Part 4

1090 Words
Setelah dua hari, akhirnya Tuan Sky sadarkan diri. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin. Tapi, tubuhnya masih terlihat lemas. Ingatannya belum sepenuhnya pulih. Ia masih sedikit linglung. Aku berusaha terus memaksanya makan agar kesehatannya cepat pulih. Banyak yang harus kami bicarakan. Tetutama soal Nona Ezi. "Tuan Sky, tolong buka mulut. Anda harus menghabiskan makanan ini." Dia menatapku tajam, bikin grogi saja. "Menikahlah denganku!" What? Seketika mataku membulat. Mata kami saling beradu. Ah, sepertinya otaknya bergeser setelah kecelakaan itu. Atau jangan jangan otaknya korslet pasca oprasi. Saat sadar, kupalingkan wajah darinya. Jantungku berdegup kencang. Kalimat yang sangat kutunggu dari Mossa kenapa keluar begitu mudah dari mulut lelaki ini. Dan Sialnya, kalimat itu terdengar indah. "Kenapa diam? Apa itu artinya setuju?" Astaga! Lelaki ini membuat lututku lemas. Untung posisiku duduk, coba kalau berdiri bisa jatuh aku. Tapi sayang, dia sedang mengigau. Andai dia benar benar sadar, pasti kuterima. Sekalian kubalaskan sakit hatiku pada Mossa, simata keranjang itu. "Sepertinya Anda harus cepat minum obat, Tuan. Sebelum ingatan Anda kembali terganggu." "Apa? Kau pikir aku amnesia? Sial!" Aku menoleh ke belakang menyembunyikan senyum simpul di wajahku. Kenapa dia terlihat begitu imut, mirip boneka teddy bear-ku di kamar. "Ak," ujarku kembali menyendok bubur ke mulutnya." "Tidak mau." protesnya menutup rapat mulutnya. Astaga! Dia benar benar imut. Boleh nggak sih, aku cubit pipinya? Mataku berbinar melihat ekspresi Tuan Sky yang cemberut. "Kenapa senyum? Kamu pikir aku panda?" Oh, tidak! Aku sudah tak sanggup menahan tawa yang hampir meledak. Tanpa menoleh padanya aku setengah berlari menuju toilet. Kunyalakan air kran, dan seketika tawaku pecah. Aku tertawa sambil menatap cermin. Wajahku memerah, buliran bening merembes dari ujung kelopak mataku. Tidak kusangka Tuan Sky yang selama ini terlihat kaku didepanku, hari ini sangat imut. Setelah menghabiskan tawa yang menggelitik perut, aku keluar dan duduk kembali didepan Tuan Sky. "Puas ketawanya?" Hah? Apa dia tahu di toilet aku tertawa? Mulutku menganga mendengar pertanyaannya. Tiba tiba perutku kembali seperti dikocok. Aku tidak kuat melihat wajahnya yang datar tapi imut. Duh, Tuan Sky, kenapa kau jadi terlihat menggemaskan seperti ini? "Ehem," dehemnya membuat darahku terasa berhenti mengalir. "Aku serius!" ujarnya menatapku lekat. Kuletakkan kembali sendok makan yang baru saja ingin kusuapkan ke mulutnya. Aku tak tahu harus bagaimana membentuk mimik wajahku. Tersenyum, cengir, menangis, atau terbahak di depannya. Kepalaku tiba tiba terasa gatal. Reflek, tanganku menggaruk. "Apa kau pikir aku tertarik padamu? Tidak usah geer, aku mengajakmu menikah demi Ezi. Agar kau tetap bisa menjaganya." Sialan, nih orang! Dia ingin menikahiku untuk mengawal adiknya? Gigiku merapat menatap sudut tembok. Menyebalkan. Kenapa sekarang wajahnya terlihat seperti p****t kuali? Ingin kugosok pake sikat kawat. "Maaf Tuan Sky, Saya tidak terima dobel job! Silakan cari bodyguard lain." Kuletakkan bubur yang tak lagi panas itu di nakas. Tanpa pamit aku melangkah ke luar. Tak kupedulikan mata Tuan Sky yang mengikuti setiap gerakku. "Nona Aila, Anda mau kemana?" teriaknya dengan suara berat menahan sakit. Persetan! Nikmati saja penderitaanmu. Tanpa menoleh, Aku membuka pintu dan menutupnya kembali. Kutinggalkan lelaki sinting itu di kamar sendirian. Fix, aku berhenti menjadi bodyguarndnya. Kakiku lincah menuruni anak tangga, andai tidak membuat gaduh, ingin rasanya berseluncur dari railing tangga ini, seperti aksi film hollywood. Sesampainya di parkiran, mobilku bergerak meninggalkan rumah sakit. Hari ini aku ingin bersenag senang. Membosankan sekali dua hari terkurang di rumah sakit itu. Mungkin ke pantai bisa mendinginkan darahku yang mendidih. Kukirim pesan ke ponsel Mossa bahwa aku meninggalkan Tuan Sky di rumah sakit. Biar dia yang urus. Dia, kan, bosku. Jika aku tidak sanggup, berarti dia yang harus turun tangan. Benar bukan? Setelah mengirim pesan pada Mossa, semua alat komunikasiku non aktif. Tiba tiba saja ide cemerlang muncul dikepalaku. Aku akan kepantai menikmati senja di tengah laut yang tenang. Persetan dengan yang lain. Aku menyewa sebuah kapal boat yang terparkir di pinggir pantai. Setelah membayar, kapal membawaku ke tengah laut. Aku duduk bersandar di kursi menikmati tiupan angin yang membelai lembut wajahku. Dari kejauhan terlihat sebuah kapal mendekat. Saat kapal itu melintas sejajar dengan kapalku, aku terkesiap. Bukankah itu Nona Ezi? Siapa lelaki disampingnya itu? "Pak, kita pergi, tolong ikuti kapal itu." ujarku sembari menunjuk kapal Nona Ezi. "Tapi kemana, Nona?" "Ikuti saja kapal itu, cepat! Sebelum kita kehilangan jejak." "Bayarannya?" "Tenang saja, pasti saya tambahin." "Baik, Nona." Tanpa menunggu lama, kapal segera berputar arah mengejar kapal Ezi. Apa yang dilakukan Nona manja itu di tempat seperti ini. Bukannya menjaga kakaknya yang sedang terbaring di rumah sakit, malah berkeliaran di tengah laut. Kapalnya menepi di bibir pantai. Tidak lama kemudian kapalku juga menepi. Setelah membayar sewa kapal, aku segera mengikutinya. Langakahku terhenti saat keduanya memasuki sebuah mobil dan melesat pergi. Ah, sial! Aku kehilangan jejak. Sepertinya Tuan Sky memang dalam bahaya. Aku harus kembali ke rumah sakit itu. Naik apa? Tidak ada kendaraan di sini. Ya Tuhan, kenapa aku terjebak di tempat seperti ini? Malas, aku menghidupkan kembali ponselku. Aku harus meminta Mossa mengirim kendaraan untuk menjemputku. "Aila! Kau ini....." Suara Mossa terdengar geregetan di seberang sana. Aneh. Kenapa dia yang geregetan? "Kamu dimana, cepat kembali ke sini?" "Jemput aku," "Apa? Hei! Memangnya kau dimana? Mana mobilmu?" "Jemput atau aku menghilang lagi?" "Oke! Baiklah Nona Aila. Beritahu aku dimana lokasimu." Sok manis! Dasar buaya! Setelah mengirim lokasi, aku menyimpan kembali ponselku. Tempat ini sepi dan tenag. Angin pantai bertiup lembut mengibas-ngibaskan rambutku. Dari dalam kapal terlihat dua lelaki datang mendekat. Mau apa mereka? "Hai Nona Cantik, sendiri? Bagaimana kalau ikut kami ke dalam. Banyak makanan lezat yang bisa kau nikmati di sana." Wah, kebetulan. Mungking bukan cuma makanan yang bisa kudapatkan. Tapi juga petunjuk Nona Ezi. "Kalian serius mau berbagi makanan denganku?" "Tentu saja, Nona. Ayolah, ikut kami ke dalam kapal itu." Tanpa membantah, dengan senang hati aku mengikuti mereka ke dalam kapal. Walau tidak terlalu besar, tapi interiornya cukup mewah. Mataku menyisir sekeliling. "Sini, Manis!" dua lelaki itu memintaku duduk diantara mereka. Beruntung mereka saat ini aku sedang malas berkelahi. Kalau tidak, kupastikan dua gigi depannya tanggal dengan kepalan tinjuku. Aku mengambil posisi duduk tepat di depan mereka. "Kemana Nona Ezi pergi?" ujarku sembari mengambil satu botol minuman kaleng. kedua lelaki itu terperanjak. Sesaat keduanya saling pandang. "Kau mengenal Nona Ezi?" "Tentu saja, aku calon kakak iparnya." Entah mengapa kedua orang itu seketika tertawa terpingkal pingkal. Apa yang lucu? "Kau memang cantik, Nona. Tapi Tuan Sky tidak akan menikahi siapapun kecuali.... ." tawa mereka makin menjadi. Apa maksudnya? Ah, makin kusut saja kasus ini. Mataku membulat menatap keduanya. "Sudah menjadi rahasia umum kalau Tuan Sky mencintai Nona Ezi." Seketika mataku membulat menatap ke arah lelaki berkaos putih itu. "Tuan Sky mencintai adiknya sendiri?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD