Chapter 22 Kemelud keluarga Zeana

1095 Words
Karena Rindu, Gavin mengubah keputusannya untuk menjauhkan Devon dari Zeana. Pemuda itu merasa bersalah. Walau membenci Zean. Dia berpikir untuk menghormati keputusan Devon. "Kau akan kembali ke rumah sakit?" tanya Rindu saat mereka hampir mendekati rumah gadis itu. "Tidak, untuk apa?" Rindu termenung. "Aku tidak akan memaksa Bang Devon lagi jika itu yang sedang kau pikirkan." "Oh ya," "Iya, kau puas." Rindu tidak menjawabnya. Mobil berhenti tepat di depan rumah gadis itu. "Baiklah, sampai jumpa di sekolah, Vin." "Bye Rindu." Gavin melambaikan tangan melepas kepergian gadis itu. Setelah memastikan Rindu masuk ke dalam rumah pemuda itu pun langsung cabut. ** Hari berlalu dengan cepat, kini sore beranjak malam. Devon masih stay di rumah sakit, dia tak pernah meninggalkan ruangan Zeana sekalipun. Gadis itu mulai sadar, kedua orangtuanya telah di kabari sejak siang, namun hingga saat ini tak satupun yang menampakkan diri. 'Pantas saja kondisi Zean sangat parah.' Devon merasa kasihan melihatnya. Meski menjadi anak tunggal, kehidupan Zeana tak sebahagia kelihatannya. Soal harta orangtuanya memang royal. Mereka juga sangat memanjakan Zean. Namun sayang, tidak ada yang memberinya perhatian atau kasih sayang. "Mama," ucapnya pertama kali. Zean mencari kedua orangtuanya. Bahkan bibi yang bekerja di rumah itu tak kunjug datang. "Kau butuh sesuatu?" tanya Devon. Zeana memandangnya sayu. "Kau di sini? Devon, aku minta maaf." Gadis itu akan mendekat namun di tahan oleh Devon. Devon masih sangat menyayanginya. Meski sikap Zeana tak terpuji, hati kecilnya tak tega untuk meninggalkannya sendirian. "Tidak masalah, cepatlah sembuh." Zeana menitikan airmata. Dia menyesal membuat lelaki itu kecewa. Bahkan dalam keadaan seperti ini. Hanya Devon yang mau peduli dan mengasihinya. "Aku berencana ke Singapore. Untuk menyusul kedua orangtuaku." Deg. Zean membisu di tempatnya. "Aku sedang mengurus berkas-berkas kepindahanku. Sepertinya sulit bagiku untuk menunggu Gavin selesai. Jadi aku putuskan untuk berangkat sendirian." Zeana menjadi lemas. "Rupanya kau masih marah denganku, iya kan? Aku tahu kesalahanku begitu berat." "Tidak bukan begitu. Jangan salah paham." Zeana membuang wajah. "Orang seperti aku memang tidak pantas di kasihani. Aku mengerti kau lelah dan ingin menenangkan diri." Zeana diam tertunduk cukup lama, dia sangat sedih karena tidak mendapatkan kesempatan kedua. "Makan dulu, kau harus minum obat tepat waktu." Zeana tak beranjak sedikit pun. Dia kehilangan selera makan. "Zean, dengarkan aku." "Aku bisa makan sendirian, tidak usah repot-repot mengurusi aku." Gemetar Zean meraih makanan yang telah di siapkan pihak rumah sakit. "Biar aku bantu," ucap lelaki itu. Zeana menggeleng. "Tidak perlu." Suapan pertama berhasil masuk ke dalam mulut. Gadis itu tak lagi bermanja seperti pembawaannya sebelumnya. Dia terlihat lebih mandiri. Zeana tak berharap lagi hubungan itu akan membaik, mengetahui Devon akan berangkat ke Singapore. Artinya lelaki itu telah menyingkirkannya dalam kehidupannya. Zeana tak menyangka, ulahnya melawan Rindu akan berakhir seperti ini. Tangisnya kembali berlinang. Dia tak dapat menyelesaikan makanannya. "Kau hanya makan sedikit," "Aku tidak mau lagi." Zeana meraih obat yang di tinggalkan dokter di atas meja. Devon menunggunya meminta tolong. Tapi, tak sepatah katapun keluar dari mulut gadis itu. Tangannya meraba mencoba menggapai obatnya. Rasa pusing seringkali menyerangnya, obat-obatan itu memudar. Terlihat tidak jelas di mata Zeana. Brak. Zean terkejut. Zean akan turun mengambilnya namun Devon mendahului. "Kau bisa meminta tolong padaku." Devon menggapai obat itu dan menyerahkannya pada Zeana. "Ini, minumlah. Dan ini airnya." Zean menenggaknya. "Terimakasih." Sebuah perubahan yang luar biasa. Bahkan gadis itu berkata terima kasih. "Tinggal beberapa bulan lagi kau lulus," Zeana tertegun. "Aku akan menunggumu di Singapure." Devon menyentuh tangannya. Zean menatapnya seolah meminta penjelasan. "Aku akan mendengar semua tentangmu lewat Gavin. Apa kau mengusiknya lagi atau tetap setia padaku. Selama kepergianku ini. Adalah ujian untukmu. Jika kau masih ingin bersamaku. Luluslah dengan nilai terbaik dan susul aku." Zeana tak percaya ini. "Kau serius? Bukannya kau tidak mau peduli lagi?" Devon menyeka airmata gadis itu. "Ya, aku serius." Zean sangat senang dan memeluknya. "Aku janji tidak akan melakukan sesuatu yang akan berakibat fatal dan mengecewakanmu." "Aku akan menuruti semua persyaratanmu." Devon mencium bibirnya. Zean specles tak menyangka. "Kalau begitu, cepatlah sembuh. Aku akan menjagamu dengan baik." Zeana begitu bersemangat. Dia mendapatkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya. Pukul 21:00 wib. Orangtua Zeana baru saja tiba. Ceklek. Pintu terbuka dan mereka masuk ke dalam. "Zean, sayang." Mama dan papanya langsung menghampiri. "Syukurlah nak Devon di sini. Kami ada meeting dan tak di biarkan meninggalkan ruangan." Alasan yang selalu di lontarkan keduanya jika Zean sedang sakit. "Nggak apa-apa, tante. Lagian hari ini juga libur, saya nggak ada kuliah." Zeana memegang tangan mamanya. "Mama bakal jagain Zeana kan? Besok kak Devon mungkin kuliah." Mama Zeana menyentuh kening putrinya. Dia melihat raut wajah Zeana yang sudah mendingan. "Sakit mu tidak parah, Z. Di rawat di rumah juga oke. Ada bibi yang stay 24 jam. Kau juga akan merasa nyaman. Soal fasilitas kesehatan. Mama akan bicara dengan pihak rumah sakitnya." Devon dan Zean tercengang. "Ma, aku nggak mau bibi. Aku mau waktu mama dan papa untuk menungguku sembuh,"ucapnya memelas. "Sayang, kau bukan anak kecil lagi. Ada banyak pekerjaan di kantor. Mohon mengertilah." Papa Zean angkat bicara. "Mama dan papa yang nggak ngerti! Kenapa selalu menitipkan aku ke bibi. Apa aku anaknya bibi?" Plak! "Tante!" bela Devon spontan. Zeana baru saja di tampar karena di anggap membangkang. Gadis itu menangis tersedu. "Jangan kurang ajar, Z. Kamu hanya demam. Mama sama papa bukan nggak tahu kelakuan kamu di sekolah. Kami benar-benar mengontrol kamu. Soal kenapa membawa kamu pulang semua itu demi kebaikan kamu dan kebersamaan kita. Mama dan Papa sibuk, kau benar. Tapi untuk kamu juga, mama tanya kapan kamu mandiri?" Zean merasa sangat kecewa. "Buat bersihin sepatumu aja masih di kerjakan si bibi." "Di rumah kamu bahkan malas gerak meski di pinta untuk duduk bersama saat malam hari." "Tante cukup," ucap Devon melerai mereka. Zeana sangat malu di hadapan pemuda itu sekarang. "Tidak nak, Devon. Aku harus membuatnya mengerti." "Tidak begini caranya, dia baru saja siuman. Zeana dehidrasi. Jangan buat dia semakin stres dengan memikirkan apa yang telah tante katakan." Kedua orangtua Zeana saling menatap. "Jika di rumah sakit, Tante merasa terbebani. Biar saya yang menjaganya." Kali ini Zean pun ikut tercengang. "Dia seorang putri, saat Z hadir di kehidupan kalian tentu itu sebuah anugrah. Kalian menyayanginya seperti seorang putri Raja. Maka jangan salahkan dia jika dia begitu manja. Kalian sibuk bekerja, pundi-pundinya untuk siapa? Untuk Zean. Lalu jika dia sakit, apa pundi-pundi itu bisa di nikmatinya?" Devon membuka mata mereka lebar-lebar. Kedua orangtua Zeana mematung, memikirkan ucapan Devon. "Maafkan kami, Z. Kami harusnya menyadari itu tanpa di tegur oleh Devon." Zeana menangis penuh haru. Sang mama memeluknya, mengusap punggung gadis itu dengan lembut. "Mama akan mengambil cuti untukmu." "Mama janji?" Wanita itu mwngangguk, dia memeluk putri semata wayangnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD