Bunda tetap menelepon terus sampai mereka berdua tiba di kamar Rashi. Tapi sebanyak apa pun panggilan Bunada, Rashi tak kunjung menjawab panggilan-panggilan itu.
"Diangkat dong, Shi. Bunda lo pasti khawatir, tuh!" bujuk Barra. "Anggep aja ini kesempatan dari Tuhan biar Lo cepet jelasin semuanya ke orang tua lo."
"Lo tahu sendiri gue belum siap, kan, Bar?" Rashi nampak murung.
"Apa gue bantu ngomong aja, mau?" Barra memberi penawaran bantuan dengan hati-hati, takut Rashi salah paham.
Rashi memikirkan tawaran Barra. Tapi ... sepertinya tidak saja lah. Akan semakin runyam masalahnya jika Barra yang menjawab. Apa nanti yang akan dipikirkan Bunda setelah tahu saat ini Rashi bersama seorang laki-laki? "Nggak usah, deh, Bar." Rashi kembali me-reject telepon sang Bunda.
"Ya udah deh kalau gitu." Barra berusaha mengerti. "Ngomong-ngomong, udah jam tujuh ini. Waktunya gue minum obat. Gue balik, ya. Ntar gue main lagi."
Rashi hanya menjawab dengan anggukan.
Barra menarik napas dalam. Bersiap memberikan petuah singkat demi kebaikan bersama. "Mungkin lo emang belum siap ngomong ke orang tua lo sekarang. Tapi ntar, saat lo udah siap, lo ngomongnya harus sopan. Inget, biar bagaimana pun, mereka itu orang tua lo. Durhaka dosa, masuk neraka. Mau?" Barra menatap Rashi yang hanya diam, kemudian mulai melangkah keluar.
Meskipun terlihat cuek, Rashi sebenarnya mendengarkan Barra. Di saat yang bersamaan Bunda kembali menelepon. Tak ingin merasa semakin bersalah dan resah, Rashi akhirnya malah mematikan ponselnya.
***
Melody dan Yulia datang jam 8 malam, membawa kehebohan. Mereka berlari-lari di lorong, sampai beberapa suster menegur. Biar begitu mereka tidak takut dan tidak gentar. Malah semakin kencang tertawanya dan masih tetap lari-lari. Benar-benar tidak ada akhlak.
"RASHIIIIII!" seru mereka bersamaan.
Rashi yang sedang menonton 'On The Spot' di televisi, memelototi mereka. "Demi koin emas Tuan Crab! Bisa nggak, kalian turunin volume dikit? Bikin semua setan rumah sakit bangun!"
"UWAAAA!" teriak Yulia. Gadis itu melompat ke ranjang Rashi.
Berbeda dengan Yulia yang heboh, Melody lebih memilih duduk anteng di sofa panjang. "Lo harus tahu apa alasan kenapa kita gila banget," katanya.
"Iya, Shi. Astaga!" Yulia mulai heboh lagi. "Gue sampek nggak percaya ini nyata! Tadi Melody terpaksa harus gigit kuping gue buat ngebuktiin ini bukan mimpi. Nih, lihat! Di kuping gue ada bekas gigi plus jigong-nya si Melo." Yulia memperlihatkan telinganya pada Rashi.
Seketika Yulia mendapat lemparan jeruk di dahi. Lemparan dari Melody tentu saja. Seenaknya mengatai Melody jigongan. Sebuah fakta lain, Melody tak pernah suka dipanggil Melo. Kesannya seperti nama anjing!
"Emangnya ada apaan, sih?" Rashi penasaran. Ia bahkan sudah mematikan televisi, guna mempersiapkan diri mendengar berita mereka.
Kalau Yulia yang lebay, itu biasa. Tapi tadi Melody malah mengawali pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang benar-benar harus diketahui Rashi.
Melihat tindak-tanduk mereka, pasti ini bukan berita buruk, bukan? Jadi boleh kah Rashi mengira-ngira? Tidak. Rashi takut kecewa. Ah, tapi Rashi harus optimis. But, NO! Rashi sudah terlalu sering di-PHP, alias digantungin. Maka dari itu, dari pada terus menerka-nerka harapan kosong, lebih baik segera mendengar penjelasan dari dua sahabatnya.
Melody mulai menjelaskan. "Tadi gue sama Yulia lagi makan siang di kantin. Nah, pas kita lagi nunggu makanan ...." Melody sengaja berhenti menjelaskan sembari tersenyum nakal. Ingin membuat Rashi makin gemas karena penasaran.
"Nunggu makanan ...." Rashi mengulangi kata-kata terakhir Melody, saking penasarannya.
"Xavier dateng nyamperin kita!" lanjut Melody.
Rashi hampir berteriak, tapi ia tahan. Apakah harapan kosong—yang bahkan tak berani ia pikirkan tadi—akan segera terwujud? "Terus, Dy?" Rashi memaksa Melody melanjutkan.
"Tapi lo jangan kaget, ya!" peringat Melody.
"Cepetan ngomong, ditungguin juga." Rashi tidak sabaran.
"Xavier nanyain lo, Shi! 'Arashi gimana keadaannya?' Gitu, Shi." jelas Melody, menirukan cara bertanya Xavier.
Dua sahabat Rashi—yang dari dulu rajin mewanti-wanti Rashi untuk tidak jatuh terlalu dalam pada Xavier—kini mulai percaya bahwa keajaiban itu ada. Mulai sekarang, mereka akan merestui Rashi dengan Xavier.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Rashi. Hidungnya kembang kempis saking gede rasanya. Bolehkah Rashi merasakan kesenangan sebesar ini? Ini bukan mimpi, kan?
"Terus lo jawab apa, Dy?" Rashi antusias.
"Bukan gue yang jawab, si Yuli tuh."
Yulia mengangguk. "Tadi gue jawab, 'Rashi udah mendingan kok. Bentar lagi boleh pulang'. Gitu."
Rashi semakin terlena, melambung ke awang-awang. "Ahhhh ... terus?"
"Terus dia jawab, 'Salamin ke Arashi, ya! Semoga cepet sembuh!'. Dan dia juga minta maaf karena belum bisa nengokin, lagi sibuk katanya."
"Ahhh ... nggak apa-apa kali. Gue ditanyain aja udah seneng banget." Mata Rashi sampai berkaca-kaca saking senangnya.
Tiga Serangkai super lebay itu berpelukan ala Teletubies. Berbagi kesenangan dengan cara selebay ini memanglah gaya mereka. Untuk yang masih waras, mohon untuk tidak ditiru! Tidak baik untuk kesehatan jiwa.
"Hobi lo nonton drama Korea ada faedahnya, Shi. Hidup lo sedikit demi sedikit udah mirip drakor. Gue kayaknya harus ngajakin si Chico nonton drakor, biar dia agak romantisan dikit." Yulia membumbui kata-katanya dengan curhat colongan alias curcol. Ngomong-ngomong, Chico adalah nama pacarnya.
"Si Jodi juga kudu gue ajak nonton. Kali aja setelah lihat cowok Korea yang putih-putih, dia jadi mau perawatan. Biar agak putihan dikit gitu." Melody ikut-ikutan curhat. Jodi pacarnya memang berkulit eksotis nan seksi. Uhm ... cenderung gelap sebenarnya.
***
Melody mengklaim sofa panjang sebagai singgasananya. Sekarang ia sudah tidur nyenyak di sana. Sementara Yulia harus rela tidur di tikar. Rashi sudah menawarkan berbagi kasur. Tapi Yulia tak ingin mengambil risiko jatuh dari ranjang setinggi itu.
Mengingat tingkah laku Rashi saat tidur, sungguh tidak manusiawi. Ia akan menendang apa pun. Wujud kasur yang ditiduri Rashi, selalu mengenaskan. Malang sekali nasib laki-laki yang menjadi jodohnya kelak.
Tapi meskipun di tikar—yang kelihatannya tidak nyaman—Yulia si manja bisa tidur dengan pulas.
Tersisa Rashi saja yang masih terjaga. Tangannya sedang sibuk mengetik pada layar sentuh ponselnya.
Rashi nggak akan pulang sampai waktu yang nggak bisa ditentukan. Rashi pengen menikmati hidup Rashi sendiri. Dari dulu Rashi selalu dipaksa ngalah. Rashi capek. Rashi harap Ayah sama Bunda ngerti.
Rashi hendak menyentuh tombol kirim. Tapi tidak jadi. Ia menghapus semua yang telah diketiknya. Rashi teringat kata-kata Barra, ia tetap harus sopan. Sementara semua yang baru saja ia ketik sama sekali tak mencerminkan azaz kesopanan dilihat dari sisi mana pun.
Pasti Ayah dan Bunda akan sedih kalau Rashi bilang dengan cara seperti itu. Tapi ... bukannya selama ini mereka lah yang selalu membuat Rashi sedih? Jadi, tidak apa-apa, kan, kalau Rashi membuat mereka sedih sekali saja?
Ia kembali mengetik apa yang sudah dihapusnya.
Dan tiba-tiba perkataan Barra muncul lagi di benaknya. Sial, ini memusingkan! Rashi ingin mengungkapkan isi hati. Rashi ingin egois. Tapi kenapa sulit? Ditambah lagi dengan wanti-wanti Barra yang seakan menghantuinya.
Entah kenapa kata-kata Barra kesannya sangat horor. Lebih horor hari pohon beringin angker itu. Rashi bisa gila. Rashi menarik napas dalam-dalam. Bersiap mengetik lagi.
Bunda, maaf karena nggak angkat telepon. Sebenarnya Rashi dimutasi ke luar kota. Surat perintahnya mendadak, Rashi harus segera berangkat karena besoknya langsung kerja. Maaf karena nggak sempat pamit. Doain Rashi semoga betah. Dan semoga Dek Dio juga cepat sembuh!
Rashi menyentuh simbol kirim. Ia menunggu lima menit, belum ada balasan. Pasti lah Bunda sudah tidur.
Rashi meletakkan ponsel di nakas. Sedikit menyesal karena ia membuat kebohongan sebesar itu. Sayangnya ia sudah telanjur mengirim pesannya.
Payah sekali. Rencana awalnya untuk menelepon mereka dan mengatakan semuanya, gagal total. Bahkan ia hanya berani mengirim SMS.
Bukannya ia sendiri yang ingin orang tuanya tahu tentang penderitaannya? Tapi karena ia pengecut, ia tak sanggup terus terang. Sekarang segala rencananya hanya tinggal wacana.
Seberapa besar rasa kesal Rashi pada orang tuanya, ia tak akan pernah bisa membenci mereka. Bahkan untuk mengungkapkan isi hatinya sendiri ia enggan. Ia takut ... menyakiti hati mereka.
Ya ... setidaknya menurut Rashi, kebohongan bodohnya bisa menyelamatkan orangtuanya dari rasa sakit hati. Bohong terkadang perlu dilakukan. Justru lebih baik dilakukan di saat-saat tertentu. Orang tuanya harus bersyukur karena punya anak yang manis seperti Rashi—si pembohong yang manis.
***
TBC