Chapter 23 masakan Devon

1225 Words
Devon kembali ke rumah setelah larut malam. Pemuda itu merasa tak enak hati saat melihat adiknya Gavin masih menungguinya di ruang tengah. "Eh, kamu belum tidur?" tanya Devon basa-basi. Beda pendapat di rumah sakit tadi masih teringat jelas. Wajah datar sang adik membuat Devon tertunduk. "Ehm, kasihan Zean, orangtuanya baru aja tiba. Makanya abang baru pulang." Gavin melihat jam. Lelaki itu tertegun mendengar ucapan Abangnya. "Soal ke Singapura, abang telah memutuskan. Zeana juga telah menerima dengan baik keputusan itu." Gavin terkejut. "Bagaimana bisa?" Raut wajah sang adik tidak berubah, membuat Devon menghela napas. "Bisa, bukan kah ini yang kau harapkan. Dengan begitu abang tak perlu melihat wajahnya lagi. Lambat laun akan melupakannya secara perlahan. Bukankah itu baik?" Gavin tertunduk menyesal. "Bukan begitu, maaf aku yang salah." Gavin tidak konsisten dengan keputusannya. Devon menghampiri dan duduk di hadapan saudaranya. Baru kali ini dia melihat adiknya merasa ragu setelah berkeras menginginkan sesuatu. "Maafkan aku, Bang. Aku harusnya mengerti jika kau sangat menyayanginya. Meninggalkan cintamu bukanlah hal yang mudah." Devon tidak percaya ini. Pengaruh Rindu begitu besar membuat Gavin berubah pikiran dalam waktu yang singkat. "Aku tahu kau akan mengatakan hal demikian. Tapi, maaf saja. Keputusan abang telah bulat. Setelah Zeana keluar dari rumah sakit. Abang akan menyusul mama dan papa." Gavin menatapnya frustasi. "Bang, ini tidak adil," Gavin protes. "Itulah keputusan akhirnya, sebagai laki-laki kau harus paham akan sebuah keputusan yang tidak bisa di ganggu gugat." Devon beranjak setelah mengatakan semua itu. Dia menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Meninggalkan Gavin duduk meratapi kesalahannya. Malam itu, untuk pertama kalinya Devon membuat Gavin menyesal telah ikut campur dalam urusan pribadinya. ** Matahari bersinar cerah, Gavin duduk di meja makan menunggu kedatangan sang kakak. Pemuda itu sudah siap dengan baju seragam sekolahnya. "Den, makanannya jangan hanya di aduk terus, di makan," tegur si bibi. Gavin terhenyak. "Abang kok belum keluar, ya, Bi?" ucapnya penasaran. Gavin menatap si Bibi dengan wajah datar. "Oh, abang ma udah berangkat dari tadi, Den. Dari setengah jam yang lalu." Sendok yang ada di tangannya jatuh begitu saja. "Apa?" Gavin tampak lemas. penantiannya hanya sia-sia. Pemuda itu meninggalkan meja makan. "Den, eh sarapan dulu. Jangan pergi gitu aja." Langkah Gavin terhenti. "Bang Devon juga nggak sarapan kan? Dia pasti pergi dengan terburu-buru agar tidak menghindariku." Si bibi yang mendengarnya menatap bengong. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Den Devon bangun lebih awal untuk belajar bikin bubur. Katanya mau di bawah ke rumah sakit. Abang juga ninggalin sedikit untuk den Gavin cicipi." Rasa bersalah semakin menyeruak. Gavin tak menoleh lagi dan berangkat ke sekolah. "Den! Eh ada apa sih. Kenapa pergi begitu saja," seru bibi sekaligus pengasuh Gavin sejak kecil. Hari ini, hari Senin. Upacara bendera tengah berlangsung. Rindu dan yang lainnya menjalani upacara dengan khidmat. Gavin tiba dengan pikiran yang kacau. Ya, dia terlambat. "Siap, izin masuk barisan." ucapnya lantang. Pemimpin upacara dan yang lainnya spontan memperhatikan pemuda itu. "Silahkan." Gavin masuk ke dalam barusan dan mengikuti upacara yang sedang berlangsung. "Dari mana aja sih, lo? Lupa hari ini hari apa?" tegur Andra. "Gua ketiduran," ucapnya beralasan. Setengah jam berlalu. Panasnya matahari membuat Gavin lemas karena tidak sarapan. Dia berusaha bertahan sampai upacara bendera selesai. "Seluruh pasukan bubar jalan!" Semua murid berhamburan menghindari teriknya matahari. "Vin," ucap Rindu. Wajah pemuda itu terlihat pucat. "Ya," "Apa kau baik-baik saja?" "Tentu," Mereka berjalan bersama memasuki ke dalam kelas. Pelajaran pertama berlangsung. Rindu menyerahkan air putih dan Gavin langsung menenggaknya. "Thank you," "Sama-sama." Keadaannya sedikit lebih baik karena air tadi. Waktu berlalu begitu saja. Selama pelajaran baik Rindu maupun Gavin tidak saling mengobrol. Ting ting ting. Lonceng istrahat berbunyi. Satu per satu murid keluar dari kelas. "Kantin, yuk," ajak Erika menoleh ke Rindu. "Duluan aja, bentar aku nyusul," ucap gadis itu. "Oh oke." Erika dan Andra cabut dari sana. Kelas pun sunyi, Gavin tak beranjak membuat Rindu bisa menebak telah terjadi sesuatu. "Ada apa? Aku tahu kau sedang ada masalah." Gavin hanya melamun. Rindu mengangkat wajahnya dan mereka saling memandang. "Devon akan ke Singapore, dia nekat pergi dan sudah menjelaskan semuanya pada Zean." Gavin tertunduk sedih. Dia benar-benar kehilangan mood karena akan berpisah dengan abangnya. "Bukannya itu yang kau harapkan?" Gavin menggeleng. "Pagi ini, dia bangun lebih awal dan membuatkan bubur untuk Zean. Aku tidak mengerti. Kenapa bang Devon kembali ke sana di saat akan meninggalkannya." "Cara berpisah orang beda-beda, Vin. Mungkin kak Devon ingin hubungannya dengan Zean tetap baik-baik saja. Agar Zeana tak melakukan kesalahan lagi dengan mencelakai dirinya." "Lihat dirimu, belum juga berpisah dengan Kak Devon udah murung gini, gimana nanti." Berbicara dengan Rindu membuat hatinya menjadi lapang. "Kau benar, terimakasih nasehatnya." Rindu mengangguk. "Sama-sama, yuk sarapan. Kamu lemes banget." Gavin beranjak dengan susah payah. Di rumah sakit saat ini. Orangtua Zeana pamit pulang saat melihat kedatangan Devon, papa Zean akan berangkat kerja sedang mama Zean ingin pulang berganti pakaian. Jadwal kuliah Devon masuk siang. Dia memiliki banyak waktu untuk menemani gadis itu. "Aku membawakan bubur," ucap Devon mengeluarkan sebuah tupperware dari tas ranselnya. Zean memperbaiki posisi dan bersandar ke brangkar. "Kau repot-repot. Rumah sakit juga menyediakan makanan yang sama." Devon meletakkan makanan itu di atas nakas. "Beda, ini adalah buatanku sendiri. Bukan buatan rumah sakit. Aku bangun jam lima pagi demi belajar resepnya pada bibi." Hati Zeana tersentuh. "Lihat, ada ayam suir, ada sayuran, ada telur dan ini." Pemuda itu kembali mencari sesuatu dalam tasnya. "Taraaa! Kerupuk." Zeana tertawa, dia tak percaya ini. "Hey, aku baru melihat ada bubur di campur sayuran, gimana rasanya?" Devon menjadi besar kepala. "Jadi, gini. Bibi aku itu orang manado, saat aku dan Gavin sakit. Mereka selalu buatkan bubur ini. Rasanya tu enak banget, saat sakit aja nikmat gimana kalau di lahap saat sehat bugar." Zeana menatapnya ragu. "Aku tidak yakin, ini buatanmu. Kau kan nggak bisa masak." "Ayolah, Zeana. Coba sedikit saja," bujuknya. Dengan terpaksa, Zeana membuka mulut. Gadis itu bersiap dengan rasa yang tidak tergambarkan. "Oke, aku conaz satu sendok saja." Hup. Devon menatapnya penuh harap. Eemm. "Gimana rasanya?" Zeana tak percaya ini, namun rasa bubur itu memang sangat berbeda. "Em, lumayan." Devin tersenyum konyol. "Boleh aku makan sendiri?" pinta gadis itu segera mengaduk makanannya. "Boleh, habiskan saja." Zeana tampak malu-malu. Sensasi rasanya berbeda saat seluruh topingnya di satukan. "Em, jadi nyesel baru tahu ada makanan se enak ini." "Benar, kan. Aku bilang juga apa." Devon merekam Zean diam-diam. Melihat betapa gadis itu sangat bersemangat. Dia merasa sangat bersyukur. "Apa kata dokter?" tanya Devon saat makanan Zeana sudah habis. "Besok udah bisa pulang, lagian bentar lagi ada ulangan." "Baiklah, setelah kau sembuh aku akan mengajakmu jalan-jalan." Zeana terperangah. "Serius? Kau tidak bohong!" Devon mengangguk pasti. "Kita akan nonton, ke pantai, ke Mall, terserah." "Wah," mata gadis itu berbinar. "Hanya berdua?" ucap Zeana memastikan. "Bareng Gavin." Gadis itu tiba-tiba lemas. "Ada apa?" tanyanya. "Dia mungkin saja masih membenciku." Devon meraih wadah kosong yang di pegang Zeana, dia meletakkannya di atas meja dan berhenti untuk merekam. "Dia akan memaafkanmu. Coba lah untuk berdamai dan menghormatinya." Zeana tertegun. "Aku yakin dia masih marah." Zeana merasa tak yakin. "Dia keras kepala, namun segala Keputusanku bergantung persetujuan dengannya. Aku sangat mendengarkan kata-katanya karena dia adalah saudaraku." "Bagaimana jika dia memintamu memutuskan aku?" Devon tersenyum. "Tidak akan, dia memiliki hati yang lembut." Zean merasa ngeri mendengar semua ucapan Devon. Entah bagaimana reaksi Gavin saat mereka akan bertemu nanti. "Sekarang minum obatmu, jangan melamun." Zeana mengangguk, tingkat kesembuhannya begitu cepat karena Devon selalu mendukungnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD