PROLOG
JESS
-
Ponsel itu setidaknya telah berdering puluhan kali, belasan pesan suara juga masuk melalui telepon kabel di rumahnya. Ia mendengar pesan suara itu sesekali. Beberapa pesan berasal dari polis kesehatan yang dikunjunginya selama dua bulan terakhir, seorang petugas wanita yang bekerja disana memberitahunya bahwa ia memiliki jadwal kunjungan dengan Dokter Steve besok pada pukul sebelas siang.
Secara tidak terduga, keponakannya, Kyle, baru saja meninggalkan pesan suara dan mengatakan kabar buruk tentang saudarinya yang kecanduan narkoba.
Kau sebaiknya datang, ucap Kyle, suaranya yang keluar melalui lubang kecil mikrofon pada mesin itu terdengar serak. Dia tidak akan mendengarkanku, kondisinya sangat parah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit.
Seolah ia memiliki solusi atas itu – ia menekan tombol ganti dan suara berikutnya yang muncul berasal dari seorang tetangga yang tinggal tak jauh beberapa blok dari rumahnya.
Aku tahu apa yang kau lakukan pada suamiku, dasar kau p*****r! Kau sebaiknya menjauhi Ben dari kemaluanmu yang kotor dan kembalilah ke selokan, kau sialan!
Keningnya berkeringat. Ia masih dapat merasakan kedua kakinya yang bergetar menapak di atas lantai kayu yang dingin di ruang tengah. Kalau saja perapiannya masih berfungsi, hawa dinginnya tidak akan terasa begitu menusuk. Sementara itu birai jendela di sudut ruangan perlahan mengayun terbuka saat tertiup angin, suara deritannya yang halus merambat melewati telinganya yang peka. Kegelapan menjalar di setiap sudut tempat. Dahan dari pohon-pohon yang berbaris di ujung jalan melambai ke arahnya. Angin menyeret dedaunan kering di atas aspal, bergerak di antara sela-sela rumput kemudian mengetuk jendelanya berkali-kali. Kali ini, ia membawa bisikan yang terus berdengung di kepalanya dan memintanya untuk mengakhiri rasa sakit itu.
Melalui pantulan cermin di belakangnya, ia menatap wajahnya yang pucat. Bibirnya telah membiru, hidung dan kedua matanya memerah. Tanpa riasan tebal yang mencolok ia tidak mengenali wajahnya. Rahangnya terlalu tirus, tubuh tampak kurus kering, dan sepasang kaki jenjangnya kini bergetar seiap kali berdiri menapak lantai dan menahan beban tubuhnya.
Penyakit itu memakannya dengan cepat, menyisakan tulang-tulang rapuh yang dibalut oleh kulit pucat tipisnya. Suatu saat akan memakan otaknya dan tidak ada yang dapat menyelamatkannya ketika itu terjadi.
Ia berdiri dengan kaku di atas lantai ruangan yang dingin kemudian menatap kosong ke arah lemari kayu tua tempat menyimpan buku-buku lama milik orangtuanya, kemudian lampu hias di atas nakas kecil dan bingkai-bingkai foto yang terpajang di sudut ruangan. Dinding kayu di dalam ruangan itu tiba-tiba menyempit, udara seakan ditarik keluar dari paru-parunya. Sementara itu, lampu merah pada mesin telepon berkedip tiga kali, kemudian pesan berikutnya masuk, kali ini suara yang familier muncul di seberang.
Jess, ini Jill. Tolong angkat teleponnya, apa kau baik-baik saja? Aku perlu bicara denganmu. Ini tentang Sean. Tolong hubungi aku kembali ketika kau mendengar pesan ini.
Dengan suyah payah ia menyeret langkahnya menjauhi mesin telepon. Tubuhnya berderap mendekati dinding kemudian ia berjalan perlahan menyusuri lantai dingin itu, melewati nakas kecil di sampingnya dan berhenti di depan meja kayu. Tubuhnya membungkuk ke arah kursi sementara jari-jarinya mencengkram tepian meja. Setelah duduk di atasnya, tatapannya menyapu permukaan meja yang kosong, ia mengeluarkan botol obat dari dalam sakunya kemudian dengan sengaja menyebar pil itu di atas meja.
Rahangnya terus berkedut sedang bibirnya terasa kaku. Ada saat-saat dimana ia benar-benar tidak dapat merasakan jari-jari tangan dan kakinya. Sesuatu di dalam tubuhnya bereaksi, mungkin itu adalah efek dari obat-obatan yang ditelannya pagi ini atau mungkin alkohol, tapi ia tidak memiliki waktu untuk mencaritahu penyebabnya. Ia kehilangan suaranya selama dua hari terakhir, nafsu makannya menurun drastis dan ia merasa dehidrasi setiap beberapa menit sekali. Bukan hanya itu, tubuhnya juga terasa sulit digerakkan. Ia tidak dapat berjalan bebas dan dalam satu pekan terakhir ia mengotori seprai dengan urine-nya sendiri. Terkadang ia tidak cukup cepat untuk mencapai toilet sehingga ia mengeluarkannya di atas lantai dan seolah hal itu belum cukup buruk, ia muntah sebanyak tiga kali akibat mencium bau busuk di dalam kamarnya sendiri. Setelah kondisinya semakin memburuk selama satu pekan terakhir, kini bau itu menyebar dan tercium di setiap sudut tempat: di kamar, di tangga, di ruang tengah, di lorong, dapur, dan teras.
Rumahnya kini mengingatkannya pada sesuatu yang benar-benar ingin ia hindari. Rick Lester, mantan suaminya pernah berada di bawah atap yang sama. Dan sejak satu tahun terakhir laki-laki itu adalah sesuatu yang ingin dihindarinya. Rick suka meneguk alkohol sepanjang hari, sorenya ia akan pergi dan kembali larut malam. Tidak hanya sekali Rick datang dalam keadaan mabuk, ketika sesuatu memancing amarahnya, Rick akan berteriak di hadapannya, memukul wajahnya dan menyisakan bekas luka membiru di sekujur tubuhnya. Dalam malam-malam yang terasa panjang bersama laki-laki itu, ia pergi sesering mungkin. Terkadang ketika ia merasa ketakutan untuk kembali ke rumahnya dan menghadapi laki-laki itu, ia memutuskan untuk menginap di rumah temannya.
Jill sudah bersamanya sejak remaja, setelah belasan tahun berlalu, wanita itu tubuh lebih dewasa. Ibu dari Jill adalah rekan kerjanya di klub malam. Namun Alice Maureen tidak sebaik Jill, emosinya yang tidak stabil adalah sesuatu yang dibencinya tentang wanita itu. Dan setelah kejadian kematian Alice yang mengenaskan, tidak ada seorangpun yang cukup peduli.
Rumahnya menempati kawasan terpencil yang jauh dari kota. Penduduk di kawasan itu bahkan tidak lebih dari dua ratus jiwa dan semua yang ada disana tercium seperti bangkai di antara semak-semak. Ia tidak akan kesulitan untuk mengenali wajah-wajah penduduknya dan setiap wanita yang berpapasan dengannya akan memalingkan wajah dengan cepat. Beberapa orang yang datang padanya adalah mereka yang penasaran tentang bagaimana ia menghabiskan waktunya. Sisanya benar-benar membencinya.
Sebagai seorang penghibur yang bekerja selama lebih dari sepuluh tahun di dalam klub, ia terbiasa dengan sikap acuh tak acuh orang-orang di sekitarnya. Yang terburuk seseorang pernah mendatangi rumahnya pada tengah malam untuk melempar telur-telur busuk ke pintunya, memecahkan kaca jendelanya dan meludahi terasnya. Tidak hanya remaja-remaja usil yang suka menertawainya di jalanan, namun juga Nancy, teman masa sekolahnya yang begitu membencinya setelah mengetahui ia telah meniduri suaminya.
Nancy berusaha menghubunginya sejak minggu lalu, wanita itu telah memblokir akunnya di f*******:, namun sebelum itu Nancy menyebut namanya berkali-kali dan memajang gambar wajahnya disertai dengan kalimat yang mengolok-olok. Malam kemarin, wanita itu mengetuk pintu rumahnya dengan keras. Melalui kaca jendela kamarnya, ia mengintip dari sana dan melihat bagaimana wajah Nancy memerah. Ketika ia tidak keluar untuk membukakan pintu, Nancy menjadi semakin marah. Wanita itu tidak hanya memecahkan vas di terasnya, namun juga meludahi pintunya.
Dulu, ketika usianya masih cukup muda dan ia memilih teman-teman yang bergaul dengannya, Nancy ada di urutan pertama sebelum kehidupan menjadi semakin ruwet dan utang-utang orangtuanya telah menyeretnya masuk ke dalam klub untuk mendapatkan uang dengan cepat. Masalahnya tidak semua orang, termasuk Nancy, dapat memahami hal itu. Hubungan mereka meregang di tahun-tahun pertama ketika Nancy akhirnya mengetahui hal itu. Setelah belasan tahun berlalu, semuanya menjadi semakin kacau. Bahkan diusianya yang mencapai angka empat puluh lima tahun sekarang, ia tidak dapat memperbaiki hubungan mereka. Yang terjadi, segalanya bertambah buruk.
Ada saat-saat dimana ia merasa lelah dengan hidupnya dan berharap akan mengakhiri semua itu. Belum lama ini ia menghadiri sebuah misa di gereja dan bertemu dengan seorang pendeta. Warga setempat yang mengenali wajahnya berusaha secepat mungkin meninggalkan tempat itu untuk menghindarinya. Sementara itu konsultasinya dengan Dr. Steve selama dua bulan terakhir tidak menghasilkan perubahan yang cukup besar, alih-alih kondisinya memburuk selama satu bulan terakhir.
Ia mendapat banyak pesan telepon dari Sean, pewaris dari pemilik klub yang menggajinya selama ini. Laki-laki itu menginginkannya menggantikan seorang penari telanjang di klub dan sejak ia menolak tawaran itu, Sean marah dan mengancam tidak akan membayar gajinya selama seminggu. Sementara itu ia harus membayar cicilan mobilnya yang belum lunas, ditambah lagi utang-utang saudarinya yang dibebankan padanya.
Jeanette Sue, nyaris tewas akibat kecelakaan yang terjadi dua tahun lalu. Untungnya wanita itu dapat diselamatkan namun ia kehilangan satu kakinya dan Sean tidak mau membayar seorang penghibur dengan satu kaki, jadi Jeanette dikeluarkan dari pekerjaannya. Suami Jeanette meninggalkannya pada musim panas tahun lalu, laki-laki itu menghilang tanpa kabar dan meninggalkan putra mereka yang masih remaja, Kyle.
Dalam usianya yang nyaris mencapai angka empat puluh lima, Jeanette benar-benar kacau. Kecelakaan itu menjadi titik dimana semua kekacauan dalam hidupnya bermula dan sekarang Jeanette membebaninya dengan utang-utang pengobatan, belum lagi ia harus membayar sejumlah uang atas obat-obatan dan ganja yang diam-diam dibeli Jeanette atas namanya.
Semua orang tampaknya memiliki kecenderungan untuk bergantung padanya. Jill satu-satunya orang yang dapat membantu, namun wanita itu terlalu sering membantunya, jadi pilihannya terakhirnya adalah mengahiri semua itu.
Ia membuka jari-jarinya yang bergetar di atas permukaan meja untuk meraih dua pil yang tersebar disana, kemudian dengan susah payah memasukkan pil-pil itu ke dalam mulutnya. Sembari memejamkan mata, ia menghitung detak jarum jam di ruang tengah, telinganya mendengar suara desisan api yang membakar lilin di atas nakas. Angin yang menyusup masuk melalui jendelanya, menjilat api itu hingga lenyap dan yang tersisa hanya suara jangkrik dari pekarangannya. Ketika ia membuka mata, segalanya mulai terlihat kabur. Tangannya meraih botol kecil kosong yang sebelumnya terisi oleh pil, ia bersusah payah ketika mendekatkan botol itu ke wajahnya untuk membaca tulisan yang tercetak di bagian bawah labelnya. Bibirnya bergerak perlahan untuk mengeja kalimat yang tertulis disana, kemudian kedua matanya membeliak.
Suara pecahan keramik dari lorong belakang mengejutkannya, suara itu kemudian diikuti oleh suara pintu yang digeser tertutup.
“Jess!” seseorang masuk melalui pintu belakang dan menyerukan namanya. Suara langkahnya semakin dekat ketika ia merasakan sesuatu seperti mencekik rahangnya.
“Jessie?” suara itu semakin terdengar jelas, persis ketika seseorang muncul di sekat lorong, semuanya menjadi gelap. Tubuhnya mengap-megap, busa putih keluar dari mulutnya, kedua matanya memerah saat menahan rasa sakit yang melumpuhkan sekujur tubuhnya, sementara itu jari-jarinya mencakar tepian meja.
Sudah saatnya.. bisiknya dalam benak. Ia mendengar suara itu di kepalanya – atau – ia pikir ia mendengar suara itu di kepalanya.
Sudah saatnya.
-
Beritahu saya tanggapan kalian tentang cerita ini..