Minami menyambut mereka di depan pintu dengan ramah, dia sempat merangkul mereka berdua sebentar. Dua orang penyelidik itu tidak bisa menebak dengan pasti, Minami seperti apa yang akan mereka temui. Perempuan itu bisa bertabiat ramah, dan terkadang bisa sangat menakutkan. Mungkin karena eksekusi hukuman mati Furuya Satoru sudah sangat dekat, dia bisa bersikap ramah dan penuh semangat. Mereka berdua berjalan mengekor Minami memasuki rumah berlantai dua yang nyaman di kawasan pinggiran kota itu. Mereka berjalan menuju ruangan cukup luas di belakang garasi. Ruang yang sengaja diatur selama bertahun-tahun untuk mengekspresikan segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus Bella Stefa. Sebagian dari ruangan itu dipenuhi dengan almari arsip, sementara sisanya adalah tempat yang dipergunakan untuk pemujaan terhadap anak perempuannya. Ada banyak foto yang dipajang. Beberapa potret foto dihadiahkan setelah kematian Stefa, sebagian foto berasal dari pengagumnya, sebagian terdiri dari penghargaan; piala-piala, sejumlah pita, plakat dan hadiah dari kelas IPA di tingkat delapan. Potret-potret itu seolah-olah merangkum sebagian besar perjalanan hidup Stefa selama ini.
Ryusei, suami kedua Minami sekaligus ayah tiri Stefa sedang tidak di rumah. Dia semakin jarang tidak ada di rumah semenjak suasana berkabung menyelimuti keluarganya. Desas-desus gosip menyebar. Di mana salah satunya menganggap bahwa Ryusei tidak tahan menghadapi perasaan duka dan keluh-kesah istrinya terus-menerus tidak ada habisnya.
Minami menghidangkan kopi untuk mereka berdua. Setelah berbasa-basi sedikit, obrolan mereka langsung mengarah ke topik eksekusi.
“Nanti kau akan mendapatkan jatah lima tempat di ruang saksi mata. Siapa saja yang akan kau ajak?” tanya Tetsu.
“Aku…”
“Tentu saja.”
“Aku, Ryusei, dan dua saudaraku, tapi mereka belum pasti. Kemungkinan akan hadir juga. Lihat nanti.” Minami menyebutkan adik laki-laki dan perempuan setengah tiri Stefa. Masih belum pasti. Seolah-olah mereka yang disebutkan itu tidak mempunyai komunikasi yang baik.
“Jatah kelima itu mungkin akan diambil oleh Jacob. Sebenarnya dia tidak ingin melihat eksekusi itu. Hanya saja dia merasa punya kewajiban untuk hadir karena simpati dengan kami.”
Jacob adalah seorang Pendeta Gereja Baptis Pertama. Jacob menetap di Kanto kira-kira sudah tiga tahun, sudah jelas dia tidak pernah mengenal bahkan melihat Stefa. Namun dai sudah terlalu yakin pada kesalahan Furuya Satoru dan dia takut untuk menentang Minami.
Mereka bertiga membahas sebentar terkait prosedur eksekusi hukuman mati; saksi mata, jadwal, dan beberapa peraturan yang lain.
“Ada satu hal lagi.”
“Katakan.”
“Bisakah kita ngobrol sesuatu tentang besok?” tanya Tetsu.
“Oke.”
“Apa kau masih punya rencana untuk menemui Najwa?”
“Iya. Saat ini dia masih ada di kota. Dan kami berencana untuk membuat filmnya jam sepuluh pagi. Ya, di sini tempatnya. Kenapa kau menanyakan itu?”
“Aku tidak terlalu setuju dengan rencana itu,” balas Tetsu. Bonjamin menganggukkan kepalanya, pertanda setuju.
“Kenapa?”
“Dia seorang provokator, Minami. Dia kerap membesar-besarkan sesuatu. Aku khawatir dengan akibat yang akan terjadi…”
“Jangan berbicara seolah-olah cuma kau yang tidak setuju, Tetsu.” Bonjamin menyergah.
“Ya, kami khawatir dengan dampak yang akan terjadi usai Kamis malam. Kau mengerti bukan, betapa gusarnya sebagian orang kulit hitam?”
“Kami mengira kalau nanti ada kerusuhan yang akan terjadi,” tambah Bonjamin.
“Aku tidak berniat mencari gara-gara dengan orang kulit hitam. Tapi kalau mereka memulainya, tinggal tangkap saja,” timpal Minami.
“Justru itu situasi yang tepat bagi seorang Najwa, Minami. Dia adalah seorang provokator. Orang media identik dengan menggembar-gemborkan keadaan. Mereka memulai menciptakan kerusuhan, dan begitu kerusuhan terjadi, mereka akan berada di tengah-tengahnya. Upaya itu dilakukan untuk membantu menaikkan nilai acaranya.”
“Yang dilakukan mereka terhadapmu adalah semata-mata karena itu, semua hanya tentang nilai acaranya,” lanjut Bonjamin.
“Haik-haik. Itu membuat kita semua gusar, ya,” sindir Minami.
Sean Najwa merupakan seorang perempuan sekaligus pembawa acara yang berlokasi di Tokyo. Kariernya sangat panjang dalam industri media. Dia menemukan pasarnya di industri televisi dengan meliput kasus-kasus pembunuhan yang sensasional. Pun begitu, dia memiliki perspektif yang kontroversial, dia kerap mendukung terjadinya eksekusi hukuman mati, atau pengusiran-pengusiran para imigran ilegal, mereka semua adalah kelompok yang mudah disasar dan berguna banyak terhadap pesatnya perkembangan industri televisi di tempatnya. Singkatnya, acaranya tidak bisa dibilang orisinil, tetapi Najwa mendapatkan popularitas dan dikenal karena upayanya dalam membuat film-film eksklusif terhadap setiap keluarga korban saat mereka menghadiri eksekusi. Salah satu momen yang membuatnya populer adalah ketika kerja samanya dengan kru teknisnya yang mampu menyembunyikan kamera berukuran kecil dan diseliplkan pada kacamata seorang ayah dari anak laki-laki yang terbunuh di Fukuoka. Untuk pertama kalinya dunia menyaksikan sebuah eksekusi hukuman mati, dan Sean Najwa mempunyai arsip rekaman itu. Najwa menayangkan rekaman itu berulang kali. Dan setiap kali dia menayangkan itu, dia selalu mengungkapkan betapa mudahnya dia melakukan itu, itu terlalu gampang bagi seorang pembunuh sadis.
Tidak lama berselang, di Fukuoka, dia digugat oleh salah seorang keluarga dari laki-laki yang mati itu, dan dia diancam dengan kematian dan sensor. Namun, Najwa tetap bertahan. Semua tuduhan yang dilayangkan padanya tidak mempan. Tentu saja pengadilan lebih cerdas daripada masyarakat biasa. Mereka tidak tahu dengan jelas kejahatan apa yang telah dilakukan oleh Najwa. Atau lebih tepatnya, seluruh tuduhan yang dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan itu tidak masuk dalam tindakan melawan hukum. Kemudian gugatan tersebut dihapus. Tiga tahun setelah kejadian itu, dia bukan merasa trauma sedikit pun, justru dia semakin berada di puncak tumpukan sampah televisi kabel. Lalu saat ini, dia tengah berada di Kanto, sedang bersiap menyusun rencana lain. Menurut desas-desus gosip yang beredar di masyarakat, Najwa telah membayar 500.000 yen pada Minami untuk acara khusus itu. Tentu saja angka-angka itu bukanlah angka sembarangan.
“Tolong pertimbangkan agenda itu sekali lagi,” pinta Tetsu.
“Tidak, Murasakibara. Aku tidak perlu mempertimbangkan lagi. Semua ini untuk Stefa, untuk semua keluargaku, juga untuk para korban di luar sana. Dunia wajib melihat mengenai apa yang telah monster itu lakukan pada kami.”
“Tapi apa untungnya?” sergah Bonjamin. Baik dia dan Tetsu sama-sama tidak mempedulikan telepon yang datang dari tim produksi Najwa.
“Menurutku, kalau hukum tidak bisa berubah, mungkin bisa diubah.”
“Tetapi hukum sedang bekerja dalam kasus ini, Minami. Mungkin benar waktu yang dibutuhkan agak terlalu lama. Tapi menurutku, sembilan tahun tidak terlalu buruk.”
“Kau terlalu banyak bicara tentang kata tidak terlalu dan mungkin. Dua kata itu tidak bisa dirasakan oleh seorang ibu yang kehilangan putri yang sangat dia sayangi. Kau tidak menjalani rangkaian mimpi buruk kami selama sembilan tahun.”
“Jelas tidak. Dan aku tidak mau sibuk berpura-pura untuk memahami apa yang kau rasakan selama sembilan tahun. Namun, mimpi buruk itu tetap tidak akan berakhir Kamis malam.” Itu sudah pasti, apabila Minami ikut campur tangan.
“Kau tidak bisa membayangkannya, Murasakibara. Aku sudah bilang tidak. Sekali tidak, ya, tidak. Aku akan tetap melakukan wawancara dan pertunjukan film dokumenter itu akan tetap berlangsung. Dunia perlu melihat akan seperti apa prosesnya.”
Mereka sudah menduga kalau rencana mereka tidak akan berhasil, mereka tidak terkejut dengan itu. Sekali Minami Stefa membuat keputusan; mutlak. Pembicaraan itu sudah selesai sejak Minami sudah membuat keputusan. Tetsu dan Bonjamin sengaja mengubah taktik.
“Ya, sudah. Kalau begitu terserah kau saja. Dan apalah kau dan Ryusei merasa aman?”
Minami membalas dengan tertawa setengah geli. “Tentu saja, Detektif. Rumah kami dikelilingi pistol. Dan para tetangga selalu siap siaga. Setiap mobil yang melintas, selalu melihat ada senapan di rumah kami. Perkiraanku, tidak akan ada masalah.”
Tetsu dan Bonjamin saling menatap bergantian sebentar.
“Ada beberapa panggilan masuk dari seorang tanpa nama ke kantor polisi. Seperti biasa, orang anonim menyasar kami dengan berbagai ancaman apabila pemuda itu jadi dieksekusi.”
Tawa gelinya tadi kemudian berubah jadi ekspresi yang datar. “Aku yakin kalian bisa menanganinya. Itu bukan wewenangku,” ucap Minami. Dia tidak merasa was-was atau prihatin sama sekali. Sejak dia berjuang sendirian untuk mencetuskan genderang perang, dia lupa seperti apa itu rasa takut.
“Kurasa kita harus mulai mencicil beberapa mobil untuk kita tempatkan di sini selama sisa minggu ini,” usul Bonjamin.
“Terserah kalian. Tidak jadi masalah buatku. Toh meskipun ada pemberontakan dari orang-orang kulit hitam, bukankah pertama-tama mereka mulai menyasar dengan membakar gedung mereka sendiri?”
Dua aparat penegak hukum itu mengedikkan bahu. Keduanya tidak punya banyak pengalaman terkait dengan kejadian kerusuhan. Kanto adalah kota yang minim dengan isu-isu rasial. Pengetahuan mereka berdua terkait isu-isu rasial hanya sebatas apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dan sepengetahuan mereka, kalau kerusuhan yang melibatkan polemik rasial itu kerap terjadi pada daerah kumuh.
Mereka berbicara lagi selama beberapa menit. Dan tiba saatnya mereka berdua untuk pamit. Saling berpelukan sejenak dan berjanji bertemu lagi usai eksekusi. Betapa melegakannya hari itu. Seolah-olah dianggap keadilan telah terwujud.
***
Hari itu, Robert Eijun menghentikan mobilnya tepat di depan kediaman Furuya Satoru. Dia mencoba menguatkan dirinya untuk sebuah pertemuan khusus.
“Sudah seberapa sering kau ke sini?” tanya penumpangnya.
“Entahlah.”
“Sudah terlalu sering sampai kau tidak tahu jumlahnya.”
Eijun membuka pintu. Disusul dengan perempuan itu melakukan gerakan yang sama.
“Aku harus mencobanya,” gumam Eijun.
Nama perempuan itu adalah Martha Tristin. Dia seorang wartawan lepas yang tidak bekerja untuk siapa saja, tapi terkadang dia dibayar oleh majalah-majalah terkemuka. Dia tertarik dengan kasus Furuya Satoru sejak pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Kanto dua tahun silam. Waktu itu bertepatan dengan merebaknya skandal Murasakibara Tetsu. Dia dan Eijun sering menghabiskan waktu bersama. Tentu saja secara profesional—urusan pekerjaan. Memang ada kemungkinan-kemungkinan bahwa banyaknya jam yang sering mereka lalui bersama menjadikan Eijun tertarik padanya. Tapi, kalau bukan karena fakta kesetiaan Eijun pada teman hidupnya yang sekarang—perempuan dengan usia dua puluh tahun lebih muda—mungkin hal itu akan benar terjadi.
Sementara itu, Tristin sudah tidak percaya lagi pada pernikahan. Dia juga tidak terlalu jelas memberikan sinyal—apakah terbuka atau tertutup. Pun beberapa kali keduanya diserang ketegangan seksual, terlihat mereka berdua berusaha bertahan untuk menepis dorongan untuk berkata ya. Dan sejauh ini, keduanya berhasil.
Awalnya, Tristin mengatakan bahwa dirinya tengah menulis buku untuk perjalanan kasus Furuya. Dan sebuah artikel panjang tentang Presumed Innocent. Lalu mengenai kasus populer yang terjadi di Tokyo. Serta satu lagi, dia menggarap skenario film yang akan diproduksi oleh seorang mantan suaminya. Menurut Eijun sendiri, Tristin adalah seorang penulis yang terbilang lumayan, dengan sistem ingatan yang luar biasa. Namun dia termasuk orang yang kurang dalam bidang pengorganisasian dan perencanaan. Seperti apa hasil akhirnya nanti, Eijun memiliki hak veto mutlak. Dan apabila proyek dari Tristin mampu menghasilkan uang meskipun hanya satu sen, dia dan keluarga Furuya Satoru berhak juga mendapatkan bagian. Selama dua tahun bersamanya, Eijun sudah tidak mengharapkan imbalan apapun. Tristin itu, seorang perempuan yang judes nan lucu, blak-blakan, fanatik, membenci luar biasa terhadap orang-orang yang dijumpainya di Kanto. Dia salah satu perempuan langka yang betah bermain poker hingga larut malam.
Ruang tamu itu lumayan sesak. Minami Satoru sedang duduk di kursi piano. Dua saudara Furuya Satoru juga ada di sana. Salah satunya adalah anak laki-laki dari Minami yang sekaligus merupakan kakak sulung dari Furuya, namanya Aomine Satoru—dia sedang duduk di sofa sambil memangku batita. Pun ada Pendeta mereka—Pendeta Hanamiya—sedang duduk di kursi lainnya. Eijun dan Tristin sedang duduk berdempetan di kursi kuno yang diambilkan dari ruang dapur. Tristin sudah sering ke dapur, bahkan pernah memasak di sana ketika Minami sedang demam. Setelah sapaan formal dan kebiasaan berpelukan serta suguhan secangkir kpi, Eijun memulai topik pembicaraan. “Tidak ada sesuatu yang baik hari ini. Besok, dewan pembebasan bersyarat mengeluarkan keputusan. Seperti sebelumnya, tidak ada rekomendasi pengampunan. Kami mengira justru hanya akan ada penolakan, lalu kami mengajukan banding ke Kantor Gubernur hanya untuk mendapatkan penangguhan. Kurang lebih selama tiga puluh hari. Meski kalau bicara kemungkinan, memang akan kecil untuk mendapatkan persetujuan. Tapi, mau tidak mau kita harus tetap berusaha dan berdoa. Dalam situasi seperti sekarang, kita akan dipaksa lebih dekat pada Tuhan untuk mendapatkan mukjizat.” Eijun bukanlah pendoa yang baik, namun di wilayah Kitab Suci Kanto Timur, dia dengan mantap mengetahui apa yang harus dia katakan. Lagipula, dia sedang satu ruangan dengan para pendoa yang berdoa selama dua puluh empat jam sehari, kecuali Martha Tristin.
“Bagian positif yang perlu kami kasih tahu, kami sudah mengadakan kontak dengan Hiro Okada. Dia seorang penyelidik dalam kasus ini. Dia telah melakukan makan siang dengan salah seorang saksi dalam kasus ini yang ikut menyudutkan Furuya Satoru. Hiro menantangnya untuk membicarakan kebenaran dengan memberikan tekanan terkait situasi Kanto sekarang. Sementara itu, dia juga mengikuti perkembangan kasus ini dan dia tahu apa yang dia pertaruhkan. Kami memintanya untuk menandatangani afidavit, sebuah pernyataan pengakuan resmi untuk menarik kembali kesaksian dustanya selama di persidangan. Bagaimanapun juga, kami tetap tidak akan menyerah. Meski begitu, dia masih belum mantap. Dia masih ragu dengan akibat yang ditimbulkan pada Furuya sekalipun dia menandatangani afidavit itu.”
“Lalu gimana jika orang itu menandatangani afidavitnya dan mengatakan hal yang sebenarnya?”
“Paradoks. Ketika dia mengaku, itu berarti secara tiba-tiba dia memberikan kami satu-dua peluru untuk kami tembakkan ke pengadilan. Tetapi, ini sesulit membuktikan perasaan yang berubah secara tiba-tiba. Ketika para pendusta mulai menarik kembali keterangannya, semua orang menjadi curiga. Akan muncul konspirasi baru dari masyarakat. Terutama dari para hakim yang mendengarkan sekian permohonan banding. Terus terang, cara itu memang tidak menjamin kepastian. Sekalipun ada afidavit resmi yang dibawa.” Eijun selalu berterus terang. Terutama ketika berhadapan dengan para kolega dari pihak kriminal.
Minami duduk kaku dan tangan menyangga kepala. Saat ini dia berusia lima puluh enam tahun. Dia terlihat jauh lebih tua dibandingkan dengan orang Jepang pada umumnya. Sejak kematian suaminya, Taiga, lima tahun silam, dia berhenti mewarnai rambutnya dan jarang sekali makan. Dia tampak suram, kurus, dan jarang sekali berbicara. Tap memang pada dasarnya dia pendiam. Taiga yang selama ini selalu tampil di depan layar, yang selalu berkoar-koar, si penggebuk, sementara Minami berperan sebagai pendamai, dia yang menyejukkan setiap kepongahan yang disebabkan oleh suaminya itu. Baik Minami maupun Taiga, juga semua keluarga Furuya, tetap meyakini bahwa dalam hal ini Furuya tidak bersalah. Meski dulu Furuya kerap berusaha untuk mencederai para penggiring bola dan para gelandang bertahan lawan. Dan dia cukup tangguh untuk membela timnya. Padahal sesungguhnya, dia adalah seorang laki-laki lembek, seorang melankolis yang tidak berani mencelakai seseorang yang tidak bersalah.
“Besok, aku dan Tristin akan pergi ke Miyazami untuk menjenguk Furuya. Kalau kalian sudah menulis surat atau ingin menitipkan apapun, aku bisa sekalian membawanya,” tutur Eijun.
“Aku besok ada janji untuk bertemu Wali Kota. Juga dengan beberapa pendeta lain. Kami berencana untuk mengungkapkan keprihatinan kami terhadap apa yang akan terjadi di Kanto apabila Furuya dieksekusi.”
“Keadaannya akan semakin memburuk.”
“Kau benar. Orang-orang di sini akan semakin bengal,” celetuk Aomine.
“Eksekusi dilakukan Hari Kamis, kan?”
“Benar. Pukul enam sore.”
“Nah, kapan tepatnya kau tahu pasti kalau eksekusi itu benar-benar akan dilakukan?” tanya Akame.
“Hal-hal seperti biasa dilakukan melalui siaran telepon. Karena para pengacara akan bertarung sampai detik terakhir.”
Akame Satoru merupakan anak perempuan Minami. Sekaligus menjadi adik perempuan Furuya Satoru. Dia memandang waswas ke arah Aomine. Kemudian berkata lagi, “Akan aku beritahu satu hal, Eijun. Bahwa sesudah perintah eksekusi itu akan dilaksanakan, banyak orang di sebelah kota sini punya rencana untuk berhamburan di setiap kota. Mereka akan memenuhi jalanan. Akan ada kericuhan. Dan begitu kericuhan itu terjadi, mungkin situasinya menjadi tak terkendali.”
“Baiknya, seluruh kota dipersiapkan untuk berjaga-jaga.”
“Itu salah satu saran yang akan kami sampaikan ke Wali Kota. Dia harus melakukan sesuatu,” timpal Hanamiya.
“Orang itu hanya bisa bereaksi. Dia tidak punya kuasa apa-apa tentang eksekusi ini. Dia tidak akan bisa melakukan apapun,” ucap Eijun.
“Apakah dia tidak bisa menelepon atau melobi Gubernur?”
“Tentu saja dia bisa. Tapi jangan berharap banyak bahwa dia mampu menentang eksekusi itu. Kalau pun dia berbicara dengan Gubernur, mungkin hanya sebatas upaya untuk menentang penangguhan. Wali Kota itu adalah produk Kanto asli, dia menyukai hukuman mati.”
Tidak ada satu orang pun di ruangan itu yang menyukai Wali Kota. Eijun mencoba mengalihkan topik pembicaraan jauh dari topik kekerasan. Ada beberapa hal penting yang juga perlu dibahas mendetail. “Berdasarkan peraturan dari Lembaga Kemasyarakatan, kunjungan keluarga terakhir akan dilangsungkan pukul delapan pagi hari Kamis di Unit Miyazaki, sebelum nantinya Furuya akan dipindahkan ke Kanto.” Eijun menambahkan lagi. “Aku tahu bahwa kalian semua ingin sekali bertemu dengan Furuya. Sebaliknya juga, Furuya begitu ingin bertemu dengan kalian. Tapi jangan sampai terkejut bila nanti kunjungan kalian tak sekadar dari kunjungan biasa setiba kalian di sana. Dia akan ditempatkan di balik sisi selembar kaca akrilik. Sementara pengunjung entah itu keluarga dekatnya sekalipun, akan ditempatkan di sisi yang lain. Kalian akan berbicara dengannya melalui telepon. Memang tidak masuk akal peraturannya. Tapi ya, demikian adanya di Kanto.”
“Termasuk pelukan dan ciuman?” tanya Akame.
“Tidak. Ada peraturan khusus tentang itu.”
Minami mulai sedu-sedan. Dia menangis, isaknya menderu. Air matanya yang besar berjatuhan. “Aku tidak bisa memeluk putraku,” katanya sambil terisak-isak. Salah seorang memberinya tisu dan menepuk pundaknya, mencoba menguatkan. Minami mencoba menyingkapi kabar itu dengan semakin menguatkan dirinya. “Maafkan aku…”
“Kau tidak perlu meminta maaf, Minami,” ucap Eijun. “Kau seorang ibu di mana putramu hendak dieksekusi mati untuk suatu perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Kau berhak menangis. Bila aku yang di posisimu, aku akan menjerit-jerit dan menembaki setiap orang yang sudah jelas-jelas terlibat dalam penyudutan ini.”
Akame bertanya lirih, “Bagaimana dengan eksekusi itu sendiri, Eijun? Siapa saja yang diperbolehkan hadir?”
“Ruangan saksi mata itu dibagi menjadi dua. Satu untuk keluarga korban, satu sisi lagi untuk keluarga tahanan. Dimodifikasi secara terpisah. Semua saksi mata diminta berdiri. Tidak akan ada tempat duduk. Ada jatah lima kursi, mereka lima, kalian juga dapat lima. Sisanya akan diberikan kepada para pengacara, pejabat penjara, beberapa anggota pers, dan beberapa orang lain yang memiliki kepentingan dalam jalannya kasus ini. Aku juga akan hadir di sana. Minami, sejauh yang kau ketahu, Furuya tidak menginginkanmu ada di sana. Sekalipun nanti kau akan menjadi saksi mata.”
“Maafkan aku, Robert,” timpalnya sambil menyeka ingusnya. “Kita sudah pernah membahas ini sebelumnya. Dan maafkan aku. Aku ada di sana ketika dia lahir, dan aku juga harus di sana ketika menjelang kematiannya. Dia mungkin tidak tahu, atau mungkin sengaja, Dia pasti membutuhkanku di sana. Aku akan tetap datang dan menjadi saksi mata.”
Robert Eijun tidak ingin mendebat. Dia hanya berjanji untuk bertemu lagi besok malam.