Awalnya pagi ini biasa saja, tapi setelah ....
Tiga Serangkai kompak berjalan melintasi pintu masuk Marlon yang megah nan mewah. Mereka menuju ke lift, menekan tombol, dan menunggu. Begitu lift terbuka, terkejutnya mereka saat tahu Xavier lah orang yang sedang berada di dalam sana.
Lelaki itu memakai kemeja putih polos, dengan dasi hitam. Celana katunnya berwarna senada dengan dasi, disetrika rapi nan licin, menambah kesan menawan pemuda itu beberapa kali lipat banyaknya.
"Udah sembuh, Arashi?" tanyanya langsung pada Rashi. Jangan lewatkan senyum tipisnya yang ramah namun tetap cool di saat bersamaan.
Astaga! Demi uang seratus ribu Rashi yang tinggal satu-satunya ... seorang Xavier menyapa dirinya duluan? Rashi diam-diam tengah sibuk mengatur napas, takut tiba-tiba serangan jantung. Atau minimal pingsan lah.
"U-udah." Rashi tergagap menjawab. Orang yang dirindukannya setengah mati, tiba-tiba muncul di hari pertama ia masuk. Dan ... menyapanya? Mana munculnya pagi-pagi buta. Bahkan ia baru tiga meter memasuki kantor Marlon.
"Syukur lah kalo gitu. Jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit-sakit lagi. Karena sakit itu nggak enak, kan?" Xavier lanjut memberikan seperangkat perhatian manis pada Rashi.
Meskipun itu hany sekadar perhatian antar teman, namun Rashi tetap girang setengah mati. Sampai sesak napas dibuatnya. Untung Rashi tidak keceplosan jujur bahwa sebenarnya ia senang jatuh sakit.
"Ngomong-ngomong, maaf banget gue harus langsung pergi," lanjut Xavier. " Gue Lagi buru-buru soalnya. Nanti kita sambung lagi, ya, kalau gue udah agak longgaran." Hanya dengan berbicara seperti itu, bagaimana bisa seseorang memancarkan cahaya yang begitu terang?
Rashi memandang Xavier tanpa berkedip. Lelaki itu berjalan melewatinya dan kedua temannya. Cara berjalannya, cara bersikapnya, wanginya, semuanya Rashi suka. Xavier bahkan terlihat tampan dari sisi belakang seperti ini.
"Shi, kemeja lo!" Yulia mencubit bagian lengan kemeja yang dipakai Rashi.
Rashi ingin memarahi Yulia yang seenak jidat menarik kemejanya. Takut kusut. Rashi tidak mau mengambil risiko menyetrika ulang. Karena notabene Rashi memang paling malas menyetrika baju. Kalau mau dipakai, baru disetrika. Kalau belum akan dipakai, ya dilipat saja.
Tapi sejenak kemudian—setelah Rashi menyadari maksud Yulia menarik kemejanya—kemarahan Rashi menguar terbawa angin. Digantikan binar-binar kebahagiaan mendalam.
"Shi, demi apa pagi ini lo sama Xavier sama-sama pakek kemeja warna putih?" heboh Yulia.
Melody ikut-ikutan heboh. "Padahal lo biasanya pakek luaran blazer atau vest, kan. Xavier biasanya juga pakek jas. Tapi hari ini lo sama Xavier sama-sama polosan, pakai kemeja doang!"
Rashi belum bisa mengatakan apa pun. Jiwa dan raganya terlalu terguncang. Terguncang dalam awang-awang dan harapan setinggi langit ke tujuh.
"Ciye ... batinnya nyambung, ciye ..."
"Ciye ... telepati, ciye ..."
Rashi akhirnya sanggup berkata-kata. "P-padahal gue pakek kemeja ini gara-gara tinggal ini doang yang bersih!" Bibir Rashi tersenyum lebar dan awet seperti diberi formalin.
***
Awalnya siang ini biasa saja, tapi setelah ....
Divisi administrasi umum selalu membosankan. Semua karyawan melaksanakan tugas masing-masing dengan khidmat. Mereka melakukan hal sama tiap hari. Sama-sama berusaha keras agar tidak jenuh, dengan mengingat, banyak sekali orang yang berharap diterima bekerja di Marlon, namun gagal saat tes.
Bunyi langkah kaki elegan terdengar sedang menuruni tangga. Langkah kaki yang familier di telinga Rashi—dan telinga kedua sahabatnya.
Tiga Serangkai menoleh ke sumber suara bersamaan. Xavier melangkah layaknya elegan layaknya model catwalk profesional. Ketukan demi ketukan langkah senantiasa menjadi lagu utama. Membuat tiga pasang mata wanita itu terfokus pada sepatu yang sedang dikenakan yang bersangkutan.
Sepasang sepatu hitam berbahan dasar kulit membalut kaki Xavier dengan apik. Sepatu itu adalah salah satu produk Marlon, diproduksi dalam dua versi. Untuk laki-laki, dan untuk perempuan. Sekaligus, sepatu itu adalah produk best seller Marlon di kalangan para pekerja kantoran.
Saking best seller-nya, Marlon memberikan sepatu berharga jutaan rupiah itu pada masing-masing karyawan. Sebagai wujud rasa syukur karena produknya laku di pasaran.
Jadi, semua orang yang bekerja di sini mempunyai sepatu itu. Tapi meskipun semua mempunyai, mereka tidak diharuskan seragam memakai sepatu itu di hari tertentu—mengingat sebagian besar karyawan adalah ahli mode yang mempunyai banyak koleksi untuk dipamerkan—jadi lah, kecil kemungkinan bagi setiap karyawan untuk memakainya di hari yang sama.
Jika sampai ada yang sama-sama memakainya di hari yang sama—terlebih jika yang bersangkutan adalah sepasang laki-laki dan perempuan—berarti ....
Rashi menatap ke bawah, pada sepasang sepatu yang ia kenakan. Benar-benar tak bisa dipercaya! Untuk kedua kalinya—dalam kurun waktu satu hari— Rashi memakai barang yang sama dengan Xavier.
"Guys, sepatu gue!" Rashi buru-buru memberitahu kedua sahabatnya.
"Sepatu lo kenapa?"
"Sepatu gue!" Rashi menunjuk-nunjuk sepatunya.
Yulia dan Melody menatap sepatu Rashi bersamaan. Sepasang pantofel brand Marlon, berbahan kulit—versi wanita dengan heels 10 cm.
Alasan Rashi memakai sepatu ini adalah, karena ini adalah satu-satunya sepatu yang ia bawa selama minggat. Tentu saja karena itu adalah sepatu termahal yang pernah ia miliki—yang pasti sayang jika ditinggalkan di rumah.
Netra Yulia dan Melody menatap sepasang kaki Rashi dengan berbinar-binar.
"Shi, seandainya sekali lagi lo kode-kodean sama Xavier hari ini, berarti kalian emang jodoh!" celetuk Yulia.
"Itu artinya, lo harus traktir kita lobster bakar madu, Li. Biar bagaimana pun kita punya andil besar dalam hubungan kalian!" lanjut Melody.
Rashi tersenyum bangga menanggapi opini-opini kedua sahabatnya. "Seandainya Xavier emang beneran jodoh gue, jangankan lobster bakar madu, lobster bakar lapis emas juga gue jabanin!"
***
Awalnya sore ini biasa saja, tapi setelah ....
Pekerjaan benar-benar menjemukan, apalagi Rashi punya banyak lembur yang harus cepat diselesaikan. Mengingat ia baru saja liburan lama di rumah sakit. 'Nasib ... nasib ....'
Sudah jam lima sore. Batas waktu Rashi untuk makan atau minum apa pun—selain air putih.
Rashi beranjak. Ia memutuskan membeli sesuatu sebagai penutup batas waktunya.
Rashi memasukkan koin pada lubang, memilih minuman yang ia inginkan—s**u rendah kalori, no sugar.
"Lo juga suka itu?" Sebuah suara mengejutkan Rashi.
Xavier tiba-tiba berada di sampingnya, membawa kaleng s**u yang sama. Ya Tuhan! Ini kebetulan ke-3 hari ini. Kode yang ke-3 hari ini.
Apa yang diharapkan oleh Rashi, Melody, dan Yulia, barusaja menjadi kenyataan.
Ingin rasanya Rashi berjingkrak sekarang juga. Jiwa liarnya menari-nari di atas awan. Namun raganya berusaha stay cool di hadapan Xavier. Tentu saja supaya ia tetap terlihat bersahaja. Kalau ia hilang kontrol, bisa gawat. Xavier bisa-bisa kabur karena hilang respect. Malah bisa jadi jijik.
Kalau mereka sudah kenal lebih dekat, Rashi bisa mulai menunjukkan sifat aslinya. Untuk sekarang, Rashi lebih memilih bermain aman. Tak mau mengambil risiko dijauhi Xavier. Gengsi Rashi memang tinggi. Ia paling suka jaga image.
"Ah, iya!" jawabnya.
"Lo pasti lagi bosen sama kerjaan, kan. Mau duduk dulu sebentar?" tawar Xavier.
Sebuah tawaran dari Surga oleh seorang makhluk blasteran malaikat. Tawaran singkat yang membuat Rashi terbang setinggi langit.
Rashi segera mengangguk. "Boleh."
Xavier mengajaknya duduk pada salah satu sofa di rest area karyawan. Karena bukan sedang jam istirahat, sofa-sofa ini cukup sepi. Hanya beberapa orang—termasuk Rashi dan Xavier.
Dua kebetulan alias kode sebelumnya—sepatu yang sama dan juga kemeja yang sama—membuat Rashi dan Xavier menjadi pusat perhatian. Apalagi minuman yang mereka beli juga sama.
"Lo ada pin?" tanya Xavier santai.
Lekaki itu seharusnya tahu, bahwa dengan sikap ramah dan santainya, ia sudah membuat jantung wanita di hadapannya serasa mau meledak.
Rashi memperlihatkan barcode pin, Xavier memotret dengan ponsel-nya. Dalam sekejap, undangan pertemanan dari Xavier segera masuk. Rashi langsung menerimanya tanpa ragu. Setelahnya, mereka juga saling bertukar nomor w******p.
Rashi benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusaja terjadi. Jika saja ini mimpi, Rashi akan memilih tinggal di sini selamanya. Tidak mau bangun.
"i********:?" tanya Xavier lagi.
"S-sebenernya gue udah lama follow lo," ceplos Rashi.
Gadis itu terkejut dengan ucapannya sendiri, kemudian menepuk mulutnya yang suka blong. Jadi malu sendiri, kan? Bagaimana kalau Xavier jadi illfeel?
"Oh, ya? Username lo siapa? Astaga! Seharusnya gue folback dari dulu. Jadi nggak enak."
Kekhawatiran Rashi sama sekali tak terbukti. Xavier tetaplah Xavier yang memiliki hati setampan wajahnya.
Rashi mengatakan username-nya. Dan Xavier benar-benar mem-folback dirinya. Rashi bersumpah akan segera menghapus foto-foto alay-nya. Ia hanya akan menyisakan foto-fotonya yang keren. Tapi tunggu, memangnya ada? Foto-fotonya, kan, alay semua!
***
TBC