Seperti Semula

1010 Words
Satu minggu berlalu sangat cepat. Hari ini Rashi akan rilis dari rumah sakit. Ia mengepak semua barang yang dibawanya  Karena ini masih jam kerja, Yulia dan Melody berhalangan hadir untuk menjemputnya. Lagi pula tidak masalah ia sendirian. Kan sudah biasa. Bukan, begitu?    Asal kalian tahu. Sebagai seorang anak pertama dan sebagai seorang jomblo sejati, Rashi sudah melalui banyak hal yang jauh lebih berat dari sekadar pulang sendirian dari rumah sakit.    "Bar!" serunya begitu sampai kamar Barra. Barra rupanya sedang asyik meneruskan salah satu lukisannya. "Gue ganggu, ya?" Rashi jadi merasa bersalah. "Santai aja kali!" Barra meletakkan kuas dan paletnya. Ia juga melepas apron yang dikenakannya. "Lo jadi rilis hari ini?"    "Jadi, lah. Gue udah packing gini. Ya kali ini mau mendaki gunung lewati lembah." Rashi memperlihatkan tas ransel besar di punggungnya.    Barra mendelik. "Lo beneran kayak mau mendaki gunung lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudera. Seminggu doang nginep rumah sakit, tapi bawaan lo udah kayak mau camping ke Kutub Utara." Barra tertawa mengakhiri ledekannya.    "Cewek itu beda, Bro. Ya, gini. Rempong dikit yang penting hidupnya selamet." Rashi menggoyang - goyangkan tas ranselnya di punggung. "Ngomong - ngomong kok lo tahu lagu Ninja Hatori, sih. Waktu itu gue aja masih kecil. Lo pasti lebih kecil, kan? Atau malah belum lahir jangan - jangan."    Barra tertawa setan. "Ya tahu lah. Ninja Hatori, kan, populer."    Rashi mencebik meremehkan. "Sok banget, ya, anak kecil. Ya udah, gue balik ya, Bar."    "Ah, sedih gue. Habis ini gue sendirian lagi." Meskipun Barra mengupcapkannya dengan nada bercanda, tapi Rashi bisa merasakan kesedihan yang tersirat.    Jika boleh, sebenarnya Rashi ingin ngekost di sini saja. Ia ingin menemani Barra. Meskipun hanya tujuh hari, entah mengapa mereka sudah sangat dekat. Seperti sepasang teman yang sudah sangat lama saling mengenal. Mereka seperti memiliki ikatan khusus. Sama seperti Barra, Rashi juga sedih karena harus pergi.       "Please, deh, Bar! Gue tinggal di kota ini juga kali. Gue pasti bakal sering jenguk lo. Jadi lo nggak perlu khawatir kesepian lagi kayak dulu." Rashi berusaha menghibur Barra. Menutupi luka hatinya sendiri demi menguatkan Barra.    "Ya, harus, lah. Awas aja kalo nggak! Bakal Gue hantuin lo."    "Ih, serem lo, Bar! Lo berupa manusia aja udah horor, gimana kalo udah jadi hantu?" Rashi berkata jujur. Kata - kata Barra yang selalu sok dewasa nyatanya memang ampuh membuat Rashi terngiang - ngiang, sehingga terpaksa harus menuruti apa pun yang ia katakan. Seperti santet, guna - guna, dan teman - temannya. Rashi curiga, jangan - jangan Barra adalah pangeran ilmu hitam atau apa.    Jika Rashi tidak menuruti kata - katanya, ia akan terus dihantui oleh nasihat - nasihat anak kecil itu. Benar - benar seperti ilmu pelet yang mengerikan.    Rasa penasaran Rashi akan sosok Barra semakin membesar setiap harinya. Dari mana anak itu berasal, siapa keluarganya, apa penyebab dirinya tak pernah dikunjungi siapa pun? Dan ... meskipun Rashi juga masih belum tahu apa penyakitnya, tapi pasti lah penyakit itu cukup serius. Bila tidak, Barra tak mungkin berada di sini sampai bertahun - tahun.    "Hati - hati di jalan, ya, Tukang Bohong!" Barra kembali mengungkit kebohongan Rashi pada orang tuanya tentang pemindahannya ke kantor pusat. Tapi bohong.    "Tukang bohong yang manis. Lagian Gue bohong demi kebaikan kali! Gue cuman nggak mau nyakitin perasaan Ayah sama Bunda. Kurang baik apa coba gue jadi anak? Padahal gue anak yang paling teraniaya!" sungut Rashi. "Ya udah, ya. Gue beneran balik sekarang. Mau cari kost dulu, besok langsung masuk kerja. Udah kangen banget gue sama Xavier."    Barra tergelak karena kalimat terakhir Rashi. "Gila lo! Ya udah. Good luck, deh, buat drama picisan lo sama si Xavier."    "Ok, Bro. Jangan suka begadang, kalau tiada artinya." Rashi menirukan syair lagu Haji Roma Irama. "Istirahat yang cukup. Kali aja Lo masih bisa numbuh tinggi."    "Begadang boleh saja, asal jangan karena galau mikirin gebetan, Shi. Jangan ngeledek gue pendek. Toh gue masih jauh lebih tinggi dari lo." Barra sukses membalas syair lagu Rashi, dengan kata - kata menohok. Ia bahkan juga mementahkan ejekan tipis Rashi. "Sialan lo emang."    Barra mengantar kepergian Rashi sampai lobi depan. Ia bahkan menunggu sampai taksi yang dipesan Rashi datang. Ketika Rashi masuk dalam taksi online itu, melambaikan tangan padanya, seraya tersenyum ceria mengucap beberapa kali lagi kalimat perpisahan yang sama namun bermakna.    Barra rasanya sungguh tak rela. Tapi di sisi lain ia juga tak bisa mencegah kepergian Rashi. Gadis itu memiliki kehidupannya sendiri. Dan juga masa depan yang masih panjang dan cerah. Taksi mulai melaju pergi. Rashi masih belum menutup kaca jendelanya, masih begitu antusias melambai heboh pada Barra. Barra membalas lambaikan Rashi, namun rautnya nampak kosong. Taksi melaju kencang sampai akhirnya tak terlihat lagi. Sekarang ia sendiri lagi.    Ingin rasanya Barra ikut masuk ke dalam taksi tadi, dan pergi dari sini. Tapi ia tahu itu tak mungkin.    Barra akan kembali pada aktivitas semula; selalu sendiri, nonton televisi, minum obat, terapi, dan melukis.    Semua memang membosankan. Tentu saja. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh pria penyakitan yang sebatang kara? Ingin egois pada siapa? Karena nyatanya ia memang tak punya siapa - siapa. Rashi bilang akan sering menjenguknya. Ada dua kemungkinan, Rashi akan menepati janji. Atau ingkar. Barra tahu Rashi tidak sejahat itu untuk ingkar janji padanya. Namun di sisi lain Rashi juga memiliki banyak kesibukan dengan hidupnya sendiri. Rashi tak mungkin mengorbankan mimpinya yang tinggi, hanya demi laki - laki penyakitan yang baru dikenalnya selama satu Minggu. Barra berusaha berpikir positif. Ya, ia akan kembali seperti semula, sendiri seperti satu Minggu yang lalu. Namun ia punya teman. Mungkin nanti Barra akan menghubungi Rashi terlebih dahulu. Tidak ada salahnya, demi mempertahankan keberadaan seorang teman.    Satu - satunya teman Barra.    Semoga ini bukan sebuah hal yang dinamakan tidak tahu diri. Bertahun lamanya ia hanya bisa berkomunikasi dengan baik dengan satu orang saja -- dokter Lintang. Kemudian Rashi tiba - tiba datang. Seperti hadiah yang dikirim Tuhan untuknya.    Tuhan mempertemukannya dengan Rashi pasti bukan tanpa alasan. Tuhan pasti punya rencana. Tentu saja. Sejauh yang dipahami Barra, dan sudah dirasakannya. Rashi ditakdirkan untuk menemani sepinya. Ya. Semoga saja, pertemanannya dengan Rashi tak berhenti sampai di sini saja. Semoga mereka benar - benar bisa bertemu lagi.    Semoga hari ini bukan pertemuan terakhir mereka.    *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD