ke waktu dia kerap berkendara lama sekali di tepi sungai merah untuk mencari anak perempuannya itu. Dia sering ditemukan sedang berdiri melamun di dekat jembatan, menatap sungai dan tenggelam dalam dunia yang lain. Dunia yang isinya hanya dirinya dan Stefa. Dia menemukan sebuah hotel di dekat sungai merah, dan semakin terobsesi dengan hotel itu. Dia menghabiskan banyak malam di hotel itu, menjelajahi lingkungan sekitarnya, berkeliaran di beberapa pusat perbelanjaan, bioskop-bioskop dan berbagai tempat lain yang biasa dihuni oleh para remaja. Seolah-olah dia masih menganggap bahwa Stefa masih hidup sama seperti remaja seusianya yang lalu-lalang di pusat-pusat perbelanjaan. Tidak heran kalau dia kerap kali tercenung melihat seorang perempuan yang sekiranya seusia dengan putrinya. Tetapi dia mencoba mengerti bahwa mustahil bagi Stefa bisa bertahan dan menyembunyikan diri darinya. Meskipun begitu, dia tak henti-hentinya datang setiap hari ke sungai merah dan Kanagawa—nama prefektur sungai merah. Dia tidak bisa untuk tidak melakukan sesuatu.
Beberapa kali Minami mencoba untuk mencari tahu kabar para remaja yang dinyatakan hilang di prefektur lain. Dia menjadi ahli yang memiliki beberapa petuah untuk dibagikan, khususnya pada orang tua korban. “Kau pasti bisa melalui semua ini” itu adalah petuah andalannya, usahanya sangat luar biasa untuk menghibur dan meyakinkan keluarga-keluarga yang mempunyai nasib yang sama—meski tidak seburuk Minami—meskipun masih banyak masyarakat Kanto yang ingin tahu bagaimana Minami sendiri mampu bertahan di situasi saat ini.
Saat ini, menjelang detik-detik terakhir, dia menjadi panik sendiri dengan detail-detail eksekusi Furuya Satoru, padahal seyogyanya detik-detik ini lah yang justru mampu membuat darahnya mendidih. Perusahaan media rajin mengirimkan repoternya menjelang eksekusi, dan Minami sudah menyiapkan beberapa hal untuk bisa dia sampaikan. Setelah sembilan tahun dengan suasana gusar berkepanjangan, keadilan pada akhirnya muncul di depan mata.
Pada hari Senin malam, sudah tiba saatnya bagi Tetsu dan Bonjamin untuk menemui Minami Stefa. Mereka berdua sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk.