"Ayah, Bunda, sedang apa kalian di sini?" Darren kembali mengulang pertanyaan karena keduanya hanya terdiam saat melihatnya.
"Ah... Jadi tadinya Ayah dan Bunda mau menjenguk kolega yang sedang dirawat di sini tapi ternyata kamu terlambat karena dia sudah pulang saat kami tiba di sini." Darren mengerutkan dahi saat mendengar perkataan Giovani yang terdengar salah tingkah.
"Siapa memangnya Yah, yang dirawat?" tanya Darren dengan mata memicing, curiga dengan kelakuan kedua orang tuanya. Kentara sekali jika ada yang sedang mereka sembunyikan darinya.
"Kamu tidak kenal, yang dirawat temen SMA Ayah," jawab Giovani kembali dengan raut wajah gelisah dan semakin memperbesar kecurigaan Darren.
Mungkin kapan-kapan dia harus menyelidiki apa yang orang tuanya lakukan di rumah sakit yang khusus menangani penyakit infeksi ini. Pikiran Darren membersitkan sebuah ide.
"Oh iya, kamu sendiri di sini sedang apa? Bukannya itu kantung obat? Jadi siapa yang sedang sakit?" tanya Regina dengan bertubi-tubi saat rasa terkejutnya hilang.
Tiba-tiba Darren teringat jika Cecilia masih menunggu di ruang IGD, jadi dia segera memberitahu keduanya tentang kondisi sekretaris sang ayah. Giovani hanya mengangguk paham, sementara Regina menggerutu saat mengetahui bahwa penyebab Cecilia masuk IGD karena mengenakan sepatu hak setinggi 12 cm.
"Anak itu tidak bisa dibilangin rupanya, ini bukan pertama kalinya kedua kaki Cecilia luka karena sepatu hak tinggi itu," ucap Regina dengan nada geram.
"Kita berdua kan sudah tahu bagaimana keras kepalanya anak itu, lagipula susah juga sih dia karena mempunyai tinggi badan yang cukup pendek diantara para sekretaris lainnya. Sepertinya dia merasa minder." Celetuk Giovani tak lama kemudian.
"Malah ngobrol pula Ayah dan Bunda, aku mau ke ruang IGD untuk membawa pulang Cecilia," ucap Darren yang segera meninggalkan keduanya yang masih asyik berbicara.
"Darren, tunggu. Kami ikut melihat Cecilia." Sahut Giovani dengan setengah berteriak, lalu menyusul sang putra.
Cecilia tampak terkejut saat melihat sang atasan dan istrinya yang ikut memasuki ruang IGD di belakang Darren. Bahkan gadis itu memaksakan diri untuk berdiri dengan menahan rasa sakit di kakinya.
"Jangan dipaksa berdiri Cecil, kamu tidak ingat apa jika terakhir kali kaki kamu retak dan harus di gips selama satu bulan penuh," tegur Regina dengan nada cemas.
"Saya minta maaf karena telah merepotkan Bapak Darren padahal ini sudah waktunya jam pulang," ucapnya sambil menundukkan kepala dan membuat Darren terkejut.
Ah, jadi orang yang bisa membuat Cecilia patuh hanya Ayah dan Bunda rupanya. Ucap Darren dalam hati.
Gadis yang angkuh itu bahkan sampai rela membungkukkan tubuhnya. Entah hal apa yang dilakukan oleh orang tuanya kepada Cecilia sehingga dia bisa bertingkah seperti anjing yang setia kepada majikannya.
"Kalau kamu sudah tahu merepotkan, alangkah baiknya jika lain kali kamu tidak memakai high heels yang tinggi seperti itu. Sudah tidak terhitung lagi kamu berdarah atau pun keseleo karena sepatu yang tingginya tidak masuk akal itu," gerutuan Regina tak lama terdengar dan Darren yang mendengarnya merasakan jika sang bunda memperlakukan Cecilia dengan sangat istimewa.
"Kalau saya tidak sejajar dengan mereka malahan saya akan semakin direndahkan," ucap Cecilia yang kini menengadahkan kepalanya dan menatap Bunda dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Rupanya kejadian yang waktu itu masih berbekas di hati kamu. Padahal orang itu sudah hampir 5 tahun dimutasi ke luar negeri," sahut Giovani setelah menghembuskan nafas berkali-kali.
"Ya dan karena kejadian itu saya sadar jika saya masih anak baru yang rentan direndahkan. Maka dari itu saya tidak ingin tinggi badan saya yang cukup pendek ini membuat saya semakin diremehkan." Darren sampai mengucek mata karena melihat raut wajah sendu yang ditunjukkan oleh gadis yang biasanya bertingkah arogan ini. Rasanya seperti melihat orang lain di tubuh Cecilia.
"Sudah cukup kita melankolisnya, Ayah, Cecil, sekarang juga cukup malam dan tempat kost kamu juga jauh dari rumah sakit ini. Jadi Darren cepat kamu antarkan Cecilia pulang." Titah Regina yang sepertinya tidak ingin mengorek luka lama yang telah diterima oleh Cecilia dihadapan Darren.
Perjalanan yang biasanya diiringi oleh perdebatan kecil diantara keduanya kini hanya ditemani oleh alunan suara jangkrik yang mulai bermunculan. Tidak ada di antara mereka bertiga yang berinisiatif untuk membuka obrolan dalam mobil yang semakin menghembuskan angin dinginnya. Keheningan ini membuat Darren merasa bosan dan memilih untuk memejamkan mata hingga dia tidak merasakan apa-apa lagi.
"Den Darren, bangun. Kita sudah sampai di rumah Aden." Darren merasakan tubuhnya diguncangkan perlahan dan membuatnya mau tak mau membuka mata.
"Pak Ridho, kita sekarang ada di mana?" tanya Darren yang masih belum sepenuhnya sadar.
"Kita sudah sampai di rumah Aden, oh iya Bapak permisi pulang dulu sudah malam dan ini kuncinya ya, Den," Darren akhirnya melihat dengan jelas Pak Ridho yang sudah mengenakan helm berwarna hitam dan jaket denim.
Darren segera berterima kasih sambil menerima kunci yang disodorkan oleh Pak Ridho. Tak lama kemudian suara deru motor yang meminta untuk di servis terdengar di telinganya. Dalam hatinya, Darren bertanya apakah Pak Ridho akan sampai di rumah dengan selamat ataukah akan mengalami mogok di tengah jalan?
Sepertinya aku harus membelikan Pak Ridho motor baru secepatnya. Pikirnya setelah suara motor tua itu tidak lagi terdengar.
Setelah mengunci mobil, Darren segera masuk ke dalam rumah. Giovani dan Regina terlihat sedang bersantai di ruang keluarga sambil menonton TV yang menampilkan drama dari negara Taiwan yang ditayangkan oleh Daai TV.
"Sudah makan kamu, Darren?" ucap Regina yang hanya sedikit melirik ke arah Darren, takut tertinggal teks karena tidak mengerti bahasa hokian.
"Belum, Bun, aku ketiduran saat mengantar Cecilia pulang," ucap Darren yang masih mengantuk, bahkan dia sampai menguap berkali-kali.
''Kalau begitu, kamu makan dulu setelah itu baru mandi dan tidur. Muka kamu masih kelihatan ngantuk," ucap Regina yang kali ini tidak mengalihkan pandangannya pada layar televisi.
"Oke, Bun, Yah, aku makan dulu, ya." Dengan berat Darren menyeret langkah kaki dan menuju ke ruang makan.
Makan malam yang terhidang di meja kali ini adalah sup ayam yang berisikan banyak kentang dan wortel, udang goreng tepung dan tumis kangkung. Dan setelah dia cicipi terasa kurang terasa garam semua. Dia menghela nafas dan memilih untuk tidak protes karena perutnya sudah sangat keroncongan. Dalam diam Darren menghabiskan semua makanan yang terhidang di meja.
***
3 hari memantau proses syuting body mist Gregorius membuat Darren mulai memahami tabiat dari Tobias yang sepertinya selalu mencari gara-gara dengan Cecilia. Darren juga sudah membayangkan jika keduanya akan bertengkar hebat sewaktu-waktu karena jujur saja, dia juga jengah melihat kelakuan Tobias yang menyebalkan itu.
Seperti saat ini contohnya, saat sedang beristirahat selama 15 menit untuk meredakan ketegangan urat syaraf karena tingkah laku dari Tobias yang membuat sutradara emosi, tapi tidak dapat berbuat apapun. Sungguh luar biasa sekali pengaruh selebgram ini. Benar kata Cecilia tempo hari, siapa sih yang mengajukan orang ini menjadi modelnya? Apakah mereka tidak tahu watak dari Tobias atau memilih berpura-pura tidak tahu?
"Cecilia, ternyata kamu itu cantik juga kalau aku perhatikan lama-lama. Jadi nyesel kenapa dulu aku enggak pacaran sama kamu aja," ucapnya lalu menyalakan rokok dengan korek api gas.
Untung saja saat ini mereka sedang melakukan syuting di luar ruangan sehingga asap rokoknya tidak terlalu membuat pengap orang banyak. Darren juga merokok hanya saja memilih tempat yang jauh dari orang banyak.
"Sayangnya kamu itu bukan tipe aku, dasar cowok b******k!" Umpat Cecilia lalu berjalan meninggalkan pria yang sedang menyunggingkan senyum sinis itu.
Darren segera menyusulnya dengan dalih ingin ke toilet yang memang disediakan oleh pengelola tempat wisata air terjun ini dan melihat Cecilia yang sedang duduk di sebuah batu dengan raut wajah masam.
"Kalau Bapak ke sini untuk bertengkar lebih baik setelah proses syuting ini selesai. Energi saya masih harus penuh untuk menghadapi cowok ganjen yang sok kegantengan itu," ucap Cecilia dengan nada datar.
"Ckckck, Cecilia, kamu ini prasangkanya jelek banget sih," timpal Darren dengan kesal.
"Karena Bapak memang pantas untuk digituin." Celetuk Cecilia yang membuat Darren semakin kesal.
"Terserah kamu saja, setelah take ini kita bisa langsung pulang. Semoga saja kita kelar sebelum jam 5 sore biar enggak kemalaman juga balik ke Jakarta," ucap Darren lalu duduk disebelah Cecilia.
"Kenapa Bapak duduk di sebelah saya? Ini batunya enggak cukup buat kita berdua duduk. Memang Bapak mau kita nyebur ke sungai? Lagian badan Bapak bau rokok!" gerutu Cecilia yang berdiri dengan perlahan dan Darren hanya mengulum senyum saat mendengarnya.
"Karena batu ini yang lokasinya paling strategis. Pintar juga kamu menemukan tempat duduk," Cecilia mendengkus kesal saat sudah berhasil berdiri.
Darren kembali melirik ke arah kedua kaki Cecilia yang masih berbalut perban itu. Terlihat ada sedikit darah merembes dari perban yang membalut tumit sebelah kanannya.
"Kita pulang sekarang saja, lagipula aku yakin sutradara itu akan dapat menyelesaikan syuting ini," ucap Darren lalu berdiri.
"Bapak ini selalu seenaknya saja, ya," celetuk Cecilia sambil membetulkan ikatan rambutnya yang sudah kendur.
"Begitulah, saya memang seperti itu," tanpa memperdulikan gerutuan yang keluar dari mulut Cecilia, Darren langsung bergegas menuju ke tempat mobilnya terparkir.
Darren memberi tahu sutradara bahwa mereka akan segera kembali ke Jakarta dan menyerahkan kendali syuting kepadanya dan kru yang ada di sana. Dari kejauhan, dia melihat Tobias tersenyum mengejek kepada Cecilia, yang hanya ditanggapi dengan diam. Dalam hatinya, Darren berdoa agar hari ini akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Tobias.