Aku langsung mempertajam mataku untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh Annaliese. Dan seketika aku membelalakkan mata. Peti yang berisi Bayi itu pun terlihat diambil oleh seseorang, orang tersebut terlihat seperti Raja.
Aku menoleh kepada Annaliese.
"Siapa dia?" tanyaku kepada Annaliese.
"Sepertinya aku pernah melihatnya namun aku lupa siapa dia." jawab Annaliese.
"Ayolah, kita harus tahu siapa orang itu." desakku.
"Kamu kan sekolah, Badrun. Mengapa kamu tidak membantuku untuk memikirkan siapa orang itu?" tanya Annaliese.
Aku terdiam, mencoba memikirkan kata-kata untuk mangkir dari terlihat bodoh. Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Dari tempatku berdiri aku menangkap sebuah tulisan yang tidak bisa aku baca.
"Apa kau bisa membaca aksara jawa?" tanyaku kepada Annaliese.
"Tentu saja, aku pernah mempelajarinya. Ada apa?" tanya Annaliese.
Aku mengangguk. Memang itulah yang kau butuhkan sekarang, "Sekarang kau bacalah itu, apa tulisannya?" tanyaku sambil menunjuk sebuah gapura besar dengan tulisan yang besar pula. Aku tidak pernah bisa membaca aksara jawa, aku hanya tahu ha-na-ca-ra-ka saja.
Konon katanya, aksara jawa itu termasuk salah satu aksara terindah di dunia. Aku menyetujuinya sebab aksara itu memang terlihat indah, sayang aku tidak pernah mempelajarinya.
Annaliese terdiam sebentar, "Kerajaan Wideha."
Aku menoleh pada Annaliese. Ingatanku kini tertuju kepada sebuah kisah yang pernah aku baca, kisah Rama dan Sinta. Sebuah kisah klasik yang memiliki banyak versi. Namun, aku tidak bisa mengatakannya secara langsung, sebab aku harus mengerti kebenarannya.
"Ikut aku." kataku.
Aku menghampiri seorang bapak-bapak yang terlihat sangat senang menyaksikan Sang Raja memberikan kabar gembira bagi semua rakyatnya. Annaliese menurut dan ikut berada di sampingku.
“Rakyatku! Lihatlah bagaimana doa kita didengar oleh Tuhan. Anak ini adalah jawaban. Mulai saat ini dia akan menjadi anakku, ku namai dia Shinta yang berarti Dewi Kesuburan. Semoga dia bisa membawa kesuburan bagi kerajaan kita. Agar kekeringan dan kelaparan yang selama ini mendera kerajaan kita sirna sudah.” Kata Sang Raja.
Semua orang bersorak-sorak. Annaliese dan aku pun langsung ikut melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang lain. Mereka tidak mau dianggap aneh dan dicurigai.
Aku langsung menoleh ke arah Annaliese. Aku sepertinya menemukan jawaban di mana mereka berada, nama itu sangatlah tidak asing dalam telinganya.
“Sekarang kau tahu bukan di mana kita berada?” tanyaku kepada Annaliese.
Annaliese mengangguk, syukurlah. Jadi aku tidak perlu menjelaskan di mana kita berada. Aku sangat mengetahui, kalau kita tengah berada disebuah zaman yang sangat legendaris, selalu ada di buku dan terkenal di mana-mana.
“Rama Shinta?” tanya Annaliese.
Aku langsung menganggukkan kepalaku dengan senang. Annaliese pun tersenyum senang. Namun, kini ada yang sangat mengganjal di kepalaku. Aku tidak tahu mengenai mengapa kami bisa berada di sini. Mengapa kami bisa terjebak di zaman ini?
Inikah zaman yang harus kita lewati?
Tak lama kemudian, setelah aku memikirkan hal tersebut, aku merasakan kalau semua menjadi berubah. Aku benar-benar tidak tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi.
“Eh, Badrun mengapa semua ini bergerak?” tanya Annaliese.
“Aku juga tidak tahu, Annaliese.” Kataku.
Aku mulai mengamati wajah Annaliese yang sudah ketakutan. Aku langsung berinisiatif untuk mengambil tangan Annaliese, aku tidak mau kalau dirinya sampai ketakutan bahkan hilang terpisah dariku.
Pokoknya, dalam situasi seperti ini aku merasa kalau aku haru bisa melindungi Annaliese, hantu cantik yang baru bertransformasi menjadi manusia. Aku pun menggenggam tangan Annalise, apapun yang terjadi aku tak akan mau melepaskannya.
“Pegang tanganku erat-erat, Annaliese!” seruku.
Ntah mengapa keberanianku sebagai laki-laki muncul begitu saja. Mungkin karena ini adalah dunia ilusi yang terasaa begitu nyata sehingga aku bisa merasakan sampai seperti ini. Ini benar-benar keren sekali. Lebih menantang dari permainan 3 dimensi yang dulu sering aku ikuti.
“Aku takut, Badrun.” Kata Annaliese.
Aku seketika terkejut saat mendengar Annaliese mengatakan kalau dirinya takut karena pasalnya, Annaliese adalah hantu yang pemberani namun lagi-lagi aku bisa memakluminya karena sekarang Annaliese adalah seorang manusia yang sama sepertiku.
Aku mengamati keadaan sekitar, semua mulai berganti. Aku benar-benar merasa semua benada yang ada di samping kami bergerak dan berubah-ubah. Kami seperti tengah menonton film yang dipercepat. Semuanya begitu capat terjadi hingga membuat kepadaku pusing juga penasaran.
“Eh, apakah itu bayi tadi?” tanya Annalinese.
Aku mengangguk. Jelas, semua yang terlihat di hadapan kami memang seperti film yang dipercepat yang menampilkan gambaran dari perubahan bayi yang diberikan nama Shinta itu, dari bayi, menjadi, balita, anak-anak, remaja, bahkan menjadi dewasa.
“Aku tidak tahan, Badrun. Kepalaku pusing sekali.” Kata Annaliese.
Kalau boleh mengakui, aku pun ingin mengatakan hal serupa namun aku tidak bisa melakukan itu karena aku seorang laki-laki. Dan aku merasa jiwa laki-lakiku begitu mengembara saat ini. Kalau saja saat ini aku berada di dunia lamaku, aku pasti akan menangis bahkan sudah mengompol saking takutnya.
“Tahan, Annaliese. Kalau kau merasa pusing, kau bisa memejamkan matamu.” Kataku.
Annalines pun mengangguk dan menurut, aku pun mulai melihat kalau dia kini sudah menutup matanya. Aku kembali mengamati perubahan yang terjadi. Aku ingin mempelajari hal-hal yang terjadi agar aku bisa melakukan apapun dengan semua yang aku ketahui.
Perubahan itu terlihat sangat nyata. Aku benar-benar harus mengamatinya dengan baik-baik karena sangat cepat.
Pinjakan tempat kami berdiri terus bergoyang dan terus mengomang-ambing tubuh kami. Aku pun memutuskan untuk memegangi sebuah pohon yang ada di sampingku, namun pohon itu seperti mengikuti zaman, dia terus tumbuh hingga pohon itu mati begitu saja.
Kepalaku yang sudah sangat berkedut menjadi tambah berkedut saat ini. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa aku bisa sepusing ini.
“Stop!” seru Annaliese. “Aku tidak tahan lagi!” seru Annalise.
Ucapan Annaliese seperti mengeluarkan apa yang ada di dalam kepalaku. Namun, setelah teriakan Annaliese itu, sebuah perubahan yang sangat besar terjadi. Aku melihat semua yang bergerak menjadi diam.
Aku menatap Annaliese tak percaya. Annaliese sudah membuka mata.
Annaliese jatuh ke tanah.
“Annaliese!” seruku.
Aku langsung ikut berjongkok di hadapannya dan langsung memastikan kalau dia baik-baik saja. Kalau dia sampai kenapa-kenapa, akulah yang sudah pasti akan menerima nasib buruk. Lagi pula dia sudah menemaniku sampai sini dan dia juga sudah menjadi satu-satunya temanku saat ini. Jadi, aku tidak bisa membiarkan dirinya seperti itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.
Annaliese menggelengkan kepalanya. Namun, baru saja dia menggeleng, Annaliese terlihat terkejut melihat sesuatu yang berada di belakangku, “Awas, Badrun!” serunya sambil menggulingkan tubuhku hingga kami sama-sama jatuh di samping.
Jantungku berdegub denan kencang saat meliaht sebuah anak panah menacap di batang pohon yang ada tak jauh dari keberadaan kami. Kalau saja Annaliese tidak cepat mengetahui situasi, sudah jelas kalau aku pasti sudah mati.