Melihat Tuan Baron tersungkur, aku segera mendekatinya, kutekan wajahnya dengan telapak kaki menempel ke dinding. Aku harus mengorek keterangan dari mulutnya.
"Katakan siapa yang menyuruhmu?"
Dia hanya diam, seperti menikmati rasa sakitnya. Aku memusatkan kekuatan pada kaki kananku, lalu menekan wajahnya lebih kuat.
"Katakan siapa yang menyuruhmu?" tanyaku sekali lagi.
Dia menepuk nepuk lantai seolah menyerah. Kulepaskan kakiku dari wajahnya. Mataku menatap tajam. Mengawasi setiap gerakannya. Sesaat ia terbatuk, mungkin sempat kesulitan mengambil napas.
"Cepat katakan!" sergahku.
"Nona muda yang menyuruhku."
"Apa? Hah, kau kira aku akan terkecoh dengan perkataanmu? Baiklah. kau tunggu di sini, biar kubuktikan sendiri."
Satu kepalan tinjuku menghatam wajahnya. Wow, belum pingsan? Ternyata dia kuat juga. Baiklah mungkin tiga kali pukulan. Biar kutambah.
"Bukk, Bukk, Bukk!"
Hah, benar saja. Sekarang dia pingsin. Aku merogoh kantongnya mencari kunci. Sial! Tidak ada kunci cadangan di kantongnya. Pasti dia menyembunyikannya di sekitar sini. Tapi di mana aku harus mencarinya? Yang benar saja! Tempat ini cukup luas. Tidak hanya botol anggur yang berjejer, tapi banyak tumpukan barang yang sudah tak terpakai.
Sebaiknya kucongkel pintu itu agar bisa secepatnya keluar dari tempat ini. Kalian tahu, agen sepertiku selalu dilengkapi dengan peralatan yang akan berfungsi dalam segala situasi. Contohmya jepit rambut. Aku menarik satu jepit rambutku lalu meluruskan kawatnya. Tidak sulit bagiku membuka kunci itu dengan kawat jepit rambut ini.
Selesai. Akan kucari tahu siapa orang yang yang mengunciku dari luar. Tapi sebelumnya aku ingin memastikan Nona Ezi baik baik saja. Perlahan aku berjalan menuju ruang utama dimana Nona Ezi dan Sean kutinggalkan, tadi.
Mataku liar mengawasi sekeliling. Nona Ezi dan Sean sudah tidak ada di sana. Aku akan mencarinya ke atas. Setengah berlari, aku menaiki anak tangga menuju ruang piano. Ah, Sial! Tidak ada. Kemana perginya nona manja itu?
Aku mencarinya disetiap kamar. Tapi percuma, semua kosong. Aku tidak tahu berapa jumlah kamar di rumah ini. Aku yakin Nona Ezi tidak berada di lantai ini. Aku segera turun ke bawah, mencari di setiap ruangan. Hasilnya sama saja, Kemana perginya gadis manja itu?
Aku harus memberitahu Tuan Sky, mungkin dia tahu kemana perginya Nona Ezi. Bergegas aku keruangannya. Setelah mengetuk pintu, aku segera masuk. Mataku menyisir seluruh ruangan. Kosong. Tuan Sky juga tidak ada di dalam. Tempat ini rapi, tidak ada tanda tanda bekas perkelahian. Itu artinya, Tuan Sky meninggalkan ruangan ini dengan sengaja.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku rok, lalu menghubungi Tuan Sky sambil berjalan ke luar menuju mobil.
"Nona Aila, kemana saja Anda?"
"Maaf Tuan Sky, Tuan Baron menjebakku di ruang bawah tanah. Anda dimana? Apa Nona Ezi bersama Anda?"
"Aku sedang mengejarnya, Sean membawanya menuju pelabuhan."
"Tuan Sky, berhentilah, jangan mengejarnya! Itu jebakan!"
"Aku harus bertemu Ezi dan bicara padanya. Dia marah padaku karena menempatkanmu di rumah untuk mengawasinya."
"Tuan Sky, berhenti sekarang! Anda dalam bahaya.!"
Tiba-tiba Aku mendengar decitan mobil dari ponselku, sesaat aku menunggu apa yang yang terjadi. Aku mempercepat lacu mobil. Gps ku berhasil menemukan lokasi Tuan Sky. Sesuai prosedur tempatku bekerja, Aku harus mengirim kode ke kantorku sebagai sinyal jika memasuki zona berbahaya. Mereka akan memantauku, dan akan mengirim bantuan jika dibutuhkan.
"Tuan Sky, apa yang terjadi? Apa Anda masih di sana?" sesaat aku menunggu, tapi tidak ada jawaban. "Ah, Sial! Saluran telphon terputus."
Aku menambah kecepatan mobil menuju lokasi Tuan Sky. Satu persatu kusalip mobil didepan. Padatnya arus lalu lintas membuat lacu kecepatan tidak bisa maksimal.
Aku berbelok ke kiri menuju pelabuhan, jalanan di sini cukup lengang. Tidak banyak mobil yang melintasi jalan ini selain kontainer dan truk. Aku menambah kecepatan lacu mobil.
Baru saja ingin memaksimalkan kecepatan. Mata ku tertuju pada sebuh mobil yang ringsik di depan sana. Mobilku mendecit. Aku berhenti tepat di belakang mobil itu. Jalanan lengang. Tidak ada kerumunan di atas jalan layang ini. Aku segera turun memeriksa siapa korban kecelakaan itu. Instingku mengatakam telah terjadi sesuatu dengan tuan Sky.
Benar saja, Tuan Sky terkulai bersimbah darah di dalam mobil itu. Ia terjepit pintu. Sepertinya mobilnya di tabrak dari samping.
Aku segera menghubungi rumah sakit untuk mengirim ambulan. Sepuluh menit kemudian, mobil ambulan datang. Tidak lama berselang, Polisi juga datang. Proses evakuasi cukup sulit. Tapi syukurlah semua berjalan lancar. Tuan Sky segera dipindahlan ke mobil ambulan. Untunglah dia masih hidup. Saat ambulan membawa Tuan Sky, aku mengikutinya dari belakang.
Aku tidak tahu harus menghunungi siapa? Keluarganya? Ah, saat ini dia lebih aman tidak bersama keluarganya. Aku curiga Nona Ezi yang merencanakan kecelakaan ini. Sebaiknya aku menjaganya di rumah sakit hingga ia pulih.
Setelah menyelesaikan prosuder rumah sakit, Tuan Sky segera dibawa keruang oprasi. Aku hanya bisa berdoa semoga oprasinya berjalan lancar.
Aku duduk sendiri di ruang tunggu. Malang sekali lelaki itu. Hartanya melimpah, tapi saat kritis seperti ini, seolah semua tak berguna. Bahkan adik yang sangat disayanginya tak perduli padanya. Apa bedanya dia dengan diriku? Hidup sebatang kara.
Sambil menunggu oprasi, aku menghubungi Mossa untuk melapor.
"Ada apa Aila?"
Ah, Sial! Kenapa perempuan genit itu yang mengangkat telphon Mossa.
"Aku menghubungi Mossa, kenapa kau yang menjawab?"
"Mossa sedang mandi. Aku pikir kau butuh jawaban cepat, makanya kuangkat."
Dasar perempuan murahan, apa yang mereka lakukan? Kenapa mandi siang begini? Persetan! Aku menutup telphon. Uwuuh! Menyesal aku menghubungi laki laki buaya itu! Menjijikkan.
Mossa! Kau keterlaluan! Kau mengirimku ke misi rumit ini, dan kau enak enakan dengan wanita genit itu. Aku tidak akan memaafkanmu! Biarpun kau bersujut di kakiku seribu kali, aku tidak akan memaafkanmu. Akan kubalas kau!
Hah, setelah kasusus ini selesai, aku akan mengambil cuti. Aku ingin mencari keluargaku. Aku rindu orangtuaku. Aku rindu saat saat bersama mereka. Papa, mama, Dimana kalian? Aku rindu kalian!
Dering telphon membuyarkan lamunamku. Nama Mossa tertulis dilayar kaca. Ah, persetan. Aku tidak akan menjawabnya. Rasakan kau! Nikmati saja harimu yang menyenagkan itu!
Aku mesenyapkan rington panggilan. Brisik! Panggilan dari Mossa bolak balik membunyikan ponselku. Nah, kalau senyap begini, kan, nyaman. Terserah, mau seratus kali dia menghubungi ponselku, persetan! Aku tidak akan mengangkatnya.
Setelah penantian yang sangat membosankan, akhirnya seorang dokter menghampiriku.
"Selamat siang, Nona. Apa anda kerabat Tuan Sky?"
"Iya, Dok. Bagai mana keadaannya?"
"Saat ini dia belum sadarkan diri, tapi oprasi berjalan lancar. Kami akan segera memindahkannya ke ruang perawatan."
"Baik, terima kasih, Dok."
Dokter itu tersenyum lalu berlalu. Tidak lama berselang, beberap tenaga medis mendorong tempat tidur Tuan Sky. Tangan dan hidungnya terpasang selang. Aku mengikuti mereka dari belakang. Sesaat kutatap wajah pucat itu. Ada rasa iba dihati melihat kondisinya. Siapa sebenarnya otak semua ini?