22. Tujuan Pesta

1405 Words
Iki sudah biasa berdiri seperti manekin terpajang di samping kedua orang tuanya seperti ini saat menyambut tamu. Bukan pekerjaan yang sulit hanya saja Iki merasa bosan dan malas mengenakan topeng senyuman kapitalis untuk berbasa-basi. Semua orang yang hadir di pesta sudah saling mengenal satu sama lain dengan baik sejak lama sampai tidak ada yang namanya rahasia. Lantas mengapa harus basa-basi menyambut, menyapa, bertukar kabar lagi untuk membuang waktu dan energi, begitu pendapat Iki. Dengan kata lain Iki merasa jenuh dengan yang namanya pesta. “Jeanne, Athur, aku tidak terlambat ‘kan?” Sapa belinda. “Oh! Ini dia yang kita tunggu-tunggu Pa. Akhirnya sampai juga...” Seru Jeanne pada Athur―papa Iki. “Sama sekali tidak terlambar, kalian tepat waktu!” Jeanne tidak bisa menutupi suasana suka cita hatinya malam itu. “Apa kabarmu Bel? Senang kita bisa berkumpul lagi...” Sapa Athur menyambut kedatangan Belinda. “Aku juga merasakan hal yang sama.” Belinda tiba-tiba merasa haru, karena meski mereka berhasil berkumpul bersama, tetap kekurangan akan kehadiran ia yang sudah tiada merasuki Belinda. Rasa kesepian dan kerinduan. “Tidak... Jangan bersedih Bel, malam ini seharusnya menjadi hari kita berbahagia.” Ucap Athur, mensyukuri kesempatan yang datang padanya. Akhirnya setelah sekian lama ia bisa memenuhi janjinya. “Benar, jika kamu ingin menangis. Menangislah karena air mata bahagia.” Hibur Jeanne. Belinda menghapus butir air mata yang menggenang di ujung matanya. Iki yang mendengar pembicaraan orang dewasa itu, jatuh tenggelam dalam pemikirannya hingga terlambat menyadari sapaan Mama. “Iki ayo beri salam.” “Selamat malam Tante...” Iki tersenyum menawan. “Ooh... Kamu terlihat tampan sekali Nak, haruskah aku memberimu selamat juga?” Canda Belinda mencairkan suasana haru biru tadi. Iki tersenyum sepantasnya sementara orang dewasa tertawa ceria. “Lalu tokoh utama kita seorang lagi di mana?” Tanya Athur. “Ah benar, lihat apa yang kulupakan karena gugup.” Ucap Belinda. “Elin, kemari...” Panggilnya. Iki sudah sejak tadi sebenarnya menemukan keberadan Elin, saat Elin tengah bicara dengan Riga. Ya, mau tidak mau malam itu Iki memusatkan perhatiannya pada Elin. Karena seperti yang Papa bilang seorang lagi tokoh utama pada acara malam ini adalah Elin. Evelin yang menjadi partner Ikizhi di acara pesta malam ini. Dengan sangat hati-hati, langkah perlahan Elin tiba dengan selamat di sisi Belinda. “Selamat malam Om dan Tante, perkenalkan saya Evelin...” Tutur Elin penuh satun. “Evelinnn..” Peluk Jeanne erat. “Akhirnya Tante ketemu juga...” Meski Elin bingung dengan sambutan yang berlebihan tapi ia harus bisa mengikuti suasana. “Cantik sekali kamu sayaaang...” “Iya, jauh lebih cantik aslinya dari pada foto.” Komentar Athur. “Bukan begitu Ki?” “Itu karena make-up Pa, di sekolah wajah aslinya persis seperti di foto.” Gumam Iki. Papa menyikut Iki agar berhenti dengan komentar kekanakannya. Elin mendelik menatap Iki karena rasanya ia bisa mendengar apa yang Iki katakan dari ekspresi wajah menyebalkan itu meski sebenarnya tidak. Hanya prasangka kuat Elin mengatakan Iki sedang menjelekkannya diam-diam. “Ma, sebaiknya kita mulai acaranya saja sekarang.” Athur mengalihkan topik. Jeanne setuju. “Iya, semua sudah siap jadi kita bisa mulai acaranya.” Dan sesi menyambut tamu diakhiri. Athur meminta MC maju membawakan acara. Lalu ia, Jeanne dan Belinda menempati meja paling depan, mereka duduk bersama. Elin hendak turut bergabung duduk di sebelah Ibu. Tapi Iki mencegahnya pergi. “Ke sebelah sini...” Bimbing Iki pada Elin menuju meja mereka. “Eh?” Elin bingung. “Kalau kau susah berjalan, biar kubantu.” Iki menawarkan tangannya untuk Elin pegang. “Apa ini trik baru? Jebakan?” Curiga, hal yang pertama muncul di benak Elin pada kebaikan Iki. Tapi ia tidak bisa berdiam diri lama, atau meluangkan waktu menganalisis sikap ramah-tamah Iki padanya di tengah situasi ini. Mengacuhkan tawaran Iki apalagi menolaknya dengan semua perhatian dan tatapan orang-orang yang sudah mulai menempati meja masing-masing akan terlihat lebih buruk lagi. Elin menyambut uluran tangan Iki, menerima bantuannya. Meski masih merasa curiga sekaligus bingung dengan perlakuan Iki yang sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Iki bersikap lembut terlebih lagi membantu Elin. Belum berhenti di sana, Iki bahkan sampai membantunya dengan mengatur kursi saat Elin hendak duduk. “Aahh, aku mengerti sekarang. Dia sedang memainkan konsep a real man di depan para tamu undangan.” Pikir Elin yang akhirnya menemukan jawaban dari misteri perlakuan berbeda Iki. Hanya mereka berdua yang duduk menempati meja itu, Iki dan Elin. Sementara Elin lihat meja tamu undangan yang lain terisi lebih banyak orang. Elin tidak mengerti mengapa mereka duduk terpisah, tapi karena yang mengajaknya tuan rumah sendiri maka Elin hanya manut mendengar arahan Iki. Suara MC yang bicara lewat volume mic mendominasi suasana sekitar. “Kenapa kau datang malam ini?” Kata Iki. “Akhirnya keluar juga sifat aslinya.” Pikir Elin saat mendengar nada suara sinis Iki kembali. Apa karena acara sudah dimulai dan suasana sekitar bising dengan suara pemandu jadi Iki kembali pada sikap normalnya, sikap permusuhan. “Aku datang tentu saja karena diundang. Percayalah, kalau bisa memilih aku juga tidak ingin datang.” “Ya, seharusnya kau tidak datang.” Ketus Iki. Elin mulai kesal. “Apa boleh buat ‘kan! Ibu yang memintaku dan aku tidak bisa menolak.” “Aku juga sudah mencoba untuk menolak, tapi sejak dulu aku juga tidak punya pilihan.” Tutur Iki. “Kamu menolak untuk menghadiri pesta? Atau mengadakan pesta?” Alasan yang mana yang Iki maksudkan dengan ucapannya. “Tapi kenapa? Orang tuamu terlihat senang dan bahagia. Walau aku bisa mengerti mengapa kau tidak suka suasana pesta.” Karena Elin juga tidak menyukai pesta. “Bukan hanya suasana pestanya, tapi juga tujuan dari pesta ini.” Sambung perkataan Iki. “Tujuan?” Elin bertanya bingung. Iki tercengang, sesuatu terasa tidak beres. “Kau tidak tahu pesta ini untuk apa?” “Mana aku tahu! Yang membuat pesta ‘kan keluargamu. Aku hanya tamu undangan.” Seru Elin. Saat ini Iki tampak konyol di matanya. Iki menarik napas dalam, tangannya menumpu beban kepala di atas meja dengan wajah menatap lantai. Elin semakin bingung melihat reaksi Iki. Dengan nada putus asa Iki bicara. “Aku kira pembicaraan kita satu arah. Dan aku pikir kau juga tahu situasinya.” Tapi ternyata Iki salah. Elin tidak tahu apa pun, sama seperti dirinya yang baru diberitahu pagi tadi saat persiapan pesta. *** Di tengah persiapan pesta berlangsung pagi ini, Papa dan Mama meminta Iki turun dari kamar untuk menemui mereka di ruang kerja Papa. Bila keluarga sudah berkumpul di ruang kerja, maka topik pembicaraan serius yang akan hadir. Orang tua dan anak itu duduk saling berhadapan. Athur merasa bingung harus memulai pembicaraan serius itu dari mana. Iki bisa melihat Papa dan Mamanya saling melempar tanggung jawab untuk membuka pembicaraan. Karena tidak ingin membuang waktu, Iki yang memulainya lebih dulu. “Papa dan Mama sampai memanggilku ke ruang kerja ini, pasti masalah serius. Ada apa?” Athur tersenyum bangga. “Anak Papa memang pintar. Kalau begitu Papa bisa sampaikan langsung kepadamu―” “Tunggu!” Tahan Iki, ia sudah mendapat firasat buruk saat melihat Papa mengeluarkan selembar foto di antara selipan lembar buku jurnalnya. “Kamu benar. Ini tentang pertunanganmu berikutnya.” Terang Mama tanpa Iki pinta. Jeanne gelisah melihat reaksi penolakan tegas Iki yang bahkan sebelum topik tunangan itu sendiri terucap. “Pa, Ma! Bisa kalian berhenti menjodohkanku seperti ini?! Lagi pula aku masih SMA.” Iki tidak kaget lagi tapi muak karena selalu dipasangkan dengan seseorang yang tidak ia kenal, bahkan dengan orang yang belum tentu cocok kepribadian dengannya. “Calonmu juga masih sama-sama SMA.” Di mana letak permasalahannya pikir Papa mematahkan argumen Iki. “Apa kalian tidak kapok, dengan pertunangan-pertunangan sebelum ini yang selalu gagal.” Tutur Iki, yang lalu kemudian langsung menyadari jawabannya. Orang tuanya tidak pernah kapok, karena memilih calon dan memasangkan anak semata wayang mereka adalah satu kesenangan dan kebahagian tersendiri yang mereka nikmati setiap prosesnya. Terlepas dari bagaimana hasilnya berakhir seperti apa. Dan Iki sadari dengan pasti, ia tidak bisa merenggut hak itu dari orang tuanya. “Kali ini tidak akan gagal Iki... Papa dan Mama akan berusaha semaksimal mungkin. Asalkan kamu juga setuju melakukannya.” Bujuk Mama meyakinkan. “Kalau begitu aku menolak!” Kata Iki tegas dan jelas. “Tapi Iki acara pertunanganmu nanti malam dan undangan sudah disebar.” Kata Papa. Iki berdiri. “Apa?! Maksud Mama-Papa pesta malam nanti itu?” “Iya, itu pesta pertunanganmu.” Kata Athur dan Jeanne kompak. Iki tercengang merasa tertipu dan dihianati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD