PPW 10 – Dunia Lain

1033 Words
Dan setelah perasaan pasrahku sudah sampai pada tingkatan pasrah yang sepasrah-pasrahnya aku melihat mata Annaliese yang tiba-tiba terbuka. Aku bersyukur dalam hati.   Bibirnya pucat. Aku langsung mengedarkan pandanganku. Dan tak lama kemudian aku langsung menangkap sebuah sungai yang tidak jauh dari tempat kami berada.   "Bertahanlah." pintaku kepadanya.   Annaliese menganggukkan kepala dengan lemah. Aku langsung mengangkat tubuhnya dan langsung membawanya ke tepi sungai. Di sana aku pun memberikan air sungai yang terlihat sangat bersih dengan menggunakan tanganku.   "Kamu pucat sekali." kataku kepada Annaliese.   Annaliese terbatuk dan dia langsung menutut mulutnya dengan menggunakan tangannya. Dan seketelah tangannya terbuka, akupun melihat sebuah darah ada di sana.   Seketika aku terdiam. Aku mulai menyadari sesuatu.   Aku menatap Annaliese, begitu juga dengan Annaliese.   "Kau bisa berdarah!" seruku refleks begitu saja.   Annaliese buru-buru memasakan tubuhnya bangun dan mencoba menyentuh air untuk membersihkan tangannya. Seketika mataku tidak mau berkedip sekalipun karena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.   Kini aku bisa melihat bagaimana raut wajah Annaliese yang terlihat sangat bahagia, mau tak mau akupun ikut bahagia melihat bagaimana dia bahagia.   Annaliese lari-lari kecil ke arahku meski bibirnya masih terasa pucat.   "Coba sentuh aku." kata Annaliese.   "S-sentuh?" tanyaku terkejut mendengar pertanyaannya.   "Iya, cobalah. Sepertinya aku benar-benar manusia sekarang." kata Annaliese.   Akupun langsung memilih mecolek pipinya dan benar saja dia benar-benar nyata. Aku membelalakkan mata lalu dia tertawa renyah sekali.   Aku tersenyum sambil mengedarkan pandangan ke arah lain. Lalu aku pun menoleh ke arahnya lagi. Aku langsung membelalakkan mata ketika menyadari kalau pakaian yang dikenakan Annaliese berubah.   Aku memegangi lengan Annaliese.   "Ada apa?" tanya Annaliese.   Aku langsung melepaskan tanganku. Aku mengamati baju Annaliese dan bajuku. Kini Annaliese memakai baju kemben dan kain batik dan aku memakai celana dan lilitan kain batik.   Aku dan Annaliese saling menatap dan bingung dengan apa yang terjadi.   "Kenapa pakaian kita seperti ini?" tanyaku yang mulai kalut.   Aku dan Annaliese saling pandang. Pakaian kami persis seprti orang zaman dahulu. Seketika aku membelalakkan mata dan begitu juga dengan Annaliese.   "Jangan-jangan kita berada di zaman dahulu." pekikku.   Annaliese masih mematut-matut dirinya. Dia seperti terlihat bingung. Namun, dia terlihat tidak begitu terkejut dengan apa yang kini kami alami. Aku terdiam sejenak lalu aku pun sadar kalau dia adalah hantu. Dia bisa saja beralih ke satu zaman ke zaman yang lain. Dia memang bisa masuk ke dimensi lain.   "Sepertinya begitu." jawab Annaliese.   Aku mengamatinya, dia terlihat sangat berbeda, dia seperti manusia sungguhan.   "Aw ..." ringisnya seketika.   "Ada apa?" tanyaku yang mencemaskan dirinya.   "Sepertinya kakiku terkena duri." jawabnya.   Aku menghena nafas lalu aku memintanya duduk, aku akan mencuri duri dikakinya, sepertinya ini kali pertama dia menjadi manusia jadi dia belum terbiasa, "Kamu duduk saja. Biar aku obati." kataku.   Annaliese pun menurut dan duduk. Lalu aku pun langsung mencoba mengangkat kakinya lalu mencari duri. Dan benar saja, sebuah duri kecil menamcap di kakinya. Aku sebagai laki0lakipun langsung mengambil duri itu lalu membuangnya ke sembarang tempat tanpa memikirkankalau orang lain bisa terkena juga.   "Kamu bisa jalan?" tanyaku.   Annaliese menggeleng, "Gendong aku." kata Annaliese.   Aku menggaruk pelipisku. Lalu akupun langsung menggendongnya ke sungai lagi untuk membersihkan kakinya.   "Terima kasih, Badrun." kata Annaliese.   Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu tiba-tiba aku melihat pantulan diriku sendiri di air.   "Tunggu kenapa aku jadi kurus?" tanyaku tanpa sadar. Aku meraba wajahku sendiri, "Apa sedari tadi aku tidak memakai kaca mata?" tanyaku kepada Annaliese.   "Kamu tampan sekali, Badrun." kata Annaliese.   Aku langsung mengalihkan pandanganku untuk menyembunyikan rasa malu. Ini kali pertama ada yang memujiku tampan. Aku melirik air yang mencoba mengaca. Dan benar saja, sepertinya aku benar-benar sudah menjadi tampan sekarang.   Aku kini merasa jadi lai-laki paling tampan sedunia, namun otak warasku segera mengatakan bahwa ini semua hanyalah sebuah ilusi belaka. Sepertinya ketampananku hanya berlaku di sini saja. Dan bila aku kembali ke duniaku, aku tentu akan menjadi seorang yang buruk rupa lagi. Memikirkan hal tersebut membuatkua merasa kesal setengah mati.   “Apa aku cantik dengan tampilanku yang seperti ini?” tanya Annaliese sambil memegangi pakaiannya sambil tersenyum.   Rupanya dia sudah menjadi Annaliese yang dulu pernah aku kenal.   “Wajahmu itu wajah Belanda, tentulah tidak cocok menggunakan pakaian seperti ini.” Kataku mencibirnya. Padahal, dia selalu tampak cantik dengan pakaian apapun. Aku hanya berbohong saja mengatakan tidak cocok dengannya.   “Ibuku pribumi, Badrun. Kamu harus tau itu.” Kata Annaliese.   Seperti Annaliese dalam ‘Bumi Manusia’ saja. Pikirku dalam hati. Namun, akupun tidak mau memperpanjang urusanku dengan dia. Dari manapun dia berasal aku tidak mempermasalahkannya. Namun, apa katanya tadi? Pribumi. Yang benar saja. Aku seperti tengah berbicara dengan nona belanda saat masa penjajahan.   “Astaga pribumi katamu? Kau pasti sudah sangat tua. Istilah pribumi itu sudah dilarang penggunaannya.” Kataku mencoba menjelaskan, tentunya sepengetahuan diriku. Karena seingat diriku makna pribumi dianggap mendiskriminasikan sebuah ras sehingga dihimbau untuk menghindari penggunaannya. Seingatku sudah ada undang-undang mengenai hal tersebut. Kalau tidak salah  UU No. 40 tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam penyelenggaraan kebijakan pemerintah. Mohon koreksi apabila salah karena aku hanya mengutarakan apa yang pernah aku ingat saja.   Istilah pribumi dan non-pribumi sepengetahuanku sudah diubah menjadi warga negara Indonesia dan warga negara asing.   “Setidaknya dulu pernah bebas digunakan.” Kata Annaliese sambil cemberut.   Saat aku hendak menertawakannya, akupun melihat sebuah keranjang di tengah sungai. Akupun mulai mengira-ngira apa yang ada di dalam keranjang tersebut.   “Ada keranjang! Kenapa ada orang yang mau membuang keranjang sebagus itu?” tanyaku kepada diriku sendiri namun tetap kusuarakan.   “Badrun! Sepertinya itu keranjang bayi!” pekik Annaliese saat memandang ke arah keranjang tersebut.   “Kita harus ikuti keranjang itu! Kalau benar isinya bayi, tentu kita harus menyelamatkannya!” kataku.   Aku benar-benar tidak tahu mengapa di zaman sekuno ini sudah ada tradisi membuang bayi seperti ini.   “Gendonglah aku, Badrun!” kata Annaliese.   Aku sebenanya ingin melayangkan protes namun aku melihat Bayi itu terus terbawa arus. Aku tentu tidak bisa berdebat dengan Annaliese dan membiarkan  bayi tersebut hanyut begitu saja.   Aku pun berjongkok di hadapannya. Lalu aku menunggu dia untuk naik di punggungku. Kemudian, Annaliese pun naik dan setelah memastikan kalau dirinya sudah ada di punggungku, aku pun mulai berjalan menyusuri sungai berharap bisa mengawasi bayi tersebut dan bisa mengambil bayi tersebut sebelum semuanya terlambat.   “Stop, Badrum!” kata Annaliese.   “Ada apa?” tanyaku bingung.   “Lihatlah!” bisik Annaliese sambil menunjuk sesuatu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD