JILL
-
Jill pernah sekali berada di ruangan sempit itu, persis pada hari ketika polisi menemukan jasad ibunya tergeletak di anak tangga. Polisi yang saat itu menyelidiki kasus kematian ibunya bukanlah orang yang menyenangkan. Ia seorang pria tinggi berkulit hitam bernama Norman, asalnya dari North Carolina dan kira-kira ia berusia antara empat hingga lima puluh tahun. Norman membawa Jill ke dalam ruangan itu dan memintanya untuk menunggu disana sendirian.
Saat itu, dinding putihnya dipenuhi oleh noda hitam pada setiap sisinya. Hanya ada sebuah meja kayu panjang dan dua kursi yang melingkarinya. Birai jendela kayunya yang hampir reyot memperlihatkan pemandangan langsung ke halaman parkir di bawah sana. Kaca itu selalu tertutup, bahkan rangkanya sengaja disusun tanpa kunci sehingga Jill hanya dapat melihat ke bawah sana dari balik kacanya yang tinggi. Karena tidak ada ventilasi dan pintunya selalu ditutup rapat, tidak ada sirkulasi pertukaran udara yang masuk sehingga hawanya akan terasa kedap dan panas.
Jill yang memiliki riwayat gangguan pernafasan, tidak tahan lama berada disana, terutama karena bau apak yang tercium dimana-mana. Namun setelah belasan tahun berlalu, ruangan itu telah dimodifikasi ulang. Dindingnya telah dicat ulang dengan warna hijau gelap. Kaca jendela yang dulu berada di dalam ruangan telah ditutup sehingga ruangan sepenuhnya gelap tanpa bantuan cahaya lampu yang remang-remang di atas kepalanya. Sementara itu, meja panjangnya diganti dengan meja persegi yang lebih kecil dan dikelilingi oleh tiga kursi kayu. Pintunya tidak lagi mengeluarkan suara berisik setiap digeser terbuka atau menutup. Tidak ada akses bagi seseorang untuk dapat mengintip ke dalam sehingga privasi sepenuhnya terjaga, meskipun begitu Jill cukup yakin bahwa seseorang telah meletakkan kamera tersembunyi atau alat penyadap lainnya di dalam sana.
Ruangan yang sebelumnya tampak begitu mengerikan, kini menjadi semakin mengerikan dengan dinding-dinding bata yang menghimpitnya. Satu-satunya perubahan baiknya hanya ada pada mesin pengatur suhu ruangan yang terpasang di sudut ruangan sehingga Jill tidak merasa sesak saat berada disana.
Sore setelah insiden yang terjadi di kediaman Jess, seorang petugas dari kantor polisi menghubungi Jill dan memintanya untuk datang keesokan harinya pada pukul sebelas. Jill tidak sepenuhnya yakin tentang apa yang mereka inginkan darinya, dan ia sudah berniat untuk menolak undangan itu sebelum mendengar pesan suara dari Tobias yang memberitahunya bahwa Jill sebaiknya datang untuk menghindari kecurigaan pihak berwenang.
Jill seharusnya tidak panik atau merasa terancam tentang itu. Kecerobohannya hanyalah bahwa ia – secara kebetulan – menjadi saksi mata pertama yang menyaksikan hal itu. Namun, hal itu bahkan tidak patut disebut kecerobohan. Hanya saja, Jill tidak menyukai cara dua orang petugas polisi yang berbicara padanya hari itu. Belum lagi spekulasi dari pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang menyebut kematian Jess sebagai salah satu balasan atas pekerjaannya sebagai penghibur. Jill benci ketika polisi mulai menyudutkannya atau orang-orang terkedatnya terlibat atas kematian Jess alih-alih menyelidiki bagaimana hal itu dapat terjadi.
Siang itu, Tobias datang menghampirinya dan memperingati Jill untuk menuruti apa yang diinginkan polisi untuk ia lakukan. Alih-alih menenangkan Jill, tindakan Tobias membuat Jill semakin kesal. Mereka telah berdebat sepanjang siang persis di belakang kediaman Jess, dan seolah hal itu belum cukup, Tobias menghubungi Jill berkali-kali untuk mempertegas maksudnya.
Orang-orang, bahkan pria yang dipikir Jill terlalu dekat untuk bisa memahami suasana hatinya, nyatanya bukan orang-orang yang diharapkan Jill hadir dalam situasi itu. Sementara Jess tewas akibat penyebab yang belum diketahui, para penduduk dan awak media sibuk berspekulasi tentang hal-hal buruk atas kematian itu. Jill pernah menghadapi situasi yang sama pasca kematian ibunya. Tidak ada seseorang yang cukup peduli pada kematian seorang ‘penghibur’ dan Jill punya firasat bahwa orang-orang telah menganggapnya bagian dari mereka.
Selama belasan tahun, Jill berhasil mengabaikan omongan para penduduk yang menyebutnya sebagai anak kotor si penghibur. Tidak hanya sekali dalam satu kesempatan, Jill berniat untuk mencekik mereka saat mendengarnya. Sejauh ini Jess menjadi satu-satunya orang yang memahami Jill dengan baik. Terlepas dari pekerjaannya sebagai penghibur, Jess seperti saudari perempuan untuk Jill. Terkadang Jill datang untuk meminta bantuannya, atau sebaliknya, selama bertahun-tahun, mereka menjaga hubungan pertemanan itu tetap berjalan dengan baik, setidaknya hingga beberapa pekan terakhir ketika Jill merasakan perubahan sikap Jess. Puncaknya terjadi pada tiga pekan yang lalu. Mereka berdebat di tengah jalan karena hal sepele dan Jill meninggalkan Jess disana. Kalau saja Jess memberitahu Jill tentang kondisinya, Jill bersumpah tidak akan melakukan tindakan itu pada Jess, namun apa yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali dan sekarang, Jill harus menghadapi interogasi yang tak terhindarkan.
Lamunan Jill buyar persis ketika ia mendengar suara pintu digeser terbuka dan seorang petugas berkulit putih, berusia sekitar tiga sampai empat puluh tahunan dengan papan nama Joey Mrytle di atas seragamnya, muncul di ambang pintu. Pria itu membawa sebuah map hijau di satu tangannya kemudian melambai ke arah kursi kosong dan meminta Jill untuk duduk disana.
“Kau pasti Julia Maureen?”
“Itu aku.”
Joey menghela nafas saat mengendurkan ikatan dasinya. Laki-laki itu kemudian menautkan jari-jari tangannya di depan wajah saat bertanya, “bagaimana perasaanmu tentang kematian Jessie Sue?”
Jill mengangkat kedua bahunya, ia menatap tajam laki-laki itu dan balik bertanya, “pertanyaan macam apa itu? Yang kau bicarakan adalah temanku, dan kau bertanya bagaimana perasaanku tentang kematiannya?”
“Apa kau bisa tenang untuk beberapa menit ke depan?” tergur Joey. “Aku tidak ingin membuat ini menjadi sulit dan aku akan menyelesaikannya dengan cepat jika kau mau bekerjasama.”
“Ya, tapi orang-orangmu membicarakan Jess seolah-olah dia pantas mendapatkannya. Jika itu benar, mengapa kau mengundangku kesini? Kenapa kalian tidak mengabaikan saja apa yang terjadi pada temanku dan melanjutkan hidup seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi? Kenapa kalian mengundangku jika kalian hanya ingin menyudutkanku? Aku tidak mengerti mengapa orang-orang tidak melihat kami sebagai manusia? Kenapa kau tidak menghentikan awak media yang meyebarkan berita palsu tentang Jess dan menjelek-jelekkan namanya seolah-olah pekerjaan yang dijalaninya selama ini adalah kesalahan terbesarnya?!” Jill membeliakkan matanya dengan lebar. Tatapannya menusuk tajam ke arah pria yang duduk di seberangnya. “Orang-orang tidak ingin mengetahui penyebab kematian Jess, mereka hanya ingin mengolok-oloknya! Aku berani taruhan kalau mereka benar-benar tidak peduli. Sekarang kau ingin aku bersaksi atas kematian Jess, pertama lakukan apa yang kuperintahkan, aku ingin kalian menarik semua berita di surat kabar yang menyebut Jess secara tidak pantas. Dia bahkan sudah mati! Kenapa kalian membiarkannya?”
“Julia..” Joey mengangkat satu tangannya saat berusaha menenangkan Jill. “Keberatan jika aku memanggilmu Jill?”
Jill menggindikkan bahunya dengan kesal hingga Joey mencondongkan tubuhnya kemudian membuka map yang diletakkannya di atas meja. Di dalam map itu terdapat cetakan gambar tubuh Jess yang diambil pasca kematiannya. Joey mendorong gambar itu ke arah Jill kemudian menjelaskannya dengan sabar.
“Ini bisa menjadi pertanyaan sekaligus bukti bahwa Jess kemungkinan menyakiti dirinya sendiri. Tidak ada pihak yang terlibat, tidak ada bukti kekerasan dan pil-pil ini..” Joey membalik halaman kertas di dalam map itu kemudian menunjukkan gambar obat-obatan yang berserakan di atas meja. “.. Jess menelan pil-pil ini sebelum dia tewas. Kau pikir kami tidak berusaha menyelidikinya? Tapi jika kasusnya seperti ini, mengapa kami perlu menyelidikinya? Jika benar bahwa Jess melakukan tindakan bunuh diri dengan obat-obatan itu, mengapa orang-orang perlu menggembar-gemborkannya? Kau mengerti, Jill? Ini tidak akan menjadi kasusku, karena kami masih menunggu keputusan apa kematian itu perlu diselidiki atau tidak. Tapi kami membutuhkan informasinya sedetail mungkin, terutama darimu. Kau teman dekatnya sekaligus saksi pertama yang menyaksikan kejadian itu. Aku tidak akan menyudutkanmu tapi aku perlu tahu mengapa hal itu dapat terjadi padanya.”
“Aku tidak tahu,” sahut Jill sembari mengempaskan tubuhnya di atas kursi kayu.
“Aku berusaha berbicara padamu secara baik-baik dan aku menginginkan kerjasama sepenuhnya..”
“Aku berusaha untuk bekerja sama dan jawabanku, aku tidak tahu. Apa yang kuyakini bahwa Jess tidak akan melakukan hal itu pada dirinya. Aku tidak memercayainya sedetikpun jika ia benar-benar melakukan tindak bunuh diri.”
“Kenapa? Mengapa kau tidak percaya bahwa Jess menyakiti dirinya sendiri?”
“Karena kami sudah berteman cukup lama dan aku tahu dia tidak akan melakukan tindakan itu.”
Sembari menyadarkan tubuhnya di punggung kursi, Joey kembali bertanya, “apa kau bisa lebih spesifik, Jill? Terlepas dari hubungan dekatmu dengan Jessie Sue, kenapa kau meyakini bahwa Jess tidak melakukan tindakan itu pada dirinya?"
Jill berusaha memikirkan kata-kata yang tepat, sementara pria itu terus mengawasi Jill dan menunggu jawabannya hingga Jill menyerah pada satu kalimat, “aku tidak tahu.”
Joey Mrytle kembali menghela nafas, kekesalannya memuncak dan pria itu menegakkan tubuhnya saat berkata, “menurutmu bagaimana jadinya jika kami menutup kasus ini sebagai kasus bunuh diri?”
“Tidak, ini bukan kasus bunuh diri.”
“Lalu bagaimana kami bisa tahu?”
Jill memuntir jari-jarinya di bawah meja. Bibirnya bergetar dan dahinya berkeringat. Selama beberapa detik yang menegangkan Jill hanya menatap permukaan meja kayu sembari mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Aku tidak bisa berbicara sekarang, apa aku diizinkan pulang?” putus Jill akhirnya.
“Maaf, aku khawatir aku tidak bisa membiarkanmu pergi sampai ini selesai. Jill, aku hanya ingin tahu informasi apapun yang kau miliki tentang Jess. Apa benar dia menelan pil kontrasepsi beberapa bulan yang lalu untuk menggugurkan bayi yang dikandungnya?”
“Tidak! Tidak! Itu tidak benar.”
“Bukti mengatakan sebaliknya. Seorang dokter yang menangani Jess mengatakan bahwa Jess melakukan aborsi sekitar dua bulan yang lalu.”
“Itu tidak benar,” sanggah Jill dengan cepat.
“Atau kau hanya tidak mengetahuinya. Apa kau tahu Jess telah melakukan penipuan akhir-akhir ini demi mendapatkan uang secara cuma-cuma?”
Sembari menggelengkan kepalanya, Jill berkata, “itu tidak benar. Dari mana kau mendapatkan informasi itu?”
“Sean Trevor mengatakan..”
“Dia berbohong! Dia membohongi kalian!” potong Jill sembari mencondongkan tubuhnya di atas meja.
“Bagaimana kami tahu? Bukti mengatakan sebaliknya. Menurutmu mengapa Jess tidak hadir di klub selama dua pekan terakhir? Dia berusaha menghindari Sean. Dan kembarannya yang cacat – aku cukup yakin kau mengenalnya – adalah pecandu alkohol dan ganja. Putranya, Kyle, mengakui hal itu. Dia mengatakan Jeanette menghubungi Jess berkali-kali dan meminta sejumlah uang. Jess tampaknya berada dalam tekanan dan itu mempertegas kemungkinan bahwa dia melakukan percobaan bunuh diri dengan menelan pil-pil itu.”
Jill menggeleng, bersikeras dengan pendapatnya sendiri. “Jess tidak melakukan itu. Dia tidak mencuri uang dari siapapun, dia melakukan pekerjaannya dan mendapat gaji. Dia tidak kembali ke klub karena dia tidak menyukai cara Sean memperlakukannya. b******n itu.. apapun yang dia katakan padamu, semuanya bohong. Dan ya, Jeannette memang sering membebani Jess, tapi Jess tidak pernah membiayai pengobatan Jeannette dengan uang kotor. Dia sepenuhnya bertanggungjawab atas semua itu dan aku sama sekali tidak percaya jika Jess seputus asa itu untuk melakukan percobaan bunuh diri.”
“Apa kau memiliki bukti?”
-
Beritahu saya tanggapan kalian.