0. Prolog
Prolog
Dua minggu lalu...
“Tok-tok...” Terdengar suara pintu ruangan diketuk. Seseorang berdiri di depan ruang bertuliskan ―Kepala Sekolah, menunggu pemilik ruangan membalas sapaannya. “Ya masuk.” Suara pimpinan sekolah menggema, diikuti pintu ruangan yang terbuka. Seorang guru pria memasuki ruangan menghadap kepala sekolah yang kini berpindah dari balik meja kerjanya. Terlihat berwibawa dengan tatapan mata dan wajah serius berjalan menuju guru pria itu, yang kini gugup berdiri kaku.
“Bapak ingin bertemu dengan saya?” Tanya guru itu merasa bingung. Secara dirinya sampai diminta datang ke ruang pimpinan, meski ia sendiri masih belum tahu karena alasan apa.
“Mari duduk, ada yang ingin saya sampaikan.” Ajak pimpinan sekolah sekaligus atasannya itu, bermaksud membuat suasana lebih santai. Sang guru hanya mengangguk menuruti perintah atasannya masih dengan berselimut tanya. Sebuah dokumen yang sedari tadi berada dalam genggaman tangan kepala sekolah, mendarat di permukaan meja. Tanpa diminta, guru tersebut memahami bahwa lembaran kertas di depannya harus ia terima, buka dan lihat saat itu juga. Terdapat sebuah data pribadi seseorang tercantum di sana dengan jelas dan terperinci. Dimulai dengan nama, asal, tanggal lahir, gender, alamat dan seterusnya.
“Murid pindahan?!” Gumam sang guru pada dirinya sendiri. Selama bekerja di sekolah tersebut, belum pernah ia menangani kasus murid pindahan dari sekolah lain. Mengapa, karena alasannya sekolah tempat ia bekerja tidak pernah menerima siswa pindahan dari luar. Setidaknya itu yang terjadi selama 3,5 tahun karirnya bekerja di sana. Mengapa demikian, karena sekolah ini adalah sekolah elit yang hanya berisikan anak-anak dari kalangan sosial kelas atas. Siswa yang bersekolah di sini hanyalah mereka yang sejak tingkat kanak-kanak telah bersekolah di sana dan tetap meneruskan bersekolah di sana pada jenjang tingkatan lebih tinggi setelahnya.
“Saya harap Anda bisa memberi perhatian dan support yang dibutuhkan pada anggota baru keluarga besar sekolah tercinta kita ini.” Pesan kepala sekolah dengan seulas senyuman tipis.
Kini guru itu semakin penasaran pada sosok calon murid baru di kelasnya itu. Siapa dia gerangan, memilih pindah di tengah semester berlangsung. Terlebih lagi bisa diterima masuk bersekolah di sana yang terkenal ketat pada seleksi bibit-bebet-bobot kandidat siswa. Hanya ada dua kemungkinan, murid pindahan ini benar-benar maha kaya raya atau ia benar-benar siswa super berotak encer. Lebih memungkinkan lagi bila kedua jawaban itu benar.
“Ada apa pak Aryan?” Tanya kepala sekolah melihat salah satu guru pengajar terpercaya di sekolahnya tidak menunjukkan reaksi atau pun memberi tanggapan setelah melihat dokumen itu.
“Ah! Tidak apa Pak, hanya... Baru kali ini saya menangani siswa pindahan.” Kepala sekolah tersenyum menganggukan kepala lemah. Banyak hal yang ingin Aryan tanyakan, hingga lama memutuskan. “Apa anak ini berasal dari keluarga dengan latar belakang khusus Pak?” Kepala sekolah hanya diam menghadapi pertanyaan itu. “Atau ia memiliki prestasi luar biasa dalam akademik?” Dua pertanyaan Aryan tidak mendapat jawaban.
Keadaan sesaat menjadi canggung bagi Aryan, gugup menanti respon atasannya itu. Sekaligus merasa cemas karena tampaknya ia salah telah mengajukan dua pertanyaan tadi. Semua terbaca jelas dari jeda waktu yang berjalan dan sikap diam kepala sekolah sebelum berkata, “Anda hanya perlu camkan bahwa permasalahan kepindahan siswa ini adalah permintaan langsung dari donatur utama sekolah kita pak Aryan. Jadi saya harap Anda bersikap dengan BAIK dan TANPA KESALAHAN apa pun.” Sorot mata kepala sekolah penuh karisma cukup mengintimidasi Aryan hingga tengkuknya terasa hawa dingin, ditambah dengan kalimat penekanan seperti itu.
“B-Baik Pak, saya mengerti.” Segala rasa penasaran Aryan langsung sirna tentang anggota baru yang akan bergabung di kelasnya itu. Siapa pun dia, yang perlu Aryan lakukan adalah tetap bekerja seperti selama ini tanpa menimbulkan permasalahan apa pun.
“Anda bisa kembali sekarang.” Perintah kepala sekolah meminta Aryan meninggalkan ruangannya.
“Baik, saya permisi...” Tanpa buang waktu Aryan undur diri dengan dokumen kepindahan siswa baru yang akan menjadi anak didiknya itu. Akan terjadi kehebohan lain di sekolah nanti begitu siswa baru itu bergabung menjadi bagian keluarga besar sekolah ini. Aryan dapat memprediksi itu secara jelas dan ia harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang.
***
Satu hari sebelum sekolah dimulai...
Siang hari, saat sinar matahari terasa benar-benar terik menyengat. Proses pindahan rumah itu berjalan tanpa masalah atau kendala. Ini pengalaman pertama bagi ibu dan anak pindah rumah dan bukan hanya itu, lingkungan rumah baru mereka adalah kota yang benar-benar asing. Meski hanya terdiri dari ibu dan seorang putri, keluarga kecil ini menetapkan pilihan untuk tinggal di kota yang asing. Demi memulai lembaran baru perjalanan hidup mereka, sebagai kesempatan kedua yang datang.
“Kamu sudah cek semua? Tidak ada yang tertinggal?” Sang ibu memastikan perkembangan keadaan putrinya yang sedang membongkar barang di kamar.
Beberapa box dalam keadaan terbuka, kekacauan di dalam kamar bisa terlihat diberbagai penjuru. “Tidak ada Bu.” Gadis itu melihat sekeliling memastikan lagi satu persatu muatan box yang sudah diacak olehnya sendiri. “Aku rasa...” Ralatnya pada ujung pernyataannya sendiri, tidak yakin pada ingatannya yang mungkin bisa saja keliru.
“Maafkan Ibu karena tidak bisa mengurus kepindahan sekolahmu dengan benar, masih banyak yang harus Ibu selesaikan di toko kita El.” Dengan kelembutan Ibu menyentuh pipi putrinya mencoba menghadirkan dukungan keberadaan masing-masing. Di saat yang sama merasa sangat bersalah karena tidak bisa memberi perhatian lebih, melepas putrinya mengurus proses kepindahaan sekolah seorang diri.
“Aku tahu Bu, semua itu karena Ibu ingin agar bisnis bisa segera berjalan seperti semula.” Usaha keluarga mereka bergerak di bidang F&B, ada juga cabang usaha baru toko pastry yang baru saja dikembangkan. Ibu mencoba terjun di dunia yang dulu menjadi jalur karir pendidikannya jaman sekolah.
“Terima kasih atas pengertiannya nak...” Ibu tersenyum bangga pada putri semata wayangnya―Evelin, yang tetap tegar pada kesulitan hidup dalam situasi apa pun. Kepindahan keluarga mereka ke kota ini memang terbilang terjadi secara mendadak. Tidak pernah sebelumnya mereka memiliki rencana untuk pindah. Kalau saja bukan karena sesuatu alasan yang amat mendesak, juga keadaan yang memaksa mereka untuk pergi.
“Jadi, kapan grand opening toko yang baru Bu?” Tanya Elin penasaran. Karena sama seperti ibunya, Elin yang terlalu sibuk menangani kepindahan sekolah tidak bisa bantu-bantu di pembukaan toko.
“Segera sayang... Kalau saat itu kamu sibuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru jangan paksakan diri untuk datang.” Larang Ibu, merasa cemas Elin akan memaksakan diri. Padahal Elin juga perlu waktu untuk fokus beradaptasi pada kehidupan sekolah barunya.
“Kenapa? Sejak kecil aku suka resep cake, roti, cookie buatan Ibu. Hari itu aku ingin makan sepuasnnya!” Elin berpikir dari pada ia merasa kesepian di lingkungan sekolah baru, lebih baik ia hang-out di toko bersama Ibu hitung bantu-bantu mengusir rasa bosan berada di rumah sendiri.
“Haha... Kamu tidak berencana membuat toko kita merugi di hari pertama buka ‘kan sayang?” Goda Ibu. Keluarga kecil mereka mungkin memang terasa sepi dan dingin dengan hanya kehadiran ibu dan anak. Tetapi Ibu dan Elin tidak ingin menjadikan alasan itu sebagai kelemahan mereka. Justu karena hanya tinggal mereka berdua saat ini, keduanya harus bisa saling menguatkan, saling mengisi, dan saling menjaga. Bagi Elin tidak ada siapa pun lagi di dunia ini yang bernama keluarga selain beradaan ibu, hanya ibu yang Elin miliki seorang.
***
Kondisi landasan sirkuit skala motor GP hari ini terasa lebih panas dari ruang sauna. Tapi keadaan itu sama sekali tidak menjadi kendala bagi taruhan balap motor yang tengah berlangsung. Di luar sirkuit ramai terdengar sorak-sorai dukungan, sebagaian besar dari penonton. Sisa bagian kecil dari masing-masing team. Salah satunya team Iki yang dihadiri hanya sebagian dari anggota geng motonya. Mahdi terlihat cemas, berulang kali menatap layar smartphone-nya. Selain itu matanya juga sibuk mengawasi dari kejauhan landasan pacu, mengamati dengan tajam satu motor yang melaju cepat memimpin jalannya pertandingan.
Ponsel di tangannya bergetar, layar ponsel menampilkan panggilan masuk. Dengan segera Mahdi menerima panggilan, suara sapaannya terdengar lantang. “WIL!!” Namun kemudian tidak ada kata yang terucap lagi. Bibir Mahdi terasa kering, begitu juga tenggorokan karena rasa tegang dan cemas. Bola mata bergetar masih terus mengawasi motor di sirkuit balapan.
“Jangan cemas! Tidak akan terjadi apa pun. Kau pantau terus situasinya, aku usahakan untuk cepat sampai di sana.” Ujar seorang di seberang sambungan telepon. Mahdi menganggukan kepala meski tidak akan terlihat oleh lawan bicaranya. Setelah menerima telepon itu gejala paniknya agak sedikit berkurang.
Pertandingan balap mendekati akhir, hanya tersisa satu lap. Mahdi keluar dari ruang kaca VVIP menuju bench sisi sirkuit untuk bergabung dengan yang lain. Bayang insiden 3 bulan lalu merasuki benak dalam setiap ayunan langkahnya. Dia mencoba tetap tenang, berpegang kepercayaan pada kata-kata Wildan di telepon tadi. Belum sempat sampai ke luar gedung, langkah kaki Mahdi berbelok arah. Rupanya seorang yang ditujunya telah berpindah tempat, bukan seperti dalam bayangannya. Mahdi sudah cukup merasa tenang dan lega sesuatu yang ia takuti tidak menjadi kenyataan.
Riuh sorak kemenangan memenuhi ruangan tempat Iki dan geng berada, termasuk Mahdi berada di sana turut bergabung berdiri diam di dekat Iki―orang yang ia cemaskan sepanjang pertandingan berlangsung. Saat semua orang tengah terhanyut dalam euforia. Pintu ruangan dibuka secara kasar menimbulkan suara hantaman keras hingga membuat seisi ruangan hening, berpaling melihat ke arah pintu. Seseorang berjalan dengan amarah di raut dan sorot mata. Begitu sampai di depan sahabatnya, Wildan langsung menyentak kasar. “IKI!! Apa-apaan ini semua?!! Kau sudah berjanji untuk tidak balapan lagi.”
Iki langsung tahu siapa dalang yang telah mengadukannya, Mahdi tidak punya pilihan. Sama halnya dengan apa yang dikhawatirkan Wildan, Mahdi juga tidak ingin apa pun terjadi lagi pada Iki. Jika hanya Mahdi seorang diri, ia tidak yakin bisa mencegah Iki. Begitu yang terjadi pada upayanya di awal lalu, sebelum Iki turun ke sirkuit. Mahdi gagal mencegah Iki untuk tidak bertaruh dalam balapan motor.
“Ini bukan balapan tapi taruhan Wil. Kau ingin sekolah kita diremehkan sekolah lain? Lihat apa yang kumenangkan!” Iki memamerkan plakat nama club motor sekolah lain yang berhasil ditahlukkannya pada tanding barusan. Isi taruhan mereka adalah club motor yang kalah kali ini harus membubarkan diri. “Aku juga berusaha keras menjaga kehormatan sekolah kita.” Iki maksudkan menjaga dengan caranya sendiri. Martabat dan gengsi adalah segalanya dalam persaingan antar sekolah.
Wildan tahu Iki sengaja menyinggungnya dengan bicara tentang kehormatan sekolah. Wildan mencoba tenang, mengatur napas untuk mengontrol amarahnya. Sementara mereka ―geng Iki yang berada di ruangan cukup tahu diri untuk tetap diam, sejak Wildan masuk dengan membanting pintu. “Iki aku paham dirimu, rasa kecewamu... Tapi bukan sudah saatnya kamu melupakan―”
Iki mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Wildan tanda peringatan, hanya ia seorang yang berani melakukan itu pada Wildan. “Kau tidak akan pernah bisa memahaminya Wil, TIDAK AKAN PERNAH!” Iki ingin menunjukkan bukan hanya Wildan yang bisa marah, Iki bisa lebih murka dari ini. Dengan sangat baik dan bersabar selama ini Iki menahan segala amarah, mengerahkan seluruh upaya dengan berbagai cara. Wildan tidak tahu apa pun, ia tidak akan meminta Iki untuk melupakan bila berada di posisinya...
***berlanjut