23. Untuk Pertama Kali

1510 Words
Bagaimana bisa Papa dan Mama memberitahu Iki tentang pesta pertunangannya sendiri di hari pesta itu diadakan. Tidak, lebih tepatnya lagi Iki tidak tahu kalau ia punya calon tunangan. “Bukan itu pesta Papa-Mama dan relasi bisnis?” Sejauh ini itu yang Iki ketahui bahwa orang tuanya membuat acara pesta untuk relasi bisnis. “Untuk apa kami mengundang relasi bisnis kalau tidak ada tujuan acaranya Ki.” Athur tetap terlihat kalem saat menghadapi Iki yang sedang emosional. “Tapi kalian baru katakan ini sekarang padaku?!” Harus dengan cara apa Iki lampiaskan rasa ketidakadilan ini. Papa-Mamanya sudah bertindak lebih dari batas toleransi. Siapa yang bisa menerima keputusan pertunangan di hari pesta itu diadakan. “Itu karena kesalahanmu sendiri yang selalu tidak ada di rumah. Papa ‘kan sudah pernah ajak kamu bicara dan Papa sudah tekankan itu tentang pembicaraan penting.” Jelas Athur sudah siapkan pembelaan diri. Benar, Iki ingat apa yang Papa maksudkan tapi saat itu ia terlalu sibuk hingga jarang berada di rumah. “Tapi aku ‘kan bilang nanti Pa, bukan tidak mau bicara. Papa tidak tahu apa saja yang kulalui di sekolah.” Terlambat untuk Iki merajuk sekarang, semua sudah berlalu ia sadari itu. “Bagaimana kami tahu kalau kamu tidak pernah cerita. Ada apa di sekolah?” Kali ini Mama yang bertanya. Orang tua selalu perduli dan perhatian pada anak mereka, tapi dari sisi anak yang biasa lebih dulu menutup diri. Seperti yang Iki lakukan. “Huh? Itu.. maksudnya aku sibuk sekali di sekolah.” Ya, Iki bukan berbohong dia memang sibuk sekali dari mulai penyelidikan kecurangan, rencananya di hari ujian, lalu ikut ujian susulan. Sudah Mama duga Iki tidak akan bercerita jika didesak. “Jadi jangan salahkan Papa dan Mama kalau kamu yang selalu sibuk.” “Kau pikir Papa dan Mama juga tidak punya kesibukan?” Papa langsung memberi Iki pukulan telak. “S-sudah! tunggu dulu, bukan itu inti masalahnya.” Iki sampai lupa karena Papa dan Mama mulai menginterogasinya hingga Iki salah tingkah. “Tenang dulu, duduk... Tenangkan dirimu dulu Nak.” Papa masih dengan wajah kalem yang tidak berubah. Padahal putranya sudah mengalami berbagai gejolak suasana hati hanya dalam waktu singkat. “Bagaimana bisa aku tenang, acaranya nanti malam dan aku bahkan belum tahu wajah―” Tunggu, kalau Iki bilang begitu seolah dia setuju dengan pertunangan ini. Papa tersenyum. “Justru itu, kenapa kamu hentikan Papa tadi. Papa ingin menunjukkan siapa orangnya padamu.” Papa kembali mengeluarkan lembar foto dalam selipan buku jurnal. “Dia satu sekolah denganmu, kamu pasti mengenalnya karena Mama yakin tidak ada siswi pindahan lain di SOPA selain dia.” Infromasi tambahan dari Mama langsung membuat Iki bergidik ngeri. “Siswi pindahan?! Jangan katakan...” Iki benar, tidak salah lagi memang hanya ada satu di SOPA. “Iya, benar Evelin orangnya.” Papa menyodorkan foto Elin kehadapan Iki. “Kenapa tiba-tiba nama itu muncul!!” Jerit hati Iki menolak menerima kenyataan. Papa dan Mama tidak tahu betapa buruknya hubungan mereka berdua di sekolah. “Papa mengerti jika kamu lelah menjalani perjodohan dan harus melalui sakit dari kegagalan Nak.” Sebenarnya tidak juga, Iki tidak pernah menjalani semua perjodohan sebelumnya dengan keseriusan. Karena itu ia tidak pernah terluka apalagi sampai patah hati. Selain dari rugi waktu dan energi, semua baik-baik saja. Tapi Papa dan Mama sebaiknya tidak tahu tentang itu. “Tapi calonmu kali ini punya situasi spesial. Dan bagi Papa-Mama dia juga berbeda dengan pasanganmu sebelum ini. Dia istimewa dan bearti bagi Papa-Mama, Ki.” Nada suara Papa mulai terdengar lirih. Buru-buru Iki pamit. “Aku pergi.” Iki merasa firasat buruk kedua. Melihat Ekspresi wajah Papa yang berubah melankolis. Namun ia gagal melarikan diri karena Mama berada di pihak Papa juga. “Tidak, tunggu dulu Nak. Dengarkan cerita Papa.” Pintanya. Lalu cerita Papa dimulai. “Ini tentang janji Papa pada teman lama Papa yang sekarang sudah tiada. Janji perjodohan ini kami buat saat kamu dan putri teman Papa itu masih sangat kecil. Kami adalah teman dekat yang merintis bisnis bersama jauh sebelum keadaan dan kesuksesan Papa sekarang...” “Aku mengerti Pa, tidak perlu dilanjutkan.” Potong Iki bukan ingin bersikap tidak sopan. “Tidak, kamu tidak mengerti Ki.” Sela Mama juga turut bicara, mulai tidak sabar. “Jika kamu menolak dan membatalkan pertunangan, bagaimana dengan Evelin dan Ibunya yang datang ke pesta malam nanti? Apa yang bisa Papa-Mama katakan pada mereka? Atau kamu yang akan mengatakannya sendiri?” Ucapan Mama sudah terdengar seperti ancaman. “Ma, jangan―” Papa ingin mengingatkan Mama yang mulai emosional. “Jangan hentikan Mama, Pa. Sekarang katakan apa keputusanmu?” Tanya Mama tegas pada Iki. Apa yang bisa Iki katakan dan perbuat hanya satu hal, menerima apa yang menjadi keputusan orang tuanya. Sejak dulu Iki tidak bisa menolak apa yang menurut Papa dan Mamanya terbaik untuk Iki. *** Iki tidak bisa menolak dan berbuat apa pun meski orang tuanya melakukan penipuan sekali pun. Berdasarkan perkataan Mama, yang Iki tangkap adalah Elin juga tahu tentang perjodohan ini. Tapi apa sekarang, kenyataannya Elin datang ke pesta pertunangannya sendiri tanpa tahu apa pun. Iki pikir saat Elin datang, saat mereka beradu pandang. Saat menyapa orang tua, juga saat menerima uluran tangan Iki. Elin sama seperti Iki sudah tahu tujuan dari pesta malam ini adalah pengumuman pertunangan mereka di depan publik. Entah apa yang harus Iki lakukan pada Elin sekarang. Apalagi Iki sendiri yang membawanya duduk di meja mereka, di hadapan tamu undangan. Semua inti permasalahn itu adalah Iki salah paham dan salah mengartikan ucapan Mama. Apa pun itu, hanya satu kalimat yang bersarang di benak Iki saat ini, berputar seperti mantra. “Elin tidak tahu tentang pertunangan ini.” Apa yang harus Iki lakukan sekarang. Semakin dipikirkan semakin berat helaan napas Iki. “Kau ini kenapa sih?” Elin jadi ikut gelisah melihat tindak-tanduk Iki yang duduk di sampingnya. “Sudah tidak bisa mundur lagi.” Ucap Iki lirih. “Kau bilang apa?” Tanya Elin karena suara Iki terlalu lemah. “Aku bilang, kau sudah tidak bisa mundur lagi!” Kata Iki sedikit lebih keras. “Mundur dari apa? Kau itu dari tadi bicara hanya membuatku semakin bingung. Jelaskan agar aku mengerti.” Pinta Elin mencoba bersabar. “Itu yang aku pusingkan dari tadi, sampai membuat kepalaku sakit. Aku harus jelaskan padamu dari mana, aku sendiri baru mengetahuinya tadi pagi.” Kata Iki kehilangan akal, otaknya seperti membeku. “Tahu apa?” Desak Elin meminta keterangan lebih jelas. “Kau mungkin tidak akan percaya dan menganggapku gila...” Iki masih ragu mengatakannya dengan mulut sendiri. “Apa? Jangan buat aku kesal.” Elin berusaha bersabar, dia ingat harus menjaga sikap. Iki jelas tahu sesuatu tapi mengapa cowok di hadapannya itu punya kebiasaan memutar pembicaraan di saat penting, pikir Elin. Iki kembali menarik napas panjang, ia menghindari bertatap muka dengan Elin. “Ini pesta pertunangan kita.” Ucap Iki singkat dan padat. Tidak ada reaksi selama sekian detik. Elin dengan jelas mendengar apa yang Iki ucapkan, tapi ia langsung menganggapnya sebagai lelucon konyol. “Kamu sedang menggodaku? Atau ini bentuk pembalasanmu? Kau pikir aku akan percaya dan berhasil kau bodohi?” Panjang lebar Elin melempar tudingan tak mendasar pada Iki. Iki pun heran di saat seperti ini ia masih bisa tertawa, mendengar kata yang keluar dari calon tunangannya itu. Iki menatap pada kejauhan. “Haha... Kau benar, aku juga berharap sepertimu kalau ini hanya lelucon.” Sejenak keheningan kembali hadir di antara mereka, sekali lagi Iki menghela napas berat. “Apa Tante tidak bicara apa pun padamu?” Akhirnya Iki berubah serius menatap Elin. “Ibu?” Elin mengingat memang hari ini Ibu luar biasa aneh dari biasanya. Tapi Elin memaklumi semua, selain itu ia juga punya salah yang membuat posisinya lemah. “Percayalah, aku sedang tidak membodohimu dan ini bukan lelucon.” Iki bukan bermaksud menakuti Elin, tapi raut muka Elin langsung berubah drastis yang artinya ia mulai percaya dengan ucapan Iki. Bagaimana Iki menjelaskannya, wajah Elin langsung menegang dan berubah pucat. Elin melihat ke arah meja Ibu dan orang tua Iki duduk, mereka tersenyum dengan wajah bahagia dan ceria. Lalu dilihatnya orang tua Iki dan Ibu melangkah maju ke depan menuju MC. Saat itu Elin mendengar MC menyebutkan namanya dan memintanya maju ke depan juga. Iki yang sejak tadi terduduk di samping Elin akhirnya berdiri. Ia sudah mengambil keputusan dan memantapkan hati. Elin termangu menatap Iki yang mengulurkan tangannya. Elin tidak bisa berpikir jernih saat ini. “Apa maksud Iki mengulurkan tangannya padaku? Apa dia ingin aku menyambut tangannya?” Pikir Elin yang benaknya terasa kosong. “El, cepat berdiri. Orang tua kita sudah menunggu dan bukan hanya mereka, para tamu undangan yang hadir juga melihat kita sekarang.” Dalam sekejap mereka menjadi pusat perhatian. Elin tidak punya pilihan selain berdiri, namun tubuhnya bergetar. Iki bisa merasakan itu dari genggaman Elin yang menyambut uluran tangannya. “Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Kamu cemas dan merasa takut saat ini. Tapi demi orang tua kita, kali ini saja... Percayakan semua padaku.” Iki menatap mata Elin dengan kesungguhan, yang kali ini Elin bisa merasakan kejujurannya tanpa perlu merasa curiga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD