Part 12

1084 Words
Mossa memarkirkan mobilnya agak tersembunyi. Kami masuk lewat pintu belakang menyelinap ke dalam. Bukan hal sulit bagiku dan Mossa melompati pagar tinggi itu. Mossa mengikutiku mengendap-endap di antara pepohonan. Aku cukup paham tempat ini walau hanya sebentar berada di sini, tapi aku tahu seluk beluk rumah ini, terutama letak cctv. Kami menyelinap dari jendela samping kemudian memanjat tembok dan naik ke lantai dua. Dilantai ini, pengamanan sangat minim bahkan tidak ada cctv. Aku leluasa menyelinap ke Kamar Nona Ezi. Mossa mengawasiku berjaga-jaga jika ada pelayan yang datang. Aku mengetuk pintu kamar. Sesaat aku menunggu, akantetapi tidak ada jawaban. Aku mengetuknya sekali lagi. Tapi percuma, Nona Ezi tidak membuka pintunya. Waspada, aku membuka pintu perlahan. Ternyata pintunya tidak dikunci. Hati-hati aku masuk kedalam. Mataku menyisir ke penjuru kamar. Tidak ada orang di sana. Mataku tertuju ke pintu saat Mossa datang mendekat. Aku terperanjat, mataku membulat melihat sebuah alaram bom rakitan. Tanpa pikir panjang, aku melompat dan menubruk Mossa. Kami terpental beberapa meter ke luar kamar. Bom itu meledak. Belum sempat kami berdiri sempurna, letusan senjata terdengar mengarah ke arahku. Untug meleset, bergegas aku dan Mossa merunduk dan bersembunyi. Aku mengalihkan perhatian dua lelaki kekar yang membabi buta menembaki kami. Saat perhatian mereka teralih. Mossa mengendap-endap mendekati keduanya. Tak butuh waktu lama, ia berhasil membekuk dua lelaki itu. Hanya dua kali hentakan mereka tersungkur. Aku bergegas mengambil senjata mereka. "Katakan dimana Nona Ezi?" tanya Mossa mencekik salah satu leher lelaki itu." "Nona Ezi tidak ada di sini." "Kemana?" "Dia pergi tadi pagi. Saya tidak tahu kemana Tuan." Sesaat aku dan Mossa saling pandang, berusaha menebak kemana perginya Nona Ezi. Tiba tiba ponsel Mossa berbunyi. Jie menghubunginya. "Aila, kita harus segera membantu Jie dia sudah menukan Tuan Sky, sekarang dia dalam bahaya." Aku mengangguk, kemudian mengumpulkan seluruh tenagan ke kepalan tinjuku, lalu menghantam wajah lelaki di depanku. Dia pingsin. Begitu juga Mossa, dengan sekali pukulan lelaki yang satu lagi juga pingsan. Bergegas kami kembali ke mobil. Mossa melacu mobil dengan kencang, menuju lokasi yang dikirimkan Jie padanya. Mossa menyalip satu persatu mobil didepannya. Jalanan Jakarta cukup padat, tapi bukan penghalang bagi Mossa untuk melintasi jalan ini dengan cepat. Setelah memasuki jalan Tol, Mossa menambah kecepatan hingga maksimal. Jalan ini cukup sepi. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil keluar dari pintu tol. Jalan ini berlubang, untungnya tidak banyak kendaraan berlalu lalang. Sepertinya tempat ini bukan daerah pemukiman warga, melainkan gudang penyimpanan barang. Mossa berbelok ke kiri, di tikungan pertama, dari kejauhan terlihat Jie sedang di keroyok empat lelaki bertubuh kekar. Aku dan Mossa bergegas turun dari mobil dan membantu Jie. Tidak butuh waktu lama, keempat lelaki itu terkapar pingsin. Tapi Jie terluka di lengan. Mossa menyuruhnya menunggu di mobil. Sedangkan kami berdua segera bringsut menyelinap diantara kontainer. "Aila, lindungi aku, aku akan mendobrak pintu itu." "Siap!" Aku mengikuti Mossa bergerak mendekat ke pintu bedeng yang terletak tak jauh di depan kami. Sekali hentakan, pintu yang hanya terbuat dari kayu itu roboh. Seorang pria sudah menungu dengan senjata ditangan. Sebelum dia memuntahkan pelurunuya, aku menembaknya terlebih dulu. Seketika di tersungkur. Perlahan, Aku memasuki ruangan sepetak itu. Mossa berjaga mengawasi situasi di luar. Aku terkesiap melihat Tuan Sky terikat disebuah kursi, mulutnya dilakban. Bergegas aku membuka ikatan tangannya dan menarik lakban di mulutnya. "Aw, kau ini, tidak bisa pelan sedikit? Dasar preman!" "Ish, Kau ini, sudah ditolong bukannya terima kasih!" "Memang itu tugasmu, kan?" Gigiku gemertuk mendengar kalimatnya. Jadi benar, dimatanya aku tidak lebih hanya seorang preman? Oh, Tuhan mengapa hati ini bagai teriris. "Aila, cepat keluar! Kita harus tinggalkan tempat ini!" teriak Mossa dari luar. Kesal aku meninggalkan Tuan Sky dengan kaki yang masih terikat. "Aila, tunggu! Kau belum membuka ikatan di kakiku!" "Buka sendiri!" ujarku sembari beranjak meninggalkannya. Dipintu, Mossa menatapku lekat, kemudian bergantian menatap Tuan Sky. Aku bisa membaca tatapan itu, dia menyuruhku membuka ikatan kaki Tuan Sky. Persetan! Biar saja lelaki menyebalkan itu berjalan melompat seperti kelinci. Aku berjalan meninggalkan dua lelaki itu menuju mobil. Aku duduk di samping Jie, di jok belakang. Tidak lama menunggu, Mossa dan Tuan Sky juga masuk ke mobil. Mossa melaju mobil meninggalkan tempat itu. "Tuan Mossa, kita harus menolong, Ezi. Dia dalam bahaya." "Tuan, Sky! Kapan Anda sadar, bahwa Ezi otak dari masalah ini!" sergahku dengan suara bergetar. Aku sangat kesal padanya. Sudah jelas bahwa Ezilah otak dibalik semua ini, tetap saja dia mengkhawatirkannya. Dasar bucin! "Aila, Ezi tidak seperti itu, percayalah! Pasti ada seseorang yang memaksanya melakukan itu." Aku bergeming mendengar bantahannya. Alasan! Dasar bucin! Cinta telah membuat matamu buta Tuan Sky. Sedalam itukah perasaanmu padanya, hingga apapun yang dilakukannya selalu benar dimatamu? Apa kehadiranku tidak mengubah sedikit pun perasaanmu padanya? Tuhan. Jika cinta ini tidak berbalas, kumohon hapuskan rasa di hati ini. Aku tidak ingin tersiksa menahan sakit. Kualihkan pandangan ke jendela, menatap gedung gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Sesaat kemudian aku kembali meluruskan pandangan ke depan. Dari kaca spion tengah, Mossa menatapku sendu. Aku kembali membuang pandangan ke jendela samping. Aku benci melihat sinar mata itu. Aku tidak butuh belas kasihan darinya. "Apa Anda tahu kemana kita harus mencari Nona Ezi, Tuan Sky?" Suara Mossa memecah keheningan. "Tidak. Tapi aku ingin menemui sahabatnya. Bergeraklah ke arah Selatan." "Baik," Tuan Sky memandu jalan menuju rumah sahabat Nona Ezi. Sepanjang perjalan, hening. Tidak ada yang berbica. Setelah selesai membalut luka Jie, aku kembali bersandar dan memandang lurus kedepan. Lima belas menit kemudian, Tuan Sky mengarahkan mobil memasuki sebuah apartemen. "Kalian tunggu di sini. Aku segera kembali." Tuan Sky keluar dari mobil melangkah menuju lobi. Mataku lekat mematapnya. Aku tidak mengerti dengan rasa yang ada di hatiku. "Ehem," Dehem Mossa menyadarkanku. Aku segera membuang pandangan ke samping jendela di sebelahku. "Kau mencintainya?" tanya Mossa melirikku dari kaca spion. Aku tergagap, seketika aku menoleh dan membulatkan mataku padanya. Mata itu menatapku sayu. Sebuah senyum terlontar padaku. Senyum yang dulu selalu kurindu. Aku menunduk. Kutoleh Jie yang menatapku lekat. "Apa?" tanyaku kesal. Dia hanya tersenyum dan menggeleng. Apa perlu aku memberitahu mereka kalau aku dan Tuan Sky sudah menikah? Tapi,.... Aku tidak ingin mereka mentertawakan kekonyolanku. Tak pernah terlintas dibenakku menenjadi istri pria flamboyan seperti dia. Apalagi jika mereka tahu, aku jatuh hati padanya sedangkan dia, tidak menyimpan rasa padaku. Duh, memalukan! Cintaku bertepuk sebelah tangan. Sepuluh menit kemudian, Tuan Sky keluar dari aparemen dan mendekat ke mobil. "Bagaimana Tuan Sky, apa ada petunjuk?" "Tidak. Temannya bilang, sudah hampir dua bulan mereka putus kontak. Setiap kali dia menghubungi Ezi telphonnya tidak pernah diangkat. Aneh. Apa yang membuat Ezi menjauhi temannya? Padahal dulu mereka sangat akrab."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD