Satu
Penjaga di Gereja Bethany baru saja membersihkan salju setebal kira-kira delapan senti dari trotoar ketika pemuda berkacamata itu muncul. Matahari sudah gagah, tapi angin menderu ribut: suhu udara terjebak di titik beku. Pemuda itu hanya mengenakan celana jeans tipis, kemeja musim panas, sepasang sepatu bot usang, dan sehelai jaket yang nyaris tak mampu menahan dinginnya udara: dengan tangan terlipat di depan d**a dan napas yang menggebu. Tapi, dia tak terlihat terburu-buru. Langkah kakinya teratur. Penjaga gereja bingung karena sapaannya hanya berakhir pada suaranya—tak ada balasan. Dekat kapel dan berhenti di depan pintu samping bertandakan kata “Kantor” dalam cat hijau usang. Pemuda itu tidak mengetuk dan pintu itu tidak terkunci. Dia melangkah masuk persis ketika hembusan angin kencang lain menerpanya dari belakang.
Ruangan itu adalah ruangan resepsionis yang penuh barang dan berdebu, persis seperti bayangan kita tentang kondisi sebuah gereja tua. Di tengah-tengah ruangan terdepat meja tulis dengan sekeping papan nama yang mengumumkan kehadiran Michele Joan yang duduk tak jauh di belakang namanya. Dia menyapa sambil tersenyum, “Selamat pagi.”
“Selamat pagi,” balas pemuda itu. Lengang sejenak. “Di luar dingin sekali.”
“Benar sekali,” sahut wanita itu, sambil menilai cepat tamunya. Masalah utamanya adalah dia tidak mempunyai mantel, dan kepala serta kedua tangannya tidak berpelindung.
“Kurasa kau adalah Ms. Michele Joan,” katanya, sambil membaca tulisan di papan nama itu.
“Bukan, Ms. Joan tidak bisa datang hari ini karena pilek. Aku Kiki Stefanus, istri pendeta, menggantikan tempatnya. Ada yang bisa kami bantu?”
Ada satu kursi kosong dan pemuda itu memandang penuh harap ke sana. “Boleh aku duduk?”
“Boleh, silakan,” sahut Kiki. Laki-laki itu duduk dengan berhati-hati, seolah-olah dengan wajah yang kelihatan tua itu dia harus melakukan segala sesuatu dengan matang-matang.
“Apakah pendeta ada di sini?” tanya laki-laki itu sambil memandang ke pintu yang tercium hawa sunyinya di pojok kiri.
“Pendeta ada di sini, tapi dia sedang ada rapat yang tidak bisa diganggu. Apakah ada sesuatu yang kamu perlukan?” Kiki seorang yang bertubuh mungil, mempunyai d**a yang indah dan sehelai sweeter yang terlihat pas dengan tubuhnya.
Laki-laki itu tidak bisa melihat apapun di bawah pinggul wanita itu sebab terhalang oleh meja tulis. Dari dulu, dia menyukai perempuan-perempuan bertubuh mungil. Wajah yang manis dan menawan, sepasang bola mata berwarna cokelat, tulang pipi tinggi, seorang perempuan yang cantik dan terlihat segar; dia istri pendeta yang sempurna. Sudah sangat lama dia tidak menjumpai sensasi itu kembali.
“Aku ingin segera bertemu pendeta, Stefanus. Bisa?” katanya sembari menangkupkan tangannya seperti orang yang hendak berdoa. “Aku datang ke gereja dan mendengar khotabhnya kemarin. Sepertinya aku butuh sedikit bimbingan.”
Kiki tersenyum dan memperlihatkan giginya; sungguh indah. “Jadwal dia padat sekali hari ini.”
Laki-laki itu merespon dengan wajah memelas. “Aku sangat membutuhkannya sekarang. Agak mendesak.”
Kiki telah menikah dengan Ivan Stefanus cukup lama dan mereka tidak mempunyai rekor untuk mengusir seorang jemaat dari kantor suaminya, entah yang sudah membuat perjanjian sebelumnya maupun yang tidak. Lagi pula, hari itu adalah hari senin yang beku dan Ivan juga tidak terlalu sibuk. Dering telepon begitu sering terdengar nyaring hari itu, salah satunya adalah konsultasi seorang pemuda dan pemudi yang tidak ingin menikah sedang berlangsung saat itu, kemudian kunjungan rutin ke beberapa rumah sakit.
Kemudian Kiki mencari-cari di sekitaran meja tulis, dan dia menemukan buku yang berisi beberapa daftar pertanyaan para kliennya. “Baiklah kalau begitu, aku perlu mencatat beberapa pertanyaan dasar lebih dulu dan setelah itu kita lihat apa yang bisa dilakukan.” Kiki sudah mantap dengan bolpoin di tangan kirinya.
Laki-laki itu bereaksi dengan membungkukkan badannya ke Kiki. “Terima kasih.”
“Siapa namamu?” tanya Kiki dengan intonasi datar yang terkesan lugas.
“Harry Kazuya.” Dia secara otomatis mengeja nama belakangnya untuk Kiki. “Lahir tanggal 5 Juli 1960 di Kota Shibuya, Tokyo. Umurku empat puluh tujuh tahun. Aku bujangan, sudah pernah menikah, kemudian bercerai. Aku tidak mempunyai anak. Tidak punya alamat tempat tinggal. Tidak mempunyai pekerjaan. Dan tidak bermasa depan.”
Kiki menyaring seluruh informasi itu dan sementara bolpoin yang dipegangnya dengan lincah mencari ruang-ruang kosong yang wajib diisi. Semua jawaban yang diucapkan oleh Harry menyebabkan jauh lebih baik kuriositas daripada yang bisa ditampung formulir kecil yang ada di hadapannya. “Sudah, sebentar…” Kiki menahan. “Kali ini tentang alamat,” Kiki masih sambil menulis. “Di mana tempat tinggalmu sekarang?”
“Aku tidak punya tempat tinggal. Aku hanya orang tidak berguna yang terpaksa ditampung Lembaga Permasyarakatan Kanto. Aku ditampung di rumah singgah. Di jalan nomor dua belas, beberapa blok dari sini. Dan saat ini, aku sedang dalam proses pembebasan, seperti itulah istilah mereka. Beberapa bulan aku di rumah singgah di sini, di Kanto, aku diharapkan akan menjadi manusia merdeka sekali lagi, tanpa ada syarat lain yang diinginkan sebagai syarat pembebasanku.”
Tangan Kiki menghentikan bolpoinnya, tapi sorot matanya masih menatap alat tulis itu lekat-lekat. Keinginannya untuk mencari informasi tentang laki-laki di depannya mendadak lenyap. Dia agak merasa skeptis untuk mencari tahu lebih tentang manusia di depannya. Namun, karena dirinya sendiri yang memulai interogasi itu, dia merasa kalau dia berkewajiban untuk melanjutkan. Lagi pula, apa ada sesuatu yang lain yang bisa mereka lakukan sepanjang menunggu pendeta selesai rapat?
“Kau mau teh?” tanya Kiki setelah dia memikirkan matang-matang kalau pertanyaannya itu tidak berbahaya.
Senyap sejenak, sedikit lebih lama, seolah-olah Harry tidak sanggung mengiyakan. “Ya, boleh. Gulanya sedikit saja.”
Kiki lekas keluar ruangan untuk menuntaskan tawarannya. Harry memperhatikannya pergi, mengamati segala-galanya tentang Kiki, fokus dengan b****g bundarnya yang indah di balik balutan celana panjang yang ketat, kedua kaki rampingnya, pundak yang nampak kokoh, bahkan ekor kudanya. Sekitar seratus lima puluh senti, mungkin enam puluh, lima puluh delapan kilo maksimal.
Kiki secara sengaja berlama-lama di luar, dan ketika dia kembali untuk memastikan Harry Kazuya, dia masih duduk di sana seperti saat Kiki meninggalkannya tadi, masih duduk seperti jemaat yang berdoa, ujung jemari tangan kanannya perlahan mengetuk-ngetuk ujung jemari tangan kirinya, tongkat kayunya yang berwarna putih menggeletak di pangkuannya. Kepalanya dicukur plontos, terlihat kecil dan mengkilap, betul-betul bundar seperti lampu taman, dan ketika Kiki datang menyerahkan secangkir teh pada Harry, dia memperkirakan sendiri dengan gurauan, apakah Harry memang berkepala plontos sejak masih muda ataukah memang dia menyukai model kepala seperti itu. Terlihat sebuat tato yang menyeramkan terlukis di salah satu sisi lehernya.
Harry menerima cangkir teh itu dengan mantap. Dan setelah mengucapkan terima kasih, dia meletakkan cangkir tehnya di meja tulis. Kiki kembali ke tempat duduknya yang semula. Mereka berada terpisah di antara meja tulis.
“Kau seorang Lutheran?” kembali Kiki memegang bolpoin dengan buku yang berisi daftar pertanyaan di depannya.
“Itu perlu kau catat?”
“Ya,” tegasnya.
“Kurasa bukan. Sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Aku nggak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja sebelumnya.”
Mendengar pernyataan Harry yang tidak pernah punya keinginan untuk pergi ke gereja, membuat Kiki merasa bingung. “Lalu kemarin dan sekarang kau kemari, mengapa?”
Harry Kazuya mengambil cangkir teh itu dengan kedua tangan berada tepat di bawah dagu, mirp seekor tikus yang sedang menangkup sekeping biskuit. Apabila pertanyaan sederhana tentang teh tadi membutuhkan waktu sekitar lima belas detik, mungkin pertanyaan tentang kehadirannya di gereja untuk kali ini membutuhkan waktu dua jam.
Harry mencium bau harum asap tehnya—dia berasumsi kalau bekas sentuhan Kiki masih menempal di sela-sela cangkir itu—kemudian dia meneguk sedikit dan mengecap bibirnya. “Butuh berapa lama lagi menurutmu aku harus menunggu untuk bertemu Pendeta?” tiba saatnya dia bersuara.
Melihat Harry yang terlalu lama berpikir, membuat Kiki semakin merasa was-was. Dia menjadi ragu dan terpaksa berlipat-lipat mempertimbangkan banyak hal untuk mempersilakan Harry bertemu dengan suaminya. Kiki melirik jam dinding, “Sebentar lagi.”
“Aku boleh duduk di sini sambil berdiam diri selagi kita menunggu Pendeta?” nadanya terdengar sangat takzim.
Kiki memperhatikan pergelangan tangan yang kaku itu dan dengan segera mengiyakan kalau berdiam diri bukanlah sesuatu keputusan yang buruk. Lalu, kuriositasnya muncul dan mengganggunya lagi. “Baiklah. Tapi satu pertanyaan terakhir.” Kiki menatap buku yang berisi daftar pertanyaan itu, seolah-olah di situ tertera dengan jelas suatu pertanyaan yang wajib dijawab. “Berapa lama kau berada di penjara?”
“Setengah hidupku,” jawab Harry dengan tegas. Seolah-olah dia telah melatih untuk mengucapkan kalimat itu sepuluh kali sehari.
Kiki menulis sesuatu, sedetik kemudian papan ketik komputer itu lantas menarik perhatiannya. Kemudian secara sigap dia mengetik membabi-buta seperti seorang karyawan yang sedang menghadapi tenggat waktu yang mepet. Email-nya kepada Ivan terurai; “Ada seorang narapidana di sini yang sedang mencari dan ingin segera menemuimu. Dia tidak mau pergi dari sini sebelum nampak batang hidungmu. Tapi dia terlihat cukup ramah. Aku buatkan dia teh sembari dia menunggumu. Aku tidak mau terlalu banyak berbicara dengannya, cepat selesaikan konsultasimu.”
Lima belas menit kemudian, pintu ruangan Pendeta terbuka lebar dan seorang perempuan keluar dengan hentak langkah kaki yang keras sambil mengusap mata. Di belakang perempuan itu, menyusul mantan tunangannya yang mampu membuat kerutan di dahi sekaligus senyum tipis di bibir pada saat bersamaan. Tidak satu pun dari mereka yang menyapa Kiki atau sekadar melihat Harry dengan tongkat di atas pahanya. Mereka langsung melengos dan lenyap.
Ketika suasana sudah senyap dan yang tersisa adalah deru-deru angin yang tanggal di sekitar ruangan, Kiki berkata pada Harry; “Sebentar, tunggu di sini.” Setelah itu, Kiki bergegas masuk ke dalam ruang kerja suaminya untuk memberinya penjelasan singkat.
Ivan Stefanus, Pendeta berusia tiga puluh tujuh tahun, dia menikah dengan Kiki yang usia pernikahannya telah berjalan selama delapan tahun sekarang. Dia sekaligus seorang ayah dari dua anak laki-laki yang masing-masing lahir sendiri-sendiri berjarak sekitar enam bulan. Sudah selama tiga tahun ini, Ivan telah menjabat sebagai pendeta senior di Gereja Bethany. Sebelumnya dia menjadi Pendeta aktif di sebuah gereja di salah satu kawasan Kanto. Ayahnya merupakan pensiunan dari pendeta Lutheran, dan Ivan tidak pernah berkeinginan untuk menjadi yang lainnya. Dia dibesarkan di sebuah daerah kecil di Kanto, dididik di sekolah yang tak jauh dari gereja, kecuali untuk acara darmawisata sekolah ke Osaka dan bulan madunya di Tokyo. Secara umum, dia merupakan Pendeta yang cukup dikagumi oleh para jemaatnya; meskipun beberapa persoalan pernah terjadi pada dirinya. Perselisihan pernah terjadi ketika dia membuka ruang bawah tanah di gereja untuk menampun para gelandangan selama badai salju di musim dingin yang lalu. Setelah badai salju reda dan mulai meleleh, sebagian dari gelandangan itu tidak mau pergi. Pihak Pemerintah Kota mengeluarkan disclaimer tentang penggunaan barang yang tidak pada tempatnya; dan ada berita yang sedikit tidak mengenakkan di media masa. Sementara itu, topik khotbahnya di hari Munggu lalu yaitu tentang memaafkan; kondisi agung Tuhan yang tidak mengenal batas dan legawa untuk memaafkan segala kesalahan manusia; tidak peduli seberapa besar dosa-dosa itu.
Membicarakan dosa-dosa, yakni dosa-dosa Harry Kazuya begitu nista, kejam, tidak bisa dipercaya, dan bahkan luar biasa mengerikan sampai terlihat tidak bisa dimaafkan meskipun khotbah Ivan minggu lalu terdengar sangat lugas dan menyentuh hati para jemaatnya. Track Record kejahatannya terhadap sesama manusia sudah dimungkinkan akan membuat dirinya mendekam di neraka dan menderita selama-lamanya. Dalam situasi ini, dia merasa bahwa hidupnya sangat berantakan dan begitu mengenaskan, Harry mengira bahwa dirinya sendiri tidak akan pernah bisa dimaafkan; meskipun begitu, dia masih ada rasa penasaran.
“Ada beberapa orang dari rumah singgah yang juga pernah ke sini. Aku juga pernah beberapa kali mengadakan kebaktian di sana,” kata Ivan. Mereka berdua berada di salah satu sudut ruang kerja khusus Pendeta, agak sedikit menjauh dengan meja tulis. Sosok teman baru yang duduk di lounge chair yang sandarannya agak melorot ke bawah itu sambil berbincang. Tidak jauh dari tempat mereka, gemercik petikan palsu kayu bakar berkobar di tengah perapian palsu.
“Tempat ini lumayan juga,” sahut Harry. “Penjara yang selama ini kutempati, kalah jauh.” Harry berfisik ringkih, polesan kulit pucat menyertai tubuhnya yang memang khas orang-orang yang usai lama mendekam di tempat-tempat gelap. Lutut-lututnya yang kurus dan setiap tulangnya terlihat menonjol itu saling menyentuh, dan tongkat putihnya yang lebih kuat daripada kedua kakinya menggeletak di atas pahanya.
“Di mana alamat penjara itu?” Ivan memulai dengan nada santai sambil memegang cangkir tehnya.
“Tidak tentu. Beberapa bulan di Yamaguchi, beberapa tahun kemudian di Kyoto, bebas dan dipenjara lagi di wilayah penjara Chiba, setelah itu aku dipindah dan ditampung di Lembaga Permasyarakatan Kanto. Sekarang aku seperti orang cacat yang harus dituntun ke sana ke mari, aku berada di bawah saran dan perintah pengurus lembaga.”
“Kau dijatuhi hukuman sebab telah melakukan perbuatan apa?” tanya Ivan, tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh Harry Kazuya yang kiranya hal itu yang membuatnya bersikukuh untuk datang ke gereja. Perbuatan kriminal? Penyelundupan n*****a atau konsumennya? Genosida? Terosisme? Bisa jadi semuanya. Sementara di sisi lain, Harry adalah koruptor pajak. Tetai, dengan tubuh yang ringkih dan terlihat jelas tidak berdaya itu, dia tidak terlihat seperti seseorang yang mampu melukai orang lain. Mungkin dia adalah broker ilegal, atau orang yang hanya bekerja di balik layar.
“Jelasnya, banyak sekali perbuatan keji yang aku lakukan, Pendeta. Aku sama sekali tidak sanggup mengingatnya seluruhnya.” Harry prefer untuk tidak membalas tatapan mata. Karpet di lantai menjadi pusat sorotan matanya. Ivan meneguk tehnya dan menatap kliennya itu dengan cermat. Sesekali berselang beberapa detik, Harry akan menundukkan kepala sedikit ke sebelah kanan. Hanya anggukan singkat, selepas itu diikuti sentakan lehernya yang membetulkan posisi kepalanya semula.
Setelah suara Harry itu berhenti, kemudian ruangan disulap menjadi senyap. “Apa lagi yang membuatmu menahan ucapanmu, Harry?”
“Aku menderita toksoplasmosis. Penyakit ganas yang menyerang otakku, sangat mematikan, tidak bisa diobati.”
Ivan tercenung.
“Apabila aku punya banyak uang, aku mungkin bisa melawannya. Dengan perawatan rutin, kemoterapi, yang masih bisa memperpanjang umurku mungkin sampai beberapa bulan ke depan, bahkan memungkinkan untuk setahun. Tapi ini sudah akut. Aku sudah lama membiarkan penyakit ini mengganggku waktuku, tanpa penanganan sewajarnya. Aku tidak pernah merasakan diomeli dokter hanya karena tidak rutin minum obat, atau yang lain. Aku pasti mati beberapa bulan lagi.” Harry mengerutkan dahinya dan badannya agak sedikit condong, lalu mengurut pelipisnya. Napasnya tersengal, terlihat berat. Seluruh tarikan-tarikan tubuhnya terlihat kesakitan.
“Aku turut berduka tentang penyakitmu.” Ivan menyadari bahwa mengatakan demikian sesungguhnya tidak memberikan kepuasan sama sekali buat Harry.
“Persetan sama kepala ini!” Harry memekik. Kedua tangannya masih mencengkeram hebat kepalanya, kedua matanya masih terus terpejam rapat. Dia tengah berusaha melawan rasa nyeri yang menyerang kepalanya secara tiba-tiba itu. Meskipun gejala demikian sudah biasa terjadi, namun rasa sakitnya tidak bisa ditawar sama sekali; tetap terasa sakit. Harry belum mampu melanjutkan pembicaraan lagi. Seolah-olah menjelaskan bahwa jika dia bergerak sedikit saja, kepalanya akan semakin pening. Ivan mengamatinya dengan tidak berdaya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Berselang beberapa menit, rasa nyeri itu mereda, dan Harry menarik napas panjang dan bersandar. Dia tampak terkulai lemas. “
“Maaf,” ucap Harry.
“Kapan pertama kali kamu dinyatakan mengidap toksoplasmosis?”
“Aku tidak tahu tepatnya. Mungkin sudah sekitar dua bulan yang lalu. Kepalaku mulai sering pusing, kulitku mulai terlihat memar-memar, pendengaranku agak terganggu sejak di Chiba. Mungkin daripada kau yang hidup tenang di bawah bangunan ini, yang memutuskan iya atau tidak untuk melibatkan diri dengan masalah klienmu, kau tidak bisa membayangkan kalau dulu aku kesakitan tanpa ada bantuan perawatan sama sekali. Setelah aku dibebaskan dan di bawa ke sini, mereka baru membawaku ke Rumah Sakit Kanto. Aku menjalani serangkaian tes, aku mendapat pemeriksaan. Dan aku menceritakan gejala-gejala yang kerap aku alami. Kemudian setelah beberapa pemeriksaan, aku divonis mengidap penyakit itu.” Harry menghirup napas kuat-kuat, dan setelah dadanya menolak terlalu banyak udara, dia mengembus, dia berhasil menyunggingkan senyuman pertamanya di hadapan Ivan.
“Mungkin aku merasa kalau kau pernah bertemu dengan orang-orang yang sama sepertiku.” Harry tersendat. “Mereka yang tengah sekarat.”
“Terkadang. Tapi itu merupakan bagian dari pekerjaanku.”
“Dan kukira, orang-orang yang tengah dalam kondisi seperti itu mau tidak mau mengalami kecenderungan untuk menjadi lebih serius tentang masalah Tuhan, kehidupan setelah mati, dan sebagainya.”
“Betul. Seperti burung yang beterbangan di awan, ketika dia mampu merasakan bahwa angin-angin yang menyertainya merubah auranya sebab akan datangnya hujan, mereka akan dengan cepat kembali ke sarang. Tapi bagaimana denganmu sendiri, Harry? Kau percaya Tuhan itu ada? Apakah kau juga percaya dengan adanya kehidupan setelah mati?”
“Relatif. Atau bisa dibilang situasional. Ada kalanya aku percaya, ada kalanya juga tidak. Bahkan ketika aku mencoba untuk berusaha percaya pada Tuhan, masih ada sedikit keraguan yang menegur kepercayaanku. Mungkin sangat mudah buatmu untuk percaya kepada Tuhan sebab kau memiliki kehidupan yang mudah dan bahagia. Lain cerita jika denganku.”
“Kau hendak menceritakan seluruh kehidupanmu padaku?”
Harry menimbang. “Entahlah. Tidak juga.”
“Lantas kenapa kau ke sini?”
Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Harry berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Ivan. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. “Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku.”
Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Ivan. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Harry mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.
“Apakah ini bersifat rahasia? Kau menjamin itu?”
“Sebagian besar mungkin iya.”
“Aku tidak suka dengan jawaban mungkin. Kau tahu. Hampir semua orang juga tidak suka itu.”
“Jelasnya ada pengecualian-pengecualian lain untuk membuka pembicaraan ini.”
“Soal apa itu?”
“Bila kemungkinan kau akan mengutarakan semua dosa-dosamu padaku, dan aku merasa yakin kalau kau akan menyakiti dirimu sendiri atau bahkan orang lain, maka sifat kerahasiaan itu akan batal. Saat itu terjadi, aku wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dirimu sendiri dan orang lain itu. Atau dalam arti lain, prinsip kerahasiaan itu batal karena aku juga butuh bantuan dari pihak lain.”
“Sepertinya rumit.”
“Kurasa tidak,” Ivan membujuk.
“Dengar, Pendeta, aku telah melakukan beberapa perbuatan yang buruk, tapi, yang satu ini seakan menghantui pikiranku sekian tahun. Aku perlu membicarakan ini dengan seseorang, tapi tidak ada orang yang mampu mendengar itu. Tidak ada tempat lain yang bisa aku datangi selain gereja ini. Bila aku memberitahumu mengenai sebuah perbuatan kriminal yang kejam yang pernah aku lakukan beberapa tahun silam, apa kau mau berjanji tidak akan memberitahu siapa pun tentang hal ini?”
“Apa janji itu penting?”
***
Kiki segera mencari informasi tentang Lembaga Permasyarakatan Kanto, kemudian dalam beberapa detik dia berhasil mengakses dan mendapatkan informasi mengenai kehidupan yang mengharukan dari seorang laki-laki bernama Harry Kazuya. Dia mempunyai riwayat dijatuhi hukuman selama dua belas tahun pada tahun 2004 karena telah terindikasi melakukan tindakan asusila. Status terkini; tahanan.
“Dia ada di kantor suamiku,” gumam Kiki sambil jarinya lihai memencet tombol.
Dijatuhi hukuman selama tujuh tahun pada tahun 1994 terduga usai melakukan p*********n seksual di Kyoto. Dan dibebaskan tahun 2001.
Dijatuhi hukuman selama dua puluh dua tahun pada tahun 1982 untuk tindakan penganiayaan seksual di Yamaguchi. Lalu dibebaskan pada tahun 1990.
Harry reputasinya tercatat sebagai pelaku kekerasan seksual di Yamaguchi, Kyoto, dan Chiba.
“Sosok monster,” gumam Kiki pada dirinya sendiri. Beberapa foto dalam arsip Harry yang tertpampang dalam situs Web Lembaga Permasyarakatan Kanto menampilkan seorang laki-laki yang terlihat lebih muda, badannya jauh lebih berisi dan segar, rambut klimis. Kiki dengan sigap meringkas riwayat kejahatan Harry dan segera mengirimkan ke Ivan melalui surel. Kiki tidak mencemaskan keselamatan suaminya, melainkan dia hanya ingin agar monster itu segera enyah dari kantor suaminya.