27. Kesepakatan

1195 Words
Elin menatap Iki dengan penuh keseriusan, sementara lawan bicaranya itu di mata Elin terlalu santai menangani permasalahan ini. Elin mulai gelisah. “Kamu setuju untuk melanjutkan? Kau sadar dengan keputusanmu itu?! Bagaimana jika hubungan ini berlanjut sampai―” Iki tertawa sangat keras, sampai Elin merasa tersinggung. Tanpa Elin harus menyelesaikan perkataannya, Iki tahu apa yang Elin takuti. “Apa yang kau cemaskan!? Kita ini masih SMA. Percaya padaku, hubungan ini akan berakhir seperti yang sudah-sudah.” “Maksudmu seperti hubungan pertunanganmu yang sudah-sudah, kau mencoba pamer di sini?” Singgung Elin membalas tawa Iki yang lantang. Ya, karena Iki seorang pria tidak mengerti keresahan hati wanita. “Hei!” Iki tersulut. Sikap tenang dan santainya telah hilang dari raut wajah itu. “Apa pun yang kamu dengar dari Riga, kamu mendapat informasi dari sumber yang keliru. Kenapa tidak kau tanyakan langsung padaku saja jika memang penasaran.” Cibir Iki penuh percaya diri. Ia sangat yakin pasti saat ini banyak hal yang membuat Elin penasaran pada dirinya. Sekarang posisi Elin yang mundur bersandar pada sofa. “Sudah pernah kukatakan bahwa aku tidak tertarik.” Iki tidak ingin kalah. Merasa posisinya lebih unggul, Iki tersenyum licik. “Oh ya? Lalu kenapa kau memintaku untuk menjelaskan dari awal hingga akhir semua yang kuketahui.” Mata Elin membelalak karena mendapat serangan telak. “Itu hanya tentang pertunangan. Kau sendiri yang mengatakan padaku untuk kenali siapa musuhmu.” Dengan cepat Iki membalas ucapan Elin. “Lantas kau sendiri?! Kau bilang akan menangkapku. Apa maksudmu menangkapku dalam pernikahan dengan menjadi tunanganku? Itu rencanamu?” “Dasar gila!” Maki Elin. Apa Iki itu punya gejala seorang psycopat, bagaimana bisa ia menghubungkan masalah yang terjadi di sekolah dengan situasi saat ini, pikir Elin. Keduanya terdiam dan keheningan sesaat hadir. Tidak seharusnya mereka saling serang karena berada di situasi yang sama. Mereka harus mencapai kesepakatan dan menunda persoalan pribadi agar menemukan jalan keluar. “Tenangkan dulu dirimu.” Pinta Iki karena mereka sama-sama tersulut emosi. “Yang aku coba katakan kepadamu adalah pertunangan ini kesepakatan di antara orang tua kita. Biarkan mereka melakukan apa pun yang mereka inginkan, sesuai kehendak mereka.” Elin mendengarkan dengan penuh perhatian. “Jangan buang waktumu dan menjadi anak pembangkang sampai menyakiti perasaan orang tuamu karena menentang hal ini. Selama kita bisa memainkan peran dengan baik dan saling sepakat, kita akan menemukan jalan keluar untuk mengakhiri hubungan ini tanpa menyakiti pihak mana pun.” “Apa maksudmu?” Semua yang Iki ucapkan terdengar masuk akal hanya saja Elin masih belum memahami seluruhnya. Cara ini adalah metode sukses Iki dalam mengakhiri hubungan tetap damai tanpa perselisihan dari pertunangan yang lalu-lalu. Tentunya Iki belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya. Iki mengajak Elin untuk bekerjasama pada hubungan pertunangan mereka. Biarlah pertunangan yang sudah terjadi tetap berjalan hanya sebatas status, kenyataannya itu memang hanya sebatas status yang melekat pada mereka dalam pandangan orang sekitar. Dalam keseharian tidak memberi pengaruh dan tidak ada yang berubah. Iki sangat yakin dan tahu jelas tentang ini. “Jangan mempersulit diri dengan berpikir terlalu jauh. Selama hubungan kita saling benci seperti sekarang ini, bukankah hasilnya sudah jelas! Kita tidak cocok satu sama lain hingga harus mengakhiri pertunangan. Meski alasan itu tidak harus kita berikan sekarang.” Iki melanjutkan penjelasannya. “Apa itu cara rahasiamu selama ini menghadapi situasi serupa?” Elin bukan bertanya karena penasaran tapi tidak mengira Iki berbuat sampai sejauh itu. Bagaimana Elin mengatakannya, sangat berniat dengan segenap hati menggagalkan pertunangan. Elin merasa bisa menaruh kepercayaan pada Iki dengan rencana ini. “Bukan itu yang harus kamu fokuskan. Dengar!” Tubuh Iki condong maju ke depan hingga mentok dengan tepi meja. “Agar pertunangan ini gagal, kita tidak boleh saling menyukai satu sama lain.” Saat itu Iki keliru, siapa yang bisa mencegah perasaan seseorang tumbuh ketika benih tanpa sadar telah bersemayam. “Kutegaskan sekali lagi, jangan suka padaku jika kamu sepakat untuk kita melakukan rencana ini.” “Tidak akan terjadi dalam mimpi sekalipun!” Kata Elin percaya diri. “Kukembalikan perkataan itu padamu.” Iki menimpali. Mereka berdua sama-sama merasa amat yakin dan percaya diri tidak akan saling menyukai satu sama lain karena hubungan buruk mereka saat ini. “Kruuuk...” Suara dari perut Elin berbunyi. Waktu menunjukkan hampir pukul 10 malam dan Elin memang belum sempat santap malam, bukan belum sempat tapi lebih tepat tidak berselera. Iki mendengar dengan jelas suara yang dihasilkan perut Elin, semua terlihat dari tawa menyebalkannya. “Kau lapar?” “Itu,” Alasan apa yang bisa Elin berikan agar tidak terdengar menyedihkan. “Karena pikiranku sudah tenang sekarang perutku jadi lapar.” Iki tersenyum dan mengangguk memaklumi. “Sungguh! Aku tidak biasanya seperti ini.” “Aku tidak mengatakan apa pun, kenapa kau memberi alasan seperti orang yang berbuat salah begitu?” Iki merasa terhibur dengan tingkah laku Elin. “Bukan berbuat salah tapi karena malu, bodoh.” Maki Elin dengan suara lemah. “Hei, aku masih bisa mendengarmu.” Iki mengawasi Elin dengan tatapan tajam, namun gadis di hadapannya sama sekali tidak terintimidasi. “Mau kembali ke pesta?” Ajak Iki. Elin ragu sebelum menjawab. “Tidak. Aku ingin tetap di sini.” Samar terdengar, suasana pesta masih ramai meski hari semakin larut malam. “Aku akan kembali, akan kubawakan beberapa hidangan yang mudah untuk kamu makan.” Padahal Elin tidak meminta Iki untuk mengurusnya, “Aku juga harus memberitahu Tante tentang keberadaanmu sebelum beliau mencari kemana-mana.” Iki tidak ingin membuat orang tua Elin cemas karena anaknya lama menghilang dari pandangan mata. “Terima kasih...” Lagi Elin mengucapkan dengan suara lebih lemah dari sebelumnya. “Ya, aku masih bisa mendengarmu.” Senyum picik Iki kembali, merasa puas karena Elin mengakui usahanya. Lalu ia berlalu pergi kembali ke tempat pesta. Apa boleh buat Elin membiarkab Iki merasa demikian, memang ia bersyukur atas perhatian Iki yang begitu perduli pada dirinya dan lebih lagi pada Ibu. Apa yang membuat Elin bersyukur, patut untuk ia syukuri terlepas dari rasa gengsi. Bukan sekali atau dua kali Iki melakukannya di malam ini. Ya, jika Elin menghitungnya, mulai dari keberanian yang Iki berikan di hadapan tamu undangan. Mencegah Elin hampir malu terjatuh di tempat pesta, menjemputnya di luar dengan membawakan sepatu yang nyaman untuk Elin kenakan. Lalu sekarang Iki juga perduli pada isi perut Elin yang menuntut haknya, hingga perhatian yang Iki berikan pada Ibu sementara Elin sendiri lalai. Sekarang bila dipikirkan kembali, Iki tidaklah seburuk itu sebagai seorang anak dibandingkan citranya di sekolah. Lantas yang Elin lihat sosok Iki di sekolah itu apa? Apa ada alasan yang tidak Elin ketahui di balik perilaku Iki di sekolah. “Anak seperti apa Iki itu sebenarnya, kenapa di rumah dan di sekolah sikapnya sangat berbeda.” Elin juga sudah melihat perilaku Iki dalam lingkar pertemanannya yang ekspresif, lebih banyak menunjukkan isi hatinya. “Apa sikap agresifnya di sekolah itu juga konsep? Atau sikap di rumah yang konsep?” Elin bilang tidak tertarik pada Iki itu jelas bohong besar, hanya di mulut saja agar Iki tidak besar kepala. Tapi dari kejadian panjang malam ini yang telah merubah jalan hidupnya. Elin merasa lebih mengenal dan semakin dekat dengan Iki, walau seharusnya ia membatasi diri agar tidak melanggar perjanjian kerjasama dengan Iki untuk membatalkan pertunangan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD