Mataku terasa lengket, sulit sekali dibuka. Tubuhku rasanya kaku tak bisa bergerak. Sayup-sayup terdengar suara bariton memanggil namaku. Suara itu terdengar tidak asing ditelinga, tapi aku tidak ingat siapa pemiliknya. Perlahan aku membuka mata, lamat-lamat aku melihat seorang pria duduk disampingku.
"Aila, syukurlah, kau sudah sadar."
Aku tidak menyahut. Apa yang dia sebut itu namaku? mataku lekat menatapnya, wajah itu tidak asing dimataku, tapi aku lupa siapa nama pemiliknya. Kualihkan pandangan ke sekitar ruangan. Aku tidak mengenali tempat ini. Aku tidak bisa mengingat apapun. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benakku. Siapa aku? Mengapa aku berada ditempat ini?
"Aila? Kau baik-baik saja?"
"Kau siapa?"
"Kau lupa pada pangeran tanpanmu ini, hm? Aku Mossa!"
"Mossa? ...." sejenak, aku berpikir, mencoba memunculkan memoriku tentang nama itu. Oh, Tuhan, mengapa aku bisa lupa pada lelaki mata keranjang ini?
"Kenapa aku ada di sini?"
"Kau mengalami kecelakaan bersama dua lelaki berseragam polisi. Keduanya tewas saat aku menemukanmu di sana."
Ya, sekarang aku ingat peristiwa itu. Mobil menghantam pembatas jalan setelah aku menghabisi dua petugas palsu itu. Seketika aku teringat Tuan Sky, apa dia baik-baik saja? Apa dia tahu Ezi mencelakaiku?
"Mossa, dimana Tuan Sky?"
"Jie sedang mencarinya. Dia menghilang tanpa jejak."
"Apa? Ah, sial! Lalu dimana Nona Ezi?"
"Ada di rumahnya, dia aman,"
"Tentu saja dia aman! Dia otak semua masalah ini!"
Sejenak kening Mossa berkerut. "Kau yakin?"
"Tentu saja!"
Mossa memandangku lekat, seperti memikirkan sesuatu.
"Aila, sepertinya kau dalam masalah. Orang yang kau bunuh di mobil itu adalah anggota Pedang Merah. Mereka sedang mencarimu!"
"Anggota pedang Merah? Ya, Tuhan! Lalu sekarang aku harus apa?"
"Tetaplah disini sampai kau sembuh! Aku akan menjaga dan merawatmu. Setelah itu, Baru kita bergerak."
"Melawan mereka?"
"Kau takut?"
"Tidak. Hanya saja, aku tidak ingin ada pertumpahan darah."
"Aila, ini bagian dari pekerjaan kita, suka atau tidak, kita akan selalu dihadapkan dengan dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Sebisa mungkin hindari pertumpahan darah, tapi jika terpaksa, apa boleh buat!"
Sesaat aku menghela napas, sekarang aku benar benar sudah terseret dalam masalah ini, tidak ada pilihan selain menyelesaikannya. Berhentipun sudah tidak ada gunanya, mereka pasti mencariku. Kepalang tanggung, aku harus selesaikan masalah ini hingga tuntas.
"Makan bubur ini, setelah kesehatanmu pulih, kita bantu Jie menemukan Tuan Sky."
Aku meraih semangkuk bubur dari tangan Mossa. Perutku memang terasa lapar. Lahap, aku menghabiskan bubur itu. Mossa sangat sabar merawatku, memasak makanan, bahkan mencuci pakaianku. Semua dilakukannya tanpa mengeluh.
Hari ini kesehatanku sudah jauh lebih baik. Bahkan aku sudah mulai berlatih fisik lagi bersama Mossa. Sebenarnya dia lelaki idamanku, selalu perhatian dan romantis. Tapi itu, jika tidak ada wanita lain yang dia lihat. Coba kalau ada wanita seksi yang datang padanya, Mossa berubah menjadi lelaki yang paling menyebalkan sedunia. Aku tahu cintanya tulus padaku, tapi aku tidak sanggup menahan api cemburu yang membakar dadaku setiap kali dia bersama wanita lain.
"Aila, besok, kita akan mencari Tuan Sky, tapi berhati hatilah, firasatku buruk tentang ini."
"Apa menurutmu Nona Ezi berbahaya?"
"Entahlah, aku juga sedang meraba-raba. Sepertinya tidak mudah membongkar kedok Nona Ezi dan mencari penghianat di perusahaan Tuan Sky."
"Apa menurutmu Tuan Sky sengaja memakai kita sebagai umpan?"
"Sepertinya begitu!"
Aku memandang Mossa lekat. Entah mengapa hatiku sedih. Rasanya tidak percaya Tuan Sky melakukan itu padaku. Tapi mengapa tidak? Bukankah aku memang bodyguard yang dia sewa? Walau sudah menikah tapi tidak ada ikatan hati antara kami. Ah, Sial! Kenapa wajahnya tidak mau pergi dari ingatanku? Apa aku benar-benar jatuh cinta padanya? Memalukan! Ini tidak boleh terjadi. Mau disembunyikan dimana wajah ini jika dia tahu kalau... Ah, tidak mungkin! Aku tidak akan jatuh cinta pada pria flamboyan seperti dia. Menyebalkan!
Lihat saja ini! Dia tega membiarkan aku dalam bahaya demi tujuannya? Pria macam apa dia? Walau aku seorang bodyguard tapi aku tetap wanita yang ingin dilindungi. Astaga! Apa yang barusan kupikirkan? Aku ingin perlindungan dari lelaki flambiyan seperti dia? Gila! Apa benturan saat kecelakaan itu membuat otakku terganggu? Aku ini bodygyardnya, sudah tugasku melindunginya dengan segala resikonya.
***
Pagi ini, aku dan Mossa bergerak menuju markas Pedang Merah. Ini sedikit gila. Tapi masalah ini harus diselesaikan. Mossa akan melakukan negoisasi menawarkan perdamaian dengan mereka, walau sepertinya mustahil mereka mau berdamai. Selogan di Komplotan Pedang merah adalah; nyawa dibayar nyawa. Mungkin ini yang dihindari Tuan Sky. Sialnya, aku dan Mossa harus menanggung resiko ini.
Sesampainya di markas, kami disambut dengan pemanasan fisik. Aku dan Mossa hanya melayani Sekadarnya saja. Setelah melakukan perundingan dengan salah satu dari mereka, kami diminta meletakkan semua senjata yang kami bawa. Lalu kami dibawa ke sebuah ruangan yang cukup besar.
Seorang wanita datang memghampiri, ia memintaku menemui ketua mereka di sebuah ruangan yang berbeda. Hanya aku yang diizinkan menemuinya. Saat memasuki sebuah ruangan, mataku tertuju pada sosok pria yang membelakangiku.
"Halo Nona Manis, masih ingat denganku?" sapanya saat berbalik.
"Sean?"
"Apa kau terkejut?"
"Biasa saja.... Jadi kau bersekongkol dengan Nona Ezi untuk menyingkirkan Tuan Sky?"
"Iya. Sky telah mengambil perusahaan yang seharusnya miliki Ezi."
Sesaat aku tertegun, ponsel di kantongkku bergetar dua kali, itu sinya tanda bahaya yang di kirim Mossa. Sepertinya Sean membaca bahasa tubuhku, ia buru buru mengambil pistol dari lacinya. Belum sempat pistol itu mengarah padaku, aku melempar tangannya dengan pas bunga yang ada di dekatku. Pistol terlepas dari tangannya, sigap aku melompat ke atas meja, kemudian menghantamkan tendangan tepat ke kepalanya. Sean terjermbab dari kursinya. Sebelum dia sempat berdiri, kuhajar lagi dengan satu tendangan yang cukup keras, menghantam telinga dan wajahnya. Sean tersungkur. Satu kepalan tinju mendarat di wajahnya, hingga ia pingsan.
Bergegas aku keluar, Mossa sudah selesai membereskan lima orang anak buah Sean. Kami salaing pandang, tidak menduga kekuatan mereka serapuh itu. Tidak sebesar dan sehebat namanya. Kami meninggalkan mereka bergelimpangan di lantai menahan sakit.
"Apa kau kenal siapa bos mereka?" tanyanya sembari memyerahkan senjataku kembali.
"Dia Sean, kekasih Nona Ezi." Mossa tertawa mendengarnya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyaku penasaran.
"Aku sedang mikirkan Nona Ezi. Tidak kusangka gadis selembut itu ternyata ular kepala dua. Apa yang membuatnya ingin menyingkirka Tuan Sky?"
Aku mengankat bahu, "Entahlah, aku juga tidak habis pikir. Apa yang diinginkan Nona Ezu, mengingat betapa sayangnya Tuan Sky padanya."
Sesaat kemudian Mossa melacu mobil menuju rumah Tuan Sky. Sesaran kami berikutnya adalah Nona Ezi. Sepertinya sudah cukup bukti kalau Nona Ezi memang ingin menyingkirkan Tuan Sky. Kami akan membuatnya mengaku.