Pertemuan tak menyenangkan
"Setelah 8 tahun akhirnya aku kembali ke Indonesia."
Seorang pria berwajah tampan baru saja menaiki sebuah taksi online di lobi bandara. Pria bernama Darren Sanjaya itu memenuhi permintaan Intan–kakaknya untuk pulang lebih cepat dari rencana semula karena kondisi ayah mereka yang tak sadarkan diri sampai harus dirawat di rumah sakit. Meski harus meninggalkan kekasihnya yang membuat mereka harus menjalani hubungan jarak jauh.
“Pak, Rumah Sakit Dharmasraya, ya!” Darren sengaja menggunakan moda transportasi online menuju tempat sang ayah dirawat karena tidak ingin merepotkan keluarganya.
Suasana lalu lintas saat itu terlihat cukup padat hingga membuat kepala Darren terasa ingin pecah. Ternyata pengguna kendaraan bermotor di Jakarta sangat banyak, jauh dari bayangannya. Selain itu, semua motor tampak memacu laju kendaraannya seolah tak ada satupun yang mau mengalah. Coba tak memikirkan itu, Darren memilih untuk melihat gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan yang dilewati. Namun, tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Taksi yang ditumpanginya pun mendadak berhenti karena bertabrakan dengan sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, teriakan dari seseorang mulai terdengar keras penuh amarah.
"Hey! Dasar sopir bego nggak tahu adat! Buruan keluar lo dari mobil, gara-gara lo mau nyalib gua jadi jatuh dari motor. Pinggang gua sakit nih, tanggung jawab lo!" Suara rintihan kesakitan pun keluar dari seseorang yang Darren yakini jika itu adalah seorang gadis.
"Dasar supir g****k, cepet turun lo. Tanggung jawab karena nyalib seenaknya dan nabrak motor gua sampai ringsek. Pinggang gua juga jadi sakit!"
Sebuah teriakan kembali terdengar dengan disusul bunyi ketukan keras pada bodi mobil ini. Darren memilih untuk turun karena rasa penasaran dan simpati terhadap wajah pucat sang supir di balik kemudi dan berhadapan dengan gadis yang tengah marah itu.
Dalam pikirannya, bagaimana bisa seorang gadis berteriak di dalam helm yang tertutup seperti itu? Dengan jaket kulit, celana jeans panjang, dan sepatu boot membuatnya terlihat seperti anggota geng motor.
"Yang sopan kalau ngomong Mbak, kasar amat jadi cewek," ucap Darren dengan nada sinis karena perempuan ini tetap memakai helm full facenya.
"Oh jadi lo yang punya mobilnya?" tanya sang gadis dengan jutek.
"Bukan, saya cuma penumpang yang geram saat melihat ada perempuan kurang waras yang marah-marah tanpa sebab," jawab Darren kembali dengan nada yang tidak kalah ketus.
"Baru penumpang aja lagaknya udah selangit. Heh! Bilangin ya sama itu supir g****k, kalau nyetir itu pakai mata jangan pakai dengkul!" timpalnya dengan nada yang naik beberapa oktaf.
Darren melirik ke sekeliling mereka karena mendengar suara kasak kusuk yang mencolok. Terlihat para pengguna jalan lainnya memandang dengan rasa penasaran. Bahkan beberapa dari mereka bahkan mengarahkan kamera ponsel ke arah keduanya.
“Dasar netizen kurang kerjaan!” umpat Darren dalam hati.
"Whoaaa. Santai aja dong Mbak, dari tadi saya nadanya biasa aja pas nanya sama situ. Kenapa Mbak malah jadi ngegas gitu?" balas Darren tidak kalah sengit.
"Lo kalau jadi gua juga bakalan ngamuk. Posisi gua udah bener di samping malah supir bego itu tiba-tiba nyalib, sekarang buruan suruh dia turun untuk tanggung jawab," celoteh gadis itu dengan suara keras yang membuat Darren akhirnya jengah.
“Memangnya dia pikir aku tuli apa sampai bicara dengan suara keras seperti ini?” gerutu Darren kesal di dalam hatinya.
“Eh, ayo cepat! Kenapa lo jadi bengong aja?” Gadis itu semakin kesal. Suaranya terdengar kian keras dan lantang.
"Mbak, sebelumnya bisa nggak buka helmnya dulu? Saya lama-lama ngerasa ngomong sama alien yang nggak kelihatan mukanya," ucap Darren sambil menyilangkan tangan di depan d**a.
Akhirnya, gadis yang menurut Darren sinting itu bersedia membuka helmnya. Jangan bayangkan ada adegan wanita anggun seperti dalam film atau sinetron yang tetap terlihat glowing dengan tatanan rambut yang rapi, meskipun sudah memakai helm dalam waktu yang lama. Tidak ada yang seperti itu!
Gadis yang terlihat angkuh dalam pandangan mata Darren mengikat rambutnya dengan asal dan wajah yang berminyak itu menatapnya garang. Kesan jutek juga terlihat meskipun sang gadis cukup cantik di matanya. Sesaat kemudian, Darren merasa terbius akan mata hitam sang gadis yang mampu menariknya dari keramaian ini.
"Sudah puas sekarang Tuan penumpang yang lagaknya selangit?"
Rasa kagum yang sempat tercipta dalam hati Darren harus terjun bebas karena sikap arogan dari sang gadis.
"Jadi, sekarang cepat suruh supir bego itu untuk turun dan tanggung jawab atas kerusakan motor gua!” Sambungnya kembali dengan jari yang menunjuk ke arah sang supir.
"Maafkan keteledoran saya, Mbak. Jadi, apa yang bisa saya lakukan saat ini?" tanya supir taksi sambil menunduk dan dengan nada takut setelah keluar dari mobil.
"Bawa motor gua ke bengkel dan ganti kerusakannya. Gua juga minta KTP dan nomor id supir lo buat jaminan. Lo kabur bakal gua lapor ke perusahaan tempat lo kerja," jawab gadis sombong itu dengan wajah yang masih terlihat jutek.
"Begitu dong, berani berbuat harus berani tanggung jawab dan gua harap lo jangan bego lagi nanti di jalan," ucap sang gadis dengan ketus yang membuat Darren kesal.
"Woy, Mbak, nggak usah kasar gitu kali! Kan dia udah minta maaf, terus kenapa masih kamu bego-begoin? Nggak punya etika banget jadi orang."
Sambar Darren dengan nada agak tinggi karena kembali tersulut emosi dan kasihan melihat sang sopir yang harus memelas kepada sang gadis.
"Masalah buat lo?" sahut gadis angkuh itu dengan berteriak.
"Ya masalah karena kamu, saya jadi lama ke rumah sakit untuk jenguk bokap. Sekarang udah kelar 'kan masalahnya? Jadi, bisa kita selesaikan masalah ini sampai di sini saja? Lagian apa kamu nggak malu jadi pusat perhatian orang banyak?" balas Darren yang segera meminta sang sopir untuk meninggalkan tempat yang mulai dipadati orang yang berkerumun di sekitar mereka bertiga.
"Siapa bilang lo berdua bisa pergi dari sini!" Teriakan itu membuat langkah kaki Darren terhenti dan membalikkan tubuh untuk menatap wajah gadis yang masih terlihat marah itu.
Tanpa ragu, Darren mendekati gadis angkuh itu dan menanyakan apa yang dia inginkan agar mereka dapat segera menyelesaikan masalah itu. Dengan tetap pada pendiriannya, gadis itu meminta sang sopir untuk membawa motornya ke bengkel dan menanggung biaya perbaikannya.
Darren menyanggupi permintaan sang gadis dengan menghubungi bengkel langganan keluarganya. Pria itu juga berkata akan menanggung seluruh perbaikan motor dari sang gadis.
“Tidak ada yang manis tentang gadis ini.” Cibir Darren dalam hati setelah meninggalkan gadis angkuh itu.
***
"Darren, kenapa kamu nggak bilang sudah mendarat? Bunda 'kan bisa minta Pak Asep untuk menjemput di bandara." Regina, sang bunda terkejut saat melihat sang putra memasuki kamar rawat.
"Aku sengaja nggak bilang karena nggak mau ngerepotin. Gimana keadaan Ayah?" Darren balik bertanya kepada sang bunda.
''Sebelumnya Bunda minta maaf ya, Darren. Sebenarnya...." Ucapan Regina harus terputus karena seseorang menyelanya.
"Sebenarnya Ayah tidak pingsan, ternyata asam urat Ayah kumat karena terlalu banyak makan emping."
Darren menoleh ke arah Giovani–ayahnya yang baru saja bangun. Otomatis pria itu membuka lebar-lebar mulutnya saat mendengar perkataan sang ayah yang terkesan santai, padahal dirinya sudah sangat mengkhawatirkan kondisi ayahnya.
"Ayah, bisa-bisanya Ayah bercandanya keterlaluan seperti ini. Ayah tidak tahu apa kalau jantung aku rasanya mau copot pas Bunda bilang Ayah pingsan." Darren menyemburkan kekesalan yang bersarang dalam d**a.
Rasa lelah akibat perjalanan jauh ditambah dengan perdebatan dengan gadis sinting di jalan raya tadi membuat tenaganya terkuras habis, sekarang hanya rasa lemas yang mendominasi tubuh.
"Itu semua idenya Kakak, kalau kamu mau marah, marahnya sama Kakak jangan ke Bunda apalagi Ayah. Karena kalau nggak gini, kamu pasti akan terus mengulur waktu untuk pulang dengan berbagai alasan." Darren melirik ke arah Intan yang baru masuk ruangan dengan secangkir kopi Sbuck ditangannya.
"Tapi nggak begini juga caranya, Kak. Bagaimana Kakak bisa membuat skenario jika Ayah pingsan dan tidak sadarkan diri dalam waktu lama!'' bentak Darren dengan penuh rasa emosi.
"Darren! Turunkan nada suara kamu, biar bagaimanapun Intan ini kakak kamu!" teguran sang bunda membuatnya mengusap wajah dengan kasar lalu meminta maaf kepada Intan.
"Lusa Ayah sudah boleh pulang ke rumah, mungkin mulai Senin depan kamu akan mulai masuk ke kantor dengan jabatan wakil CEO," ucap Gio setelah menghela nafas berkali-kali seakan menanggung beban berat di pundaknya, membuat Darren jadi bertanya-tanya soal apa yang sebenarnya dipikirkan sang ayah.
***
Giovani akhirnya diperbolehkan dokter untuk pulang 2 hari setelah Darren tiba di Jakarta. Para dokter yang terdiri dari dokter spesialis dalam dan gizi mewanti-wanti pria itu agar tidak memakan lagi emping jika tidak ingin kakinya kembali sakit dan tidak dapat digerakkan.
"Ayah … tolong dengarkan kata dokter jika Ayah masih sayang Bunda dan anak-anak. Ayah, ingat Saphira akan melahirkan anak kembarnya sebentar lagi. Memangnya Ayah nggak mau lihat cucu Ayah yang pasti ganteng-ganteng itu?"
Perkataan Regina yang lirih membuat Giovani menyanggupi apa yang menjadi pantangan dari dokter.
"Darren, lebih baik kamu mulai belajar sedikit demi sedikit mengenai Sanjaya Group. Ayah pikir 2 minggu lagi kamu bisa menggantikan Ayah memantau proyek yang akan berjalan," ucap Giovani.
"Apa tidak terlalu cepat untuk aku memantau pekerjaan di lapangan?" tanyanya dengan ragu.
"Tidak juga, kamu 'kan termasuk lulusan terbaik di kampus. Jadi Ayah yakin anak Ayah yang satu ini pasti bisa," ucap Giovani sambil menyunggingkan senyuman yang bagi Darren terasa seperti mengejek itu.
"Ayah sengaja mengumpankan aku ceritanya?" tanya Darren dengan mata memicing, curiga dengan sikap sang ayah.
"Oh tentu tidak dong, lagian kamu ini akan dibantu oleh sekretaris Ayah yang paling the best," ucap Giovani sambil terkekeh.
Bunyi ketukan yang disertai dengan terbukanya pintu ruang rawat Giovani membuat Darren menyadari jika ada tamu yang menjenguk sang ayah.
"Permisi Pak Gio, ini berkas yang harus Bapak tanda tangani hari ini." Suara yang familiar itu membuat Darren menoleh cepat. Menatap penuh keterkejutan saat melihat gadis yang baru masuk ke ruang rawat sang ayah adalah gadis yang pernah ditemuinya. Pertemuan yang begitu menyebalkan.
‘’Bukannya dia gadis angkuh itu? Bagaimana mungkin? Ah … jadi dia sekertaris ayah," gumam Darren dalam hatinya