Chapter 21 Mengecewakan hati Rindu

1024 Words
Gavin dan Devon segera berdiri setelah melihat dokter keluar dari ruang ugd. Rindu masih di sana tak jauh dari samping mereka. "Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Devon cemas. "Pasien mengalami dehidrasi sepertinya pasien menolak makan dan minum hingga menyebabkan tubuhnya lemas dan pucat." "Apa, jadi bagaimana?" Devon tak habis pikir jika Zeana melakukan hal senekat itu. "Pasien butuh istirahat selama beberapa hari dan minum obat yang dianjurkan oleh rumah sakit, setelah merasa lebih baik pasien boleh pulang ke rumah." Gavin menatap Devon yang kelewat cemas. "Terimakasih, Dokter." "Sama-sama." Dokter pun meninggalkan mereka. Gavin yang mendengar semua itu lantas bicara. "Aku bilang juga apa? Dia itu nggak apa-apa. Cuman karena mau nyari perhatian aja makanya dia berbuat nekat agar kamu mau ngomong sama dia, Bang." "Gavin hentikan!" Devon tidak suka, melihat adiknya itu terus menjelek-jelek kan Zeana. "Kenapa? Jangan bilang Abang mulai peduli lagi sama dia!" Devon membuang pandangan saat Gavin menatapnya seolah menantang. "Sudahlah, kau tidak akan pernah mengerti." Devon kembali duduk di kursi yang telah di sediakan. "Apa yang nggak aku mengerti. Abang nggak tahu aja. Ini tuh, cara licik dia untuk memaksa Abang menerimanya kembali. Abang paham nggak sih?" "Vin!" Devon menatap kecewa. "Kenapa? Apa yang aku katakan semuanya bener kan, nggak ada yang salah. Dia emang udah begitu dari dulu, please jangan tertipu lagi." Devon terkekeh. Dalam keadaan yang kacau seperti sekarang. Dia masih berusaha tenang. "Kau tidak mengerti, kau masih kecil. Kau akan mengerti posisiku saat kau memiliki seseorang yang benar-benar kau kasihi. Mencintai seseorang tak bisa membuatmu meninggalkannya begitu saja." "Bang!" "Gavin!" panggil Rindu. Kakak beradik itu berhenti berdebat, keduanya menoleh menatap Rindu. "Vin, sebaiknya biarkan kak Devon menemani kak Zeana." "Apa?" Gavin tercengang, dia memandang kesal ke arah Rindu. Devon menatap gadis itu, penasaran dengan apa yang akan dia katakan. "Jangan keras kepala," "Jangan ikut campur! Lo nggak tahu apa-apa." Rindu gemas melihat sahabatnya. Gavin bertingkah seolah tak memiliki hati. "Bocah nakal!" Rindu mendekat menarik kuping Gavin hingga pemuda itu menjerit. "Ach, sakit woi!" "Diam, berada di sini terus kau hanya akan menganggu pasien lain. Biarkan kak Devon tenang. Lebih baik kita keluar." Devon tersenyum konyol melihat apa yang di lakukan Rindu. "Hey, hentikan! Kupingku bisa saja putus." Gavin terus mengeluh. "Kak, aku akan membereskan dia. Tenang saja." Devon bersyukur karena gadis itu ikut dengan mereka. Setidaknya Rindu bisa mengatasi Gavin yang keras kepala. "Lepas, Ndu!" Devon masih mendengar suara Gavin yang terus mengadu. "Nggak!" Keduanya menghilang di balik pandangan. Setelah kepergian mereka, Devon masuk untuk melihat keadaan Zeana. Gadis itu di pasangi infus dan tertidur pulas. Jika tadi wajahnya begitu pucat, berbeda dengan sekarang. Zeana sedikit lebih baik. "Apa yang telah kau lakukan, Zean?" Devon duduk di kursi, dengan sabar menungguinya siuman. "Ma, telponin Devon," Zean kembali mengingau. "Bibi, Devon." Devon yang mendengar itu segera menggengam tangannya. "Zeana, aku disini." Mendengar suara Devon, Zean berusaha membuka mata. "Kau benar-benar di sini?" Devon mengangguk. Zeana tersenyum, namun dia tak dapat menahan rasa kantuknya. Gadis itu kembali terlelap, meninggalkan Devon termangu karenanya. "Zean! Zean." "Pasiennya jangan di ganggu dulu ya, Mas. Dia butuh istrahat." Suster baru saja masuk untuk memeriksa keadaan. "Tapi, suster? Apa dia akan baik-baik saja?" Suster itu mengangguk. "Setelah tertidur beberapa jam, dan mengatur pola makannya, maka dia akan merasa lebih baik." Devon bernapas lega. "Syukurlah kalau begitu." ** Di luar rumah sakit saat ini, Gavin menyentak tangan Rindu hingga gadis itu melepaskan telinganya. "Auw, lu kenapa sih, kejam banget?!" Rindu menatapnya cuek. "Kejam, yang kamu lakuin ke mereka itulah yang kejam." "Sok tahu, gua hanya pengen melindungi Bang Devon itu aja!" "Dari apa? Dari perasaannya. Jangan egois, Vin. Mereka saling mencintai, jangan di pisahkan." "Sok tua!" "Gavin!" Pemuda itu berjalan ke taman yang berada di sekitar rumah sakit. Dia diam memikirkan nasib Abangnya yang mungkin saja telah luluh di dalam sana. Rindu tahu dia harusnya tidak ikut campur dalam masalah mereka. Namun melihat sahabatnya terus berkeras. Rindu tak bisa membiarkan ini. Mereka duduk di sebuah bangku tua. "Kau tidak tahu sedalam apa perasaan mereka, Vin. Memisakan keduanya hanya akan menyakiti perasaan mereka. Kamu mau kak Devon terus menyesal karena mengikuti saran kamu. Bagaimana jika Kak Zean benar-benar mencintainya dan hal kemarin adalah salah paham." "Salah paham! Yang benar saja." "Vin," "Lebih baik Bang Devon ke Singapore dari pada balikan sama dia." Rindu terkejut, tidak menyangka jika.Gavin benar-benar keras hati. "Kau tidak mengerti bagaimana rasanya tersiksa karena sebuah perpisahan." "Gua tahu, ini akan menjadi perpisahan pertama kami. Meski begitu gua akan sabar menunggu sampai hari kelulusan tiba untuk menyusul abang gua." Deg. Rindu lagi-lagi tercengang mendengar itu. "Bang Devon menjalin hubungan dnegannya belum juga satu tahun. Nah, gua. Gua udah bersama dia sejak gua hidup." Rindu menggelengkan kepala mendengar keegoisan Rindu. "Perpisahan dengan keluarga tidak bisa di bandingkan dengan wanita yang kau cintai. Benar kata ka Devon. Kau tidak mengerti karena belum merasakan kehilangan." Pandangan mereka saling bertubrukan. "Alah sama saja," ucap lelaki itu tidak terima. "Jika kita berpisah suatu saat nanti artinya kau tidak akan merasakan apapun. Berpisah dengan abangmu pun kau bisa, apalagi denganku yang hanya seorang teman biasa." Gavin spontan menoleh. "Bukan begitu, lu bicara apa sih? Jelas hal itu tak bisa di samakan." "Kenapa? Kita hanya akan berteman selama tiga tahun. Setelah itu kau akan pergi, begitu bukan." "Rindu semuanya tak sama, kau jelas berbeda." "Apanya yang beda?" Gavin tak bisa berdebat lebih jauh. Suasana menjadi canggung, setelah mengetahui jika pada akhirnya Gavin akan meninggalkannya. Ekspresi Rindu berubah sendu. "Vin, aku pulang dulu. Mama pasti nungguin aku." Gavin lantas berdiri dari bangku itu. "Gua anterin, ya? Marsya menggeleng. Dia menolak dengan tegas. "Tidak perlu, aku bisa sendiri." Gavin mematung melihat sikap Rindu yang tidak biasa. Rindu berjalan menyusuri trotoar. Tatapannya mengabur, airmatanya luruh dengan perasaan yang berkecamuk "Dia benar, kenapa aku harus tidak terima. Gavin berhak atas segalanya." "Rindu!" panggil pemuda itu. Rindu segera menyeka airmatanya. Dia tidak ingin Gavin memergokinya. "Kenapa mengejarku?" ucapnya membalikkan badan. Gavin melihatnya, sisa airmata masih terlihat jelas di matanya. "Maafkan aku," ucap pemuda itu memeluk Rindu di pinggir jalan. "Kamu ngapain? Malu lah Vin di lihatin orang." "Aku meminta maaf, kau benar. Aku egois, keras kepala dan tak punya hati. Aku tidak mungkin mudah berpisah denganmu nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD