Ivan muncul dari balik dapur dengan membawa dua cangkir kopi hitam di gelas-gelas kertas, juga satu kotak tisu. Harry menyambar tisu selembar, dan menyeka wajahnya yang penuh dengan air mata. “Terima kasih, Pendeta.”
Ivan duduk kembali di kursi bagiannya. “Apa yang menimpanya?”
Harry bergeming, dari matanya seolah-olah menyiratkan kalau dia menghitung sampai sepuluh sebelum menjawab, “Aku masih memilikinya.”
Ivan berlagak dirinya akan siap menerima apapun jawaban yang dilontarkan oleh Harry, tapi semakin diulur-ulur, semakin Ivan juga mulai takut dengan kemungkinan jawabannya. Dengan jawabannya barusan, apakah Bella Stefa masih hidup? Tidak mungkin. Harry telah menghabiskan sekitar enam tahun terakhir di penjara. Bagaimana mungkin di saat yang sama dia menyembunyikan atau bahkan menyekap seorang gadis? Dia pasti sudah gila!
“Di mana dia?” tanya Ivan setengah menggertak.
“Terkubur.”
“Di mana?!”
“Hokkaido.”
Ivan menarik napas berat, “Begini, Harry, jawaban-jawaban satu kata ini membuat kita pasti semakin lama di sini. Kau awalnya datang ke kantorku pagi ini untuk suatu alasan, yaitu mengakui perbuatanmu. Tapi semakin ke sini, kau semakin terlihat ketakutan sendiri. Kau terlihat tidak sanggup mengumpulkan keberanian, itu sebabnya aku kemari. Ayo katakan saja, apapun itu. Yang terburuk sekalipun.”
“Kenapa kau peduli?”
“Agaknya kau bisa menjawabnya sendiri. Seseorang tidak bersalah akan dihukum mati untuk perbuatan yang sudah kau lakukan. Kemungkinan masih ada waktu untuk menyelamatkannya.”
“Sejujurnya, aku tidak begitu yakin.”
“Apa kau benar-benar pembunuh Bella Stefa?”
“Ini konfidensial, Pendeta?”
“Itu maumu sendiri.”
“Iya.”
“Kenapa kau tidak langsung mengaku saja? Membuat afidavit atau semacamnya, dan berusaha menolong Furuya Satoru. Itu yang semestinya kau lakukan, Harry. Kau kerap bilang bahwa hidupmu tak lama lagi. Bukankah sangat riskan untuk mengulur-ulur?”
“Konfidensial atau tidak?”
Ivan menghirup napasnya dalam-dalam untuk kesekian kali, kemudian membuat kesalahan tak sengaja dengan menyeruput sedikit kopi itu; Harry ternyata benar.
“Kalau itu maumu, baiklah.”
Sebuah senyuman disusul cedutan. Dia memandang sekeliling, hanyut dalam obrolan membuat keduanya lupa kemungkinan sedang dimata-matai. “Aku melakukannya, Pendeta. Aku tidak tahu kenapa.”
“Kau menculik gadis itu di lapangan parkir?”
Harry kembali memeras kepalanya, seperti hendak ingin meremuknya sekalian. Sakit kepalanya kembali menghantam bagaikan petir yang tiba-tiba menjalar. Rahangnya mengeras, bibirnya masih terus berusaha menganga untuk melanjutkan cerita. “Aku menculiknya, lalu membawanya pergi ke suatu tempat. Kami meninggalkan Kanto. Aku menawannya selama beberapa hari. Lalu kami b********h. Kami…”
“Kau tidak b*********a, kau memerkosanya.”
“Iya, berulang kali. Kemudian aku menghabisinya, dan menguburnya.” Harry tercenung sekejap. “Aku mencekiknya dengan sabuknya, dan sabuk itu sampai sekarang masih melilit lehernya.”
“Setelah itu kau menguburnya?”
“Iya.” Harry sambil memandangi foto itu, dan Ivan hampir saja melihat senyuman terukir di bibir seseorang yang ada di depannya.
“Di mana kau menguburnya?”
“Di Shibuya, tempatku tumbuh besar. Banyak bukit, cerukan, jalanan yang biasa dilalui truk-truk pengangkut kayu-kayu gelondong. Dia tidak akan pernah ditemukan. Aku sampai merasakan betapa depresinya para penyelidik itu mencarinya dan tak kunjung ditemukan.”
Ivan tidak menimpali lama sekali. Sepertinya dia terlalu percaya diri ketika mengatakan kalau dia akan siap dengan kemungkinan jawaban terburuk. Sementara dia terpaksa meresapi kenyataan yang sungguh memuakkan itu. Namun, dia masih punya pemikiran kalau ada kemungkinan Harry berdusta, akan tetapi Ivan tidak terlalu bisa memaksa dirinya untuk mempercayai itu. Sebab keuntungan apa yang didapatnya dengan berdusta dari semua pengakuannya itu? Apalagi dilihat dari kondisinya kalau ajalnya sudah di depan mata.
Lampu-lampu dapur mulai dipadamkan karena sudah mulai sepi, musik rap di radio sudah tidak lagi menggema. Tiga laki-laki kulit hitam bertubuh besar berjalan melintasi bangsal. Mereka mengangguk kecil kepada Ivan dan hanya melirik saja pada Harry. Pintu kembali ditutup dari luar.
Ivan mengambil salinan foto yang sudah mengering itu. Dia membaliknya dan menuliskan sesuatu di kertas itu. “Bagaimana dengan sedikit latar belakang, Harry?”
“Tentu saja. Toh, aku tidak punya pekerjaan lain.”
“Apa yang kau lakukan di Kanto?”
“Bekerja untuk sebuah perusahaan yang bernama R.S Kaijo. Sebuah perusahaan konstruksi. Mereka terikat kontrak untuk membangun sebuah gudang di daerah barat Kanto. Aku dipekerjakan sebagai buruh kasar, dan hanya itu yang aku dapatkan. Mereka membayarku kurang dari upah minimum, dibayar secara tunai, tidak ada transkrip gaji. Enam puluh jam satu minggu, satu tarif, tidak ada asuransi, tidak ada keahlian. Percuma memeriksa perusahaan itu, karena tak ada catatan resmi bahwa aku pernah jadi salah satu pekerjanya. Aku menyewa kamar di sebuah motel tua di sebelah barat Kanto, namanya Nishiyama Onsen. Coba saja periksa, kemungkinan motel itu masih ada. Lima ribu yen seminggu. Pekerjaan itu berlangsung selama lima atau sampai enam minggu. Suatu hari aku melihat lampu-lampu, menemukan lapangan parkir di halaman belakang SMA, membeli tiket, dan duduk bersama penonton yang lain. Dan tidak mengenal siapa pun. Mereka menonton pertandingan futbol. Sementara aku, memperhatikan para personil pemandu sorak. Aku menyukai pemandu sorak. Selalu, tidak tahu kenapa. Susah dihilangkan. b****g-b****g mungil mereka yang lucu, rok-rok mini, celana ketat yang kerap kali tersingkap. Mereka melompat, melambung dan saling melempar bergantian, mengamati itu dengan detail sehingga kau bisa melihat banyak sekali. Mereka kerap terlihat sebagai pemeran sampingan dalam sebuah pentas atau pertandingan futbol, tapi dengan memperhatikan mereka sebagai pentas utama itu sesuatu yang beda. Mereka ingin kau lihat. Itulah saat-saat aku jatuh cinta pada Stefa. Dia ada di sana untukku, memperlihatkan dan memamerkan semua yang dia punya. Aku tahu sejak awal kalau dia adalah orangnya.”
“Korban berikutnya.”
“Benar, korban berikutnya. Oleh karena itu, di hari yang sama, pada hari Jumat ketika aku menonton pertandingan-pertandingan futbol yang lain, aku tidak pernah duduk di tempat yang sama untuk kedua kalinya, pun tidak pernah memakai baju yang sama. Juga tidak luput topi, aku menggunakan topi yang berbeda. Orang-orang sekarang pintar, mampu dengan sendirinya mengingat penampilan orang lain, termasuk dari hal-hal yang dirasa menurut orang itu sepele. Seolah-olah dengan sendirinya aku merasa ada dorongan. Semakin hari semakin kuat.” Dia menyeruput kopinya kemudian bibirnya mengecap, disusul keningnya mengkerut.
“Apa kau melihat Furuya Satoru?”
“Mungkin. Aku lupa. Aku memang datang ke pertandingan futbol itu, tapi aku tidak terlalu memperhatikan pertandingan itu, tidak melihat apa pun selain Stefa. Kemudian Stefa menghilang, bertepatan dengan selesainya musim pertandingan futbol. Aku menjadi putus asa. Stefa mengendarai BMW merah, keren sekali, kemungkinan satu-satunya di kota ini, jadi tidak sulit buatku mencarinya. Aku mendapatinya malam itu, dia memarkir mobilnya di halaman parkir belakang mal. Seperti biasa, dia suka dengan tempat-tempat ramai. Aku menebak mungkin dia akan menonton film. Aku terus menunggu. Ketika keadaan memaksaku sabar, aku bisa. Secara kebetulan, masih ada ruang di sebelah mobil BMW-nya Stefa. Aku turut memakirkannya di sana.”
“Kau punya mobil? Apa mobilmu?”
“Sebuah pickup Chevrolet tua, aku mencurinya di Chiba. Aku memundurkan mobil itu ke lapangan parkir tepat di sebelah mobilnya Stefa dan menyejajarkan pintu mobilku dengan pintu mobilnya. Ketika dia berjalan memasuki jebakan itu, aku langsung menyergapnya. Aku memiliki pistol dan segelintir tali, itu sudah cukup. Dan aku tidak menimbulkan suara sedikit pun.”
Harry mengutarakan cerita-cerita itu dengan lengkap secara leluasa, seperti sedang membangun sebuah adegan dalam film.
Air matanya sudah lama berhenti dan mengering bersama pelipisnya. “Itu mungkin menjadi akhir pekan yang sangat buruk bagi Stefa. Di sisi lain aku juga merasa kasihan padanya.”
“Aku tidak sungguh-sungguh ingin tahu cerita itu secara detail,” sela Ivan. “Tapi berapa lama kau tinggal di Kanto setelah kau membunuh gadis itu?”
“Aku rasa beberapa minggu. Lewat Natal, menginjak Januari. Aku membaca surat kabar harian lokal, semilir mendengarkan berita malam dari radio. Sebagian besar berita dihebohkan karena adanya peristiwa pembunuhan Stefa. Mendengar isak tangis dari ibunya yang terekam oleh wartawan radio itu, rasanya sedih sekali. Diberitakan setiap hari bahwa selalu ada regu pencari, dan semakin hari semakin ramai. Sementara wartawan, kru televisi mengejar mereka dari belakang. Dasar i***t. Stefa berada sekitar tiga ratus kilometer jauhnya, sedang tidur bersama para malaikat,” pungkasnya sambil tertawa geli.
“Tentunya kau tidak menganggap hal itu lelucon.”
“Maaf, Pendeta.”
“Lalu bagaimana setelah kau mendengar penangkapan Furuya Satoru atas dugaan keterlibatannya dalam kasus itu?”
“Ada sebuah kedai kecil yang jorok di dekat motel. Entah orang lain mungkin masih menyebutnya restoran. Aku setiap pagi suka ngopi di sana. Suatu waktu aku mendengar seseorang sedang membicarakan tentang kasus yang sedang gempar itu. Mereka bilang salah seorang pemain futbol telah mengaku, seorang pemuda kulit hitam. Aku membeli sebuah surat kabar, duduk di dalam mobil pickup, kemudian membaca cerita itu dan berpikir. Dasar i***t! Aku tercenung. Sedikit tidak percaya. Ada foto polisi Satoru, seorang bocah tampan, aku mengingat wajahnya dan mengira kalau dia pasti tidak waras. Kalau dia masih waras, untuk apa dia mengakui sebuah perbuatan melawan hukum yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan? Itu sedikit membuatku jengkel. Dia pasti sudah gila. Pasti! Kemudian aku membaca berita terbaru esok harinya bahwa pengacaranya membantah dengan keras tentang semua tuduhan. Gencar menyerang jaksa penuntut umum dan pengadilan bahwa semua pengakuan itu palsu. Bagaimana polisi bisa memanipulasi kasus ini dengan membuat pertahanan seorang pemuda kulit hitam itu goyah, lantas terpaksa membuat pengakuan yang tidak masuk akal. Penyataan itu bagiku juga masuk akal. Aku tidak pernah satu pun percaya pada polisi. Atau memang polisi yang membuatnya tidak pantas untuk tidak bisa dipercaya. Seluruh masyarakat Kanto menegang dan seperti akan meledak. Orang-orang kulit putih seakan-akan ingin segera menggantung pelakunya di jalanan. Sementara orang-orang kulit hitam yang lain masih percaya pada sesama rasnya itu bahwa dia kemungkinan sudah dijebak. Banyak perseteruan di sekolah-sekolah. Di sisi lain, aku dipecat dan terpaksa musti pindah.”
“Alasan kenapa kau dipecat?”
“Karena bodoh. Aku kerap begadang di bar. Polisi menangkapku karena aku mengemudi dalam kondisi mabuk. Ditambah mereka mengenali pickup yang aku bawa pada saat itu, pun surat-suratnya yang juga aku curi. Aku merelakan waktuku seminggu di penjara.”
“Di Kanto?”
“Iya. Periksa saja, bulan Januari 2002, aku didakwa melakukan pelanggaran sensasional, mengemudi dalam kondisi mabuk, dan sebab-sebab lain yang bisa mereka gencarkan padaku.”
“Apakah pada waktu itu Furuya Satoru juga ditempatkan di penjara yang sama sepertimu?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah melihatnya. Tapi sering kali aku mendengar desas-desus kalau dia ditempatkan di wilayah lain demi alasan keamanan. Di penjara, bersama desas-desus kasus Furuya Satoru, aku menjadi lebih sering tertawa. Aku lebih sering memaki polisi-polisi itu di dalam hati. Polisi-polisi itu sangat bodoh. Mereka repot-repot membayangi Satoru ke sana- ke mari untuk mengamankannya. Padahal pembunuh yang sebenarnya sudah mereka tangkap, tapi mereka sama sekali tidak sadar.”
Ivan membuat beberapa catatan. Tapi, mendengar Harry yang bercerita sambil cekikikan, membuatnya tidak percaya dengan apa yang sedang ditulisnya. “Lalu bagaimana kau keluar?”
“Mereka menyerahkanku pada seorang pengacara. Dia mampu menjaminku dengan membayar sebagian dari uang jaminan yang sebenarnya adalah tugasku untuk memenuhinya. Setelah itu, sebagai balas budi, aku membayarnya dan keluar dari Kanto, dan tidak pernah kembali. Aku berkelana tanpa tujuan. Setelah itu tertangkap di Saitama.”
“Apa kau masih ingat nama pengacaramu itu?”
“Apa kau masih memeriksa sejumlah fakta, Pendeta?”
“Tentu saja.”
“Apa kau masih menganggap aku sedang berdusta?”
“Tidak. Tapi tidak ada salahnya kalau aku juga mengecek sejumlah fakta.”
“Aku tidak ingat namanya. Mungkin karena aku terlalu banyak mendapatkan pengacara. Aku tidak pernah membayar mereka satu yen pun.”
“Penangkapan di Saitama itu juga karena percobaan p*********n, kan?”
“Ya, semacam itu. Berusaha melakukan p*********n seksual. Ditambah penculikan. Tapi tidak ada seks. Aku tidak berhasil. Gadis itu bisa bela diri. Sejauh itu tidak ada hal-hal yang sesuai dengan harapanku. Dia menendang selangkanganku dan aku muntah selama dua hari.”
“Aku baca hukumanmu selama sepuluh tahun. Kau sudah menjalani enam, dan sekarang kau ada di sini.”
“Bagus sekali, Pendeta. Kau mengerjakan tugas rumahmu dengan baik.”
“Apa kau masih mengikuti kasus Furuya Satoru?”
“Aku terus memikirkannya selama bertahun-tahun. Awalnya kupikir para pengacara dan persidangan akan mengetahui bahwa dia tidak bersalah. Maksudku, karena aku berpikir bahwa pengadilan-pengadilan Kanto mempunyai integritas yang lebih tinggi daripada pengadilan kota lain dalam hal memeriksa ulang kasus-kasus dan semacamnya, aku mengira dia sudah bebas. Setelah bertahun-tahun dan terus menerus terbayang dengan kasus itu, aku mengira aku akan bisa melupakan semuanya. Tapi, ada masalah-masalah pribadi yang justru aku pikirkan.”
“Bagaimana dengan gadis itu? Kau juga menghabiskan waktumu untuk memikirkannya?”
Harry tidak langsung menjawab. Waktu semakin merayap maju. Dan sepertinya dia memang tidak akan menjawab. Sementara Ivan terus menulis, membuat poin-poin penting untuk dirinya sendiri sehingga nanti dia mengetahui tentang apa yang harus dia lakukan berikutnya. Tapi tidak ada yang pasti. Semua hanya cerita-cerita. Tidak ada subjek dan objek yang jelas.
“Apa kau tidak pernah bersimpati sedikit pun dengan keluarganya?”
“Jelas-jelas orang sepertiku tidak akan membuang-buang waktu untuk sekadar bersimpati.”
Ivan menggeleng-geleng dengan tampang sebal.
“Tapi kau jangan salah menilaiku, Pendeta. Aku mempunyai begitu banyak penyesalan dalam hidupku. Aku berharap untuk bisa berhenti melakukan hal-hal buruk itu. Aku ingin bisa normal. Aku sudah tidak ingin melukai orang lain. Entah bagaimana aku harus menjalani hidup setelah ini, aku ingin menjauhi penjara, dan mendapatkan pekerjaan seperti orang-orang normal pada umumnya. Sekali lagi, aku tidak ingin terus-menerus seperti ini.”
Ivan melipat kertas yang berisi beberapa catatan kecilnya dan sengaja memasukkan kertas itu ke dalam saku mantelnya. Dia melipat tangan di depan d**a dan menatap serius Harry. “Menurutku kau tega, Harry. Kau duduk diam, sementara keadaan semakin menegang terus di Kanto.”
“Tidak. Aku tidak menyengajai soal itu. Aku hanya tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Dan bagaimana kalau misalnya mereka menemukan mayat gadis itu? Kau telah memberitahuku di mana dia dikubur, dan aku akan menghubungi seorang kenalan yang ada di sana untuk membantu mencari mayat gadis itu.”
“Kau sungguh yakin untuk melibatkan diri?”
“Tidak juga. Tetapi aku bakal lebih terganggu kalau misalnya aku diam begitu saja.”
Harry kembali dengan kebiasaannya. Mencondongkan badannya dan mulai meremas-remas kepalanya. “Mustahil bagi siapa pun untuk menemukannya.” Suaranya kembali memecah. “Aku juga tidak yakin apa aku bisa menemukannya. Sementara kejadiannya sudah sangat lama berlalu.”
“Delapan tahun.”
“Sembilan.”
Toksoplasmosis itu menyergap kepalanya sejenak lalu rasa sakit itu berakhir. “Tapi aku masih sempat menjenguknya beberapa kali usai dia meninggal.”
Ivan mengangkat kedua tangannya. “Aku tidak mau mendengar soal itu. Sepertinya aku bisa langsung menghubungi pengacara Furuya Satoru dan memberitahunya tentang mayat gadis itu. Tenang saja, aku tidak akan menyebut namamu.”
“Lalu apa setelahnya?”
“Aku tidak tahu. Aku bukan pengacara. Selanjutnya ya, terserah pengacara itu nanti.”
“Satu-satunya orang yang bisa menemukan Stefa adalah aku. Hanya aku. Sementara aku tidak bisa meninggalkan rumah singgah ini. Seperti ada batas teritorial yang harus aku patuhi. Kalau aku nekat dan akhirnya ketahuan, mereka aku mengira aku melanggat aturan pembebasan bersyarat dan bisa-bisa mengirimku lagi ke penjara. Kau tahu, Pendeta, aku sudah tidak mau lagi kembali ke penjara.”
“Apa bedanya, Harry? Toh, setelah ini kau akan mati. Anggap saja itu sebagai penebusan dosamu.”
Harry menjadi diam, seperti sibuk menyelami pikirannya sendiri dan mulai mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. Dia menatap Ivan lekat-lekat, dengan mata gersang tanpa mengerjap. Dia mulai bersuara dengan suara pelan, “Pendeta, aku tidak mau mengakui tindakan pembunuhan.”
“Kenapa tidak? Setidaknya kau punya sekian riwayat kejahatan tak kalah brutalnya. Kau menghabiskan sebagian besar hidupmu di penjara. Pun kau mengidap toksoplasmosis yang akan menggerayangi usiamu dan kau akan mati. Kenapa kau tidak mempunyai keberanian untuk mengakui secara resmi? Lagipula, orang tidak bersalah akan dihukum mati karena ulahmu.”
“Ibuku masih hidup.”
“Di mana dia tinggal?”
“Shibuya.”
“Siapa nama ibumu?”
“Kau akan menghubunginya, Pendeta?”
“Tidak. Aku tidak mau mengganggunya. Siapa namanya?”
“Yukie Kazuya.”
“Dia tinggal di Jalan Hirohito, kan?”
“Bagaimana kau…”
“Ibumu sudah meninggal tiga tahun lalu, Harry.”
“Hah? Bagaimana kau…”
“Google hanya butuh sepersekian menit untuk bisa menemukan identitas ibumu.”
“Google? Apa itu?”
“Sebuah fasilitas pencari di internet. Dusta apa lagi yang akan kau katakan? Berapa banyak kebohongan yang sudah kau katakan padaku hari ini?”
“Kalau aku berbohong, mengapa kau kemari?”
“Aku tidak tahu. Tetapi itu sebuah pertanyaan yang bagus. Kau telah mengutarakan banyak cerita dan kau mempunyai sejumlah catatan kriminal yang buruk. Sementara kau tidak punya keberanian membuktikan apapun.”
Harry mengangkat pundaknya seolah-olah tidak pedulu. “Aku tidak perlu membuktikan apapun. Aku bukan terdakwa kali ini.” Matanya menyipit.
“Kartu sasana olahraga dan kartu pelajarnya ditemukan di sungai merah. Bagaimana mungkin itu sama dengan yang kau ceritakan?”
“Waktu itu ponselnya ada di dalam dompet. Begitu aku menyergapnya, benda kualat itu tidak mau berhenti berdering, terus-menerus berbunyi. Aku kesal dan mengambil dompet itu darinya dan melemparkannya keluar jembatan. Tapi aku tetap menawan Stefa. Aku sangat membutuhkannya. Gadis itu mengingatkanku pada istrimu yang manis, Pendeta.”
“Tutup mulutmu, Harry!” sergah Ivan. Sebelum lepas kendali, dia masih berusaha menarik napas panjang agar bisa menahan diri. “Kau tidak perlu membawa istriku dalam hal ini.”
“Maaf, Pendeta.” Sambil setengah cekikikan. “Kau ingin bukti lain, Pendeta? Coba kau lihat ini.” Sebuah cincin emas dengan sebutir permata biru dikaitkan pada kalung yang melilit lehernya. Harry mengeluarkan cincin itu dari kalungnya dan memberikan cincin itu pada Ivan. Cincin itu tipis dan kecil, seukuran jari perempuan. “Ada tulisan BF di salah satu sisinya,” kata Harry sambil meringis. “Bella Stefa. Di sisi lainnya tertulis SMA Kanto 2002. SMA Kanto tercinta.”
Ivan meremas kuat cincin itu dan menatapnya setengah tak percaya.
“Kau tunjukkan cincin itu pada ibunya, pasti dia akan langsung menangis,” katanya. “Satu bukti lagi yang aku miliki, Pendeta. Bukti yang akan menggemparkan seluruh masyarakat Kanto. Yaitu Stefa sendiri. Semakin aku memikirkannya, semakin aku tidak ingin mengganggunya.”
Ivan meletakkan cincin itu di atas meja dan langsung disambar oleh Harry. Setelah itu dia memundurkan kursi, meraih tongkatnya dan berdiri. “Aku tidak suka disebut pembohong, Pendeta. Pulanglah dan bersenang-senanglah dengan istrimu yang cantik itu.”
“Pembohong, p*******a, pencuri, pembunuh, dan pengecut. Mengapa kau tidak berniat melakukan satu saja hal baik dalam hidupmu, Harry?! Sebelum akhirnya tubuhmu membusuk.”
“Jangan menggangguku.” Kemudian dia sudah menghilang dari balik pintu.