28. Kembali Ke Rumah

1176 Words
Sepenjang perjalanan pulang dari pesta hingga tiba di rumah, Elin hanya diam. Ibu bisa mengerti saat ini putrinya memendam berbagai rasa, kecewa, marah, sedih yang mungkin ingin diluapkan namun ia memilih meredam dan menelannya sendiri. Padahal Ibu sudah mempersiapkan diri menerima penghakiman Elin atas segala yang diperbuatnya tanpa persetujuan lebih dulu. Tapi ternyata Elin terus membisu membuat Ibu semakin merasa bersalah. “Elin kita perlu bicara bukan begitu?” Ajak Ibu saat malam sudah amat larut itu. “Apa Ibu tidak lelah? Sebaiknya kita bicarakan esok hari.” Elin menolak, ia tidak ingin melihat wajah Ibu setidaknya untuk sisa waktu hari ini. Rasanya bila bicara sekarang Elin bisa lepas kendali berkata kasar karena marah pada Ibu. Elin tidak inginkan itu. Ibu menahan Elin kembali ke kamar. “Tidak sayang... Ibu sudah menunda pembicaraan ini padamu sejak kita pindah rumah. Ibu pikir kamu perlu fokuskan diri dengan sekolah barumu dan lingkungan baru untuk beradaptasi, lalu juga selama masa ujianmu Ibu menahan diri.” “Sejak pindah?” Batin Elin. “Apa mungkin kepindahanku juga karena pertunangan ini?” Elin tak kuasa menahan tanya. “Itu benar, Athur yang menyarankan untuk kamu pindah sekolah dan membantu kita untuk memulai awal baru di kota ini.” Ibu membawa putrinya untuk duduk bersama. “Tapi kenapa Bu? Kenapa harus bertunangan, lebih lagi Ibu tidak pernah mengatakannya padaku?!” Pertanyaan yang terus menggerogoti pikiran Elin sepanjang malam akhirnya terucap juga. “Seperti Ibu katakan padamu, Ibu mencemaskanmu Nak.” Ekspresi wajah sedih Ibu, membuat Elin merasa bersalah karena menuntut penjelasan. “Ibu menunggu untuk memberitahumu hingga masa ujian sekolahmu berakhir. Tapi semakin lama Ibu menunda semakin berat untuk disampaikan hingga akhirnya Ibu kehilangan kesempatan itu.” Yang Iki katakan benar, Elin mendesak Ibu hanya akan berbalik melukainya. Ibu membelai wajah Elin dengan kasih. “Maafkan Ibu sayang... Ibu seharusnya mengatakan padamu lebih cepat. Ibu tidak punya pilihan dengan kondisi keluarga kita. Dan saat itu Athur datang pada Ibu... Kami membicarakan kembali janji masa lalu yang Ayah buat dengan keluarga mereka.” “Janji?” Ya, untuk Elin cerita ini baru pertama kali ia dengar. “Iya... Perjodohan ini adalah janji mendiang ayahmu bersama Athur, papa Iki.” Dengan sabar dan perlahan Ibu menjelaskan untuk putrinya. “Saat menjelang akhir hidup ayahmu, Athur tidak sempat bertemu karena sedang mengembangkan bisnisnya di timur tengah. Ia sangat menyesal, kehilangan kesempatan berada di sisi ayahmu untuk terakhir kali.” Setiap orang pasti memiliki penyesalan dalam hati kecil mereka pada sosok yang telah pergi lebih dulu. “Lalu Jeanne masih mengingat pembicaraan Athur dengan ayahmu jauh saat kalian masih sangat kecil. Ibu setuju dengan keinginan Ayah, dan kami sepakat untuk memenuhi janji itu sekarang.” Maka dimulailah rencana pertunangan Iki dan Elin, meski status hubungan mereka sebatas diumumkan di hadapan tamu undangan. Karena status Iki dan Elin yang masih pelajar, mereka baru bisa memberitakan pada publik janji dan komitmen serius kedua belah pihak antara orang tua Iki pada keluarga Elin. “Semua Ibu lakukan untuk kebaikanmu Nak, dan untuk mendiang ayahmu...” Curang, Elin merasa Ibu menggunakan kelemahannya untuk mencapai tujuan. Bila Ibu katakan itu semua demi memenuhi keinginan Ayah saat masih hidup dan telah tiada kini, apa yang bisa Elin perbuat... Itukah mengapa Iki berkata pada Elin untuk membiarkan semua berjalan sesuai kehendak orang tua mereka, karena jika Elin menolak ia hanya akan berakhir menjadi anak pembangkang. Ibu adalah wanita yang mandiri, kuat, berpendirian teguh, cerdas, hangat dan dapat diandalkan. Itu sebagai statusnya single parent yang berkarir. Apapun pandangan orang di sisi Elin, Ibu hanyalah orang tua yang penuh kasih sayang dan terkadang lemah sampai menitikan air mata. Antara Ibu dan Elin tidak ada rahasia, mereka saling mengerti dan memahami luar dalam. Itu yang selalu Elin pikirkan sampai dengan di malam ini. Dan kini sedikit demi sedikit hidup mereka mulai berubah ke arah yang belum bisa Elin bayangkan. *** Elin tidak terpikirkan harus mempersiapkan mentalnya ketika pergi ke sekolah pagi ini. Pandangan orang-orang yang melihatnya lebih intens ia terima dari pada saat menjadi siswa pindahan beberapa bulan lalu. Apa ini karena acara pesta semalam, Elin hanya bisa menduga alasan ketertarikan penghuni SOPA pada dirinya yang sudah sempat mereda padahal. Dan belum lagi dengan rumor yang beredar secara liar, semakin didengar hanya membuat Elin semakin stres. “Evelin... Semalam aku mencarimu karena belum sempat ucapkan selamat.” Sapa Resca ketika mereka sudah berada di dalam kelas. “Selamat atas pertunanganmu ya...” Tidak, sejujurnya Elin merasa tidak perlu diberi selamat. Tapi ucapan selamat lebih baik dari pada rumor jahat. “Ahahaha...” Elin hanya bisa bereaksi canggung menerima ucapan selamat Resca. “Jadi kamu juga hadir tadi malam?” Elin mencari topik pembicaraan. “Ya, tentu saja. Seluruh keluarga besar SOPA juga turut hadir aku rasa.” Terang Resca untuk Elin. Acara pesta seperti semalam memang ajang untuk mereka berkumpul dan bersenang-senang. Bila ada yang absen justru akan menjadi bahan pembicaraan. “Seluruhnya menjadi tamu undangan malam tadi?” Elin mungkin tidak mendengar perkataan Athur malam tadi saat menyapa tamu karena pikirannya membeku. “Kenapa bisa? Jadi seluruh sekolah sudah tahu?” Elin ingin sekali menghilangkan keberadaan dirinya saat ini. “Ah, kamu pasti tidak tahu tentang ini ya.” Resca bisa mengerti karena Elin bukan asli berasal dari SOPA. “Relasi keluarga besar SOPA itu saling terhubung satu sama lain. Entah itu rekan bisnis, hubungan kerabat, partner politik, atau besan seperti kasus yang terjadi padamu dan Iki, lalu masih banyak lagi. Jadi di SOPA semua saling mengenal dan tidak ada rahasia yang selamanya rahasia.” “Aku tidak tahu sama sekali sampai jauh ke sana.” Elin harus mengingat baik-baik apa yang Resca katakan, dan mengambil pelajaran. “Itu wajar karena kamu bukan berasal dari SOPA. Sekarang karena kamu sudah menjadi tunangan dari salah satu orang terpenting di SOPA, haruskah aku tuntaskan menjelaskannya padamu? Itu pun jika kau inginkan.” Resca menawarkan informasi akurat dan terpercayanya sebagai reporter koran sekolah. Elin tidak yakin apakah itu diperlukan, tapi karena memang ia sudah terlanjur terjerumus dalam kesepakatan pertunangan dengan Iki dan telah menjadi bagian SOPA. Elin pikir ia harus tahu hal mendasar, ingat kenali musuhmu. “Bisa jelaskan padaku lebih banyak?” Pinta Elin. “Hmm, baiklah coba kupikirkan dulu harus memulainya dari mana...” Terlalu banyak yang bisa Resca ceritakan pada Elin. Tapi infomasi yang lebih dibutuhkan Elin saat ini adalah hal yang terkait seputar tunangannya Iki. Resca langsung teringat, “Tunggu, kau tahu empat sekawan?” “Ya, aku pernah mendengarnya dari Riga. Mereka yang mendirikan club penelitian.” Walau Elin tidak tahu empat sekawan yang Riga ceritakan itu siapa saja. Riga hanya menyebutnya sebagai sahabat. “Ah benar juga, kau anggota club penelitian ya. Wah! Berarti sejak awal kamu memang ditakdirkan untuk bersama dengan Iki.” Karena jika berbicara tentang Iki maka empat sekawan tidak bisa terlepas dalam bagian hidup dan keseharian Iki. “Hus!! Sembarangan.” Elin jelas menolak tegas anggapan itu. Tunggu, hal yang serupa juga pernah Elin dengar dari Riga tentang sebuah kebetulan. “Ah tunggu, saat itu club penelitian beranggotakan lima orang.” Resca memulai ceritanya dari kelima anggota penelitian...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD